Pelajar Jaya ! Indonesia Jaya!

Pelajar Jaya ! Indonesia Jaya!

Jumat, 02 Januari 2015

Suku Minangkabau dan Permasalahannya



A.    Sejarah
Suku Minang berada dipulau sumatera bagian barat dengan letak astronomi antara 00 54’ Lintang Utara dan 30 30’ Lintang Selatan serta antara 980 36’ sampai 1010 53’ Bujur Timur. Secara geografis provinsi Sumatera Barat dalam garis besarnya dapat dibagi atas dua bagian yaitu daratan dan kepulauan. Daerah daratan lebih dikenal dengan nama Minangkabau sedangkan daerah kepulauan terkenal dengan sebutan kepulauan Mentawai dan kami akan memfokuskan pada suku minang.
Kebudayaan dan Suku Minangkabau dapat dikatakan sangat dominan di Provinsi Sumatera Barat, sehingga kebudayaan Minangkabau sangat berkembang di Provinsi ini, menurut Tambo, orang Minangkabau berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnaen yang pernah berkuasa di Sumatera Barat sampai ke India pada abad ke-3 SM. Mereka datang menaiki perahu dan kandas disuatu tempat yang disebut Pariangan. Dari sana mereka berkembang ke Tanah Datar , Agam dan Lima Puluh Koto. Kemudian keturunan mereka juga menyebar kedaerah lain seperti ke Solok, Pasaman, Pesisir Selatan, Padang Pariaman dan Sawah Lunto Sijunjung.
Hasil penelitian menyebutkan, orang Minangkabau termasuk dalam rumpun bahasa melayu muda yang datang ke wilayah Sumatera Barat dari dataran Indo-Cina pada abad ke-5 SM. Masa pra dan proto sejarah Sumatera Barat berlangsung sangat lama sekali. Bukti pra-sejarah terlihat dari ditemukannya sisa-sisa kebudayaan megalithikum di beberapa daerah, seperti Guguk, Suliki dan Paur Datar (Lima Puluh Koto). Dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dikenal dengan 5 suku / kaum yaitu Chaniago, Koto, Piliang, Tanjung, Jambang dan kelima suku ini terpecah lagi kedalam 96 Suku , mereka adalah yang disebut sebagai penduduk asli dari Provinsi Barat, namun setelah perkembangan zaman dan kemudahan mobilitas seseorang maka saat ini provinsi Sumatera Barat sudah ada suku pendatang diantaranya seperti Jawa, Riau, Bugis-Makasar dan orang asing seperti orang Tiongkok dan India.
Pengaruh budaya Minangkabau sangatlah kuat hal ini tidak mengherankan karena mayoritas suku Minang berhijrah ke wilayah lain untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Mengapa orang Minang sangat suka berdagang hingga merantau mulai dari dalam negeri (antar Pulau) hingga ke luar negeri, karena suku Minangkabau memiliki filosofi yaitu “Alam Takambang Jadi Guru” yang memiliki arti alam yang menjadi guru, sehingga Suku Minangkabau bersifat egaliter dan belajar hidup dari alam semesta ini. Bahasa Minang dipakai sampai ke daerah Tapanuli sampai ke Barus, di Bangkinang (Riau), dan di daerah perbatasan Jambi. Ada beberapa pelapisan masyarakat di Minang yang berlaku sejak dahulu kala, yaitu berupa pelapisan masyarakat secara vertikal yang terdiri dari golongan raja-raja bangsawan (dengan gelar Bagindo, Sidi, Sutan dan Marah) serta rakyat biasa. Sedangkan secara horizontal masyarakat dibedakan atas golongan Ninik Mamak yang mengatur urusan adat-istiadat, golongan cendikiawan (cerdik pandai) tempat dimana untuk menanyakan masalah umum dan golongan ulama yang mengatur masalah agama.
Suku Minangkabau atau Minang (seringkali disebut Orang Padang) adalah suku yang berasal dari Provinsi Sumatera Barat. Suku ini terkenal karena adatnya yang matrilineal, walau orang-orang Minang sangat kuat memeluk agama Islam. Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al Qur'an) merupakan cerminan adat Minang yang berlandaskan Islam.
Suku Minang terutama menonjol dalam bidang pendidikan dan perdagangan. Lebih dari separuh jumlah keseluruhan anggota suku ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Untuk di luar wilayah Indonesia, suku Minang banyak terdapat di Malaysia (terutama Negeri Sembilan) dan Singapura. Di seluruh Indonesia dan bahkan di mancanegara, masakan khas suku ini yang populer dengan sebutan masakan Padang, sangatlah digemari. Minangkabau merupakan tempat berlangsungnya perang Paderi yang terjadi pada tahun 1804 - 1837. Kekalahan dalam perang tersebut menyebabkan suku ini berada dibawah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia-Belanda.
Dalam etnis Minangkabau terdapat banyak klan, yang oleh orang Minang sendiri hanya disebut dengan istilah suku. Beberapa suku besar mereka adalah suku Piliang, Bodi Caniago, Tanjuang, Koto, Sikumbang, Malayu, Jambak; selain terdapat pula suku pecahan dari suku-suku utama tersebut. Kadang beberapa keluarga dari suku yang sama, tinggal dalam suatu rumah yang disebut Rumah Gadang.Di masa awal terbentuknya budaya Minangkabau, hanya ada empat suku dari dua lareh (laras) atau kelarasan . Suku-suku tersebut adalah:

• Suku Koto
• Suku Piliang
• Suku Bodi
• Suku Caniago

Dan dua kelarasan itu adalah :
1. Lareh Koto Piliang yang digagas oleh Datuk Ketumanggungan
2. Lareh Bodi Caniago, digagas oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang
Perbedaan antara dua kelarasan itu adalah:
• Lareh Koto Piliang menganut sistem budaya Aristokrasi Militeristik[rujukan?]
• Lareh Bodi Caniago menganut sistem budaya Demokrasi Sosialis[rujukan?]

Dalam masa selanjutnya, munculah satu kelarasan baru bernama Lareh Nan Panjang, diprakarsai oleh Datuk Sakalok Dunia nan Bamego-mego. Sekarang suku-suku dalam Minangkabau berkembang terus dan sudah mencapai ratusan suku, yang terkadang sudah sulit untuk mencari persamaannya dengan suku induk. Di antara suku-suku tersebut adalah:

• Suku Tanjung
• Suku Sikumbang
• Suku Sipisang
• Suku Bendang
• Suku Melayu (Minang)
• Suku Guci
• Suku Panai
• Suku Jambak
• Suku Kutianyie atau Suku Koto Anyie
• Suku Kampai
• Suku Payobada
• Suku Pitopang atau Suku Patopang
• Suku Mandailiang
• Suku Mandaliko
• Suku Sumagek
• Suku Dalimo
• Suku Simabua
• Suku Salo
• Suku Singkuang atau Suku Singkawang

a. Etimologi
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang (menang) dan kabau (kerbau). Nama itu berasal dari sebuah legenda. Konon pada abad ke-13, kerajaan Singasari melakukan ekspedisi ke Minangkabau. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat lokal mengusulkan untuk mengadu kerbau Minang dengan kerbau Jawa. Pasukan Majapahit menyetujui usul tersebut dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif. Sedangkan masyarakat Minang menyediakan seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan pisau pada tanduknya. Dalam pertempuran, anak kerbau itu mencari kerbau Jawa dan langsung mencabik-cabik perutnya, karena menyangka kerbau tersebut adalah induknya yang hendak menyusui. Kecemerlangan masyarakat Minang tersebutlah yang menjadi inspirasi nama Minangkabau.
Namun dari beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama Minangkabau sudah ada jauh sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih tepat sebelumnya adalah "Minangkabwa", "Minangakamwa", "Minangatamwan" dan "Phinangkabhu". Istilah Minangakamwa atau Minangkamba berarti Minang (sungai) Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Sedangkan istilah Minangatamwan yang merujuk kepada Sungai Kampar memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana disitu disebutkan bahwa Pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang melakukan migrasi massal dari hulu Sungai Kampar (Minangatamwan) yang terletak di sekitar daerah Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Suku Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah Timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar atau Minangkamwa (Minangatamwan) hingga tiba di dataran tinggi Luhak nan Tigo (darek). Kemudian dari Luhak nan Tigo inilah suku Minang menyebar ke daerah pesisir (pasisie) di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang dari Barus di utara hingga Kerinci di selatan. Selain berasal dari Luhak nan Tigo, masyarakat pesisir juga banyak yang berasal dari India Selatan dan Persia. Dimana migrasi masyarakat tersebut terjadi ketika pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, ketika kerajaan tersebut jatuh ke tangan Portugis.
Sosial Kemasyarakatan Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.
Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk suku Minangkabau yang hidup di luar provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mohctar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44 %.[2] Berdasarkan sensus tahun 2000, suku Minang yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 3,7 juta jiwa.[3] Dengan perkiraan 7 juta orang Minang di seluruh dunia, berarti lebih dari separuh orang Minang berada di perantauan. Melihat data tersebut, maka terdapat perubahan cukup besar pada etos merantau orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab menurut sensus tahun 1930, perantau Minangkabau hanya sebesar 10,5% dibawah orang Bawean (35,9 %), Batak (14,3 %), dan Banjar (14,2 %).

b. Gelombang Rantau
Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Migrasi besar-besaran pertama terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera hingga ke Negeri Sembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang mendirikan koloni-koloni dagang, seperti di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee. Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di Sulawesi. Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kesultanan Riau-Lingga
Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan, Minang perantauan banyak mendiami kota-kota besar di Jawa, terutama Jakarta.Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.
Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah untuk mendalami agama Islam, diantaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni, dan menjadi penyokong kuat gerakan Paderi di Minangkabau. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, dan Muhammad Jamil Jambek. Banyak perantau Minang yang menetap dan sukses di Mekkah, diantara mereka ialah Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang menjadi imam Mesjid Al-Haram
Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropa. Mereka antara lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Nazir Pamuntjak. Intelektual lain, Tan Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut, yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia.
Sebab Merantau Faktor Budaya Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.
Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau. Semangat untuk merubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan Ka ratau madang dahulu, babuah babungo alun (lebih baik pergi merantau karena dikampung belum berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.
Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.
Suku Minang terkenal sebagai suku yang terpelajar, oleh sebab itu pula mereka menyebar di seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam berbagai macam profesi dan keahlian, antara lain sebagai politisi, penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang. Berdasarkan jumlah populasi yang relatif kecil (2,7% dari penduduk Indonesia), Minangkabau merupakan salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian. Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia di abad ke-20 merupakan orang Minang.
Sejak dulu orang Minang telah merantau ke berbagai daerah di Jawa, Sulawesi, semenanjung Malaysia, Thailand, Brunei, hingga Philipina. Di tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan Kesultanan Sulu di Philipina selatan. Pada abad ke-14 orang Minang melakukan migrasi ke Negeri Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri baru tersebut dari kalangan mereka. Raja Melewar merupakan raja pertama Negeri Sembilan yang diangkat pada tahun 1773. Di akhir abad ke-16, ulama Minangkabau Dato Ri Bandang dan Dato Ri Tiro, menyebarkan Islam di Indonesia timur dan mengislamkan kerajaan Gowa.
Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kairo dan Mekkah mempengaruhi sistem pendidikan di Minangkabau. Sekolah Islam modern Sumatera Thawalib dan Diniyah Putri banyak melahirkan aktivis yang banyak berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain A.R Sutan Mansur, Siradjuddin Abbas, dan Djamaluddin Tamin. Pada periode 1920 - 1960 banyak politisi Indonesia yang berpengaruh berasal dari Minangkabau. Setelah kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta), seorang sebagai presiden Republik Indonesia dibawah RIS (Assaat), seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh), dan puluhan yang menjadi menteri, diantara yang cukup terkenal ialah Agus Salim dan Muhammad Yamin. Selain di pemerintahan, di masa Demokrasi Liberal parlemen Indonesia di dominasi oleh politisi Minang. Mereka tergabung kedalam aneka macam partai dan ideologi, Islamis, Nasionalis, Komunis dan Sosialis. Disamping menjabat gubernur Provinsi Sumatera Tengah/Sumatera Barat, orang Minangkabau juga duduk sebagai gubernur provinsi lain di Indonesia. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa Barat), Muhammad Djosan and Muhammad Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau Gani (Sumatra Selatan), Djamin Datuk Bagindo (Jambi).
Penulis dan jurnalis Minang banyak mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia. Mereka mengembangkan bahasa Indonesia melalui berbagai macam profesi dan bidang keahlian. Marah Rusli, Abdul Muis, Sutan Takdir Alisjahbana, Idrus, Hamka, dan A.A Navis sebagai penulis novel. Chairil Anwar dan Taufik Ismail lewat puisi, serta Abdul Rivai, Djamaluddin Adinegoro, Rosihan Anwar dan Ani Idrus sebagai jurnalis.
Di Indonesia dan Malaysia, disamping orang Tionghoa, orang Minang juga terkenal sebagai pengusaha ulung. Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil, rumah makan, perhotelan, pendidikan, dan rumah sakit. Abdul Latief dan Tunku Tan Sri Abdullah merupakan figur sukses pengusaha Minangkabau. Banyak pula orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai sutradara, produser, penyanyi, maupun artis. Diantara mereka ialah Usmar Ismail, Asrul Sani, Arizal, Ani Sumadi, Soekarno M. Noer, dan Dorce Gamalama. Orang Minangkabau juga berkontribusi besar di Malaysia dan Singapura, antara lain Tuanku Abdul Rahman (Yang Dipertuan Agung pertama Malaysia), Yusof bin Ishak (presiden pertama Singapura), Zubir Said (komposer lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura), Rais Yatim, Tan Sri Abdul Samad Idris dan Adnan bin Saidi. Di negeri Belanda, Roestam Effendi yang mewakili Partai Komunis Belanda, menjadi satu-satunya orang Indonesia yang pernah duduk sebagai anggota parlemen 

c. Pedagang Minangkabau
Pedagang Minangkabau merujuk pada profesi sekelompok masyarakat yang berasal dari ranah Minangkabau. Disamping profesi dokter, guru, dan ulama, menjadi pedagang merupakan mata pencarian bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau. Biasanya profesi ini menjadi batu loncatan bagi perantau Minangkabau setibanya di perantauan.
Pedagang-pedagang besar Minangkabau telah menjejakan kakinya sejak abad ke-7. Mereka menjadi pedagang berpengaruh yang beroperasi di pantai barat dan pantai timur Sumatra. Pedagang Minang banyak menjual hasil bumi seperti lada, yang mereka bawa dari pedalaman Minangkabau ke Selat Malaka melalui sungai-sungai besar seperti Kampar, Indragiri, dan Batang Hari. Sejak kemunculan Kerajaan Sriwijaya, banyak pedagang Minangkabau yang bekerja untuk kerajaan. Di sepanjang pantai barat Sumatra, para pedagang ini membuka pos-pos perdagangannya di kota-kota utama dari Aceh hingga Bengkulu, seperti Meulaboh, Barus, Tiku, Pariaman, Padang, dan Bengkulu.
Peranan pedagang Minangkabau mulai menurun sejak dikuasainya pantai barat Sumatra oleh Kesultanan Aceh. Munculnya kaum Paderi di Sumatera Barat pada akhir abad ke-18, merupakan kebangkitan kembali pedagang Minangkabau yang dirintis oleh para ulama Wahabi. Pedagang ini kembali mendapatkan ancaman dari Kolonial Hindia Belanda sejak dibukanya pos perdagangan Belanda di Padang. Perang Paderi yang berlangsung selama 30 tahun lebih telah meluluhlantakan perdagangan Minangkabau sekaligus penguasaan wilayah ini dibawah kolonial Hindia-Belanda. Di tahun 1950-an, banyak pedagang Minangkabau yang sukses berbisnis diantaranya Hasyim Ning, Rahman Tamin, Agus Musin Dasaad, dan Sidi Tando. Pada masa Orde Baru, kebijakan pemerintah yang berpihak kepada pedagang Tionghoa sangat merugikan pedagang Minangkabau. Kesulitan berusaha dialami oleh pedagang Minang pada saat itu, terutama masalah pinjaman modal di bank serta pengurusan ijin usaha.



B. Unsur Kebudayaan
1.      Adat Istiadat dan Hukum Adat

a.      Upacara Adat Membangun Rumah
Dalam masyarakat Minangkabau upacara-upacara yang dilakukan sebelum mendirikan bangunan baik Rumah Gadang maupun Balairung (Balai Adat) serta bangunan lainnya yang dikenal dengan beberapa upacara yang disebut dengan batoboh dan me ora rabo. Batoboh berasal dari kata Taboh yang artinya menebang atau mengambil sesuatu, jadi Batoboh adalah upacara untuk memasang tiang dengan mengambil kayu dihutan sebagai bahan utama dalam membangun rumah dan bangunan lainnya. Sedangkan me ora rabo berarti me urak = melakukan : mendatarkan : membuka atau membersihkan, sedangkan pengertian Rabo adalah semak-semak yang harus dibuang sehingga tempat bangunan yang akan dibangun memiliki bidang yang datar yang akan memudahkan dalam membuat rumah dan bangunan lainya.
Tujuan upacara Batoboh adalah memohon kepada Allah SWT agar dalam pencarian kayu dihutan untuk bahan bangunan bisa dimudahkan dan dilancarkan serta memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa perlindungan dalam pencarian kayu. Upacara Batoboh ini sangat bermanfaat bagi masyarakat Minangkabau yaitu dapat meningkatkan Gotong-Royong dan solidaritas antar sesame suku Minangkabau karena member kesempatan kepada kerabat-kerabat untuk terlibat dalam pembangunan rumah serta bangunan lain.
Tujuan dari upacara Me Orak Rabo adalah untuk membersihkan lokasi untuk mendirikan rumah, yaitu bersih dari semak-semak dan juga bersih dari roh jahat yang berada dilokasi tersebut. Dalam proses pembersihan tempat sudah pastilah mengundang para kerabat dan memberitahukan kepada tetangga bahwasannya tempat itu akan didirikan rumah atau bangunan. Biasanya dalam upacara Me Orak rabo dilakukan pendarahan oleh darah ayam dengan memotong ayam, kemudian makan bersama-sama oleh kerabat dan tetangga dan terakhir membaca doa agar rumah ini menjadi tempat yang baik dan aman dari gangguan roh jahat. Penyembelihan ayam atau pendarahan pada tanah tempat dimana akan didirikan bangunan dengan maksud mengusir roh jahat ke tempat lain.
Batoboh, Me Orak Rabo diselenggarakan oleh Penghulu Suku dengan anak kemenakan serta hubungan kerabat Sumando pasumandan dalam upacara persiapan pendirian rumah adat. Untuk persiapan pendirian Balai Adat, upacara dilakukakan oleh para penghulu suku dalam Nagari bersama dengan Pembantu Penghulu Suku tersebut serta orang tua perempuan atau saudara penghulu suku yang ada. Upacara membangun masjid dilakukan oleh pengurus masjid atau panitia yang telah ditetapkan berdasarkan keputusan dari Penghulu dalam Nagari, Ninik Mamak, Cerdik Pandai dan Alim Ulama, sedangkan upacara pembangunan surau dilakukan oleh Penghulu Suku bersama dengan warga suku tersebut.
Masyarakat Minangkabau hanya mengenal satu upacara pada waktu mendirikan bangunan yang disebut Btagak Rumah atau Batagak Kudo-Kudo. Batagak Rumah diartikan sebagai menegakan tiang rumah diatas sendi rumah yang telah ditentukan. Dan Batagak Kudo-kudo adalah memasang tiang-tiang yang tegak lurus dn melintang sebagai tempat pemasangan atap yang berbentuk pelana kuda sebagai dasar atap bangunan rumah.
`a.  Upacara Adat
Tradisi-tradisi yang berasal dari masa pra-Hindu, Islam dan gerakan pembaruan Islam, telah bersatu dan mewarnai bentuk-bentuk upacara tradisional masyarakat Minangkabau. Walaupun ada gerakan pembaruan Islam. Tradisi-tradisi yang sudah ada tetap berjalan dan tidak dapat dihapuskan begitu saja, karena telag berurat akar dalam system kebudayaan mereka. Upacara tradisional yang masih dilakukan masyarakat terutama yang berkenaan dengan kehidupan manusia. Diantaranya sebagai berikut :
1.      Upacara Daur Hidup
Sepanjang masa hidupnya manusia mengalami saat-saat yang dianggap kritis dan dapat membahayakan dirinya, terutama masa peralihan dalam tahap kehidupan. Manusia mengalami tahapan yang dianggap penting dalam kehidupannya, yaitu kelahiran. Masa-masa itu dianggap penting, oleh sebab itu harus diperingati dengan menjalankan upacara.
a.      Kelahiran
Pada beberapa Nagari ada kebiasaan sebelum mengadakan upacara kelahiran harus melaksanakan upacara kehamilan terlebih dahulu. Dengan demikian memiliki rangkaian upacara sebagai berikut yaitu saat kehamilan berumur enam bulan dilakukan upacara membubur, yang mana keluarga wanita yang hamil membuat bubur dari tepung beras, labu, gula saka dan kelapa muda. Bubur itu untuk dibagikan kepada seluruh kerabatnya serta keluarga dekat suaminya. Mereka yang diberi bubur mengundang wanita yang hamil itu untuk makan dirumah masing-masing dan hal ini disebut kegiatan manjapuik pinggan.
Kelahiran bayi biasanya dibantu oleh seorang dukun atau bidan, yang ditunggui oleh ibu Mertua. Untuk menyambut kelahiran sang bayi diadakan pertunjukan musik Talempong sebagai pernyataan gembira dan rasa syukur keluarga tersebut. Plasenta Bayi (ari-ari) dimasukan kedalam tanah dan ditutupi dengan kain putih, penguburan ari-ari dilakukan oleh salah seorang yang dianggap terpandang dalam lingkungan keluarga.
Setelah bayi beruai 40 hari, dilaksanakan upacara Turun Mandi ditepian sungai. Upacara selanjutnya adalah pemotongan rambut bayi yang disebut memotong Gombak. Rambut yang sudah dipotong ditimbang dan diganti dengan emas seberat rambut tersebut, yang dibayarkan kepada orang yang memotong rambut bayi. Ketika bayi berumur tiga bulan dan ibunya dijemput untuk bermalam oleh kerabat (bako-bako) perhiasan, uang, binatang ternak.
Menurut ajaran Agama Islam, setiap anak harus diaqekahkan sebelum menjelng dewasa. Masa dewasa, menurut tradisi Minangkabau seorang laki-laki yang sedang menginjak masa akil balig harus dikhitan dan belajar mengaji. Kedua peristiwa tersebut juga merupakan kewajiban bagi setiap laki-laki muslim. Dalam adat pergaulan muda-mudi dikenal dnegan istilah besijontiak yaitu perkenalan antara bujang dan gadis . kesempatan untuk berkenalan terjadi pada saat perayaan adat / pesta.
b.      Kematian
Apabila seseorang sedang menghadapi saat kematian, maka seluruh keluarga dan kerabatnya berkumpul untuk menemani saat terakhir, dan saling memaafkannya. Mereka yang hadir membimbingnya membaca ayat-ayat Al-Qur’an, atau jika dia sudah tidak mampu lagi seseorang akan membisikannya. Maksud dari pembacaan ayat suci tersebut agar nyawa orang yang bersangkutan dapat pergi dengan baik tanpa merasa kesakitan dan penderitaan yang berkepanjangan. Pada saat nyawa lepas meninggalkan tubuh, mereka yang hadir bersama-sama mendoakan agar kepergian kerabatnya dapat diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian jenazah diselimuti dengan kain-kain yang halus sebagai tanda penghormatan terakhir kepada yang meninggal. Berita tentang kematian biasanya cepat tersebar keseluruh kampong, dan para wanita datang menjenguk untuk menghibur keluarga yang sedang berduk.
c.       Upacara lain
Serangkaian upacara tradisional lainnya yang sampai saat ini masih dijalankan oleh masyarakat Minangkabau terutama berhubungan dengan aktivitas mereka sehari-hari. Beberapa upacara yang sering dilakukan antara lain :
1.      Tulak Bala.
Tulak Bala merupakan usaha manusia untuk menolak, mencegah atau menangkal segala macam bencana yang dapat membahayakan kehidupan manusia.
2.      Marihimin
Merupakan upacara permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk mendapatkan keselamatan dan dijauhi dri segala petaka. Upacara ini biasanya diselenggarakan pada waktu akan turun ke sawah dan menaburkan benih padi pada saat berjangkitnya wabah penyakit, berlangsungnya kemarau panjang dll
3.      Mangido ubat nieme
Nama upacara ini berasal dari ahas Tapanuli yang berarti meminta obat padi, yang maksudnya untuk memohon kesuburan bagi tanaman padi.
4.      Manogeh tumbang
Merupakan upacara dalam kaitannya dengan menambang emas yang banyak terdapat di Nagari Cubadak. Maksud dari upacara ini merupakan permohonan kepada Jin Emas agar dibolehkan menambang atau mendulang emas dengan selamat dan membawa banyak hasil
5.      Tatau
Tatau adalah sejenis upacara pengobatan dalam rangka membuka hutan untuk areal persawahan atau lading, dengan mengusir makhluk halus agar tidak menganggu pekerjaan.
6.      Parahu turun ka lauik
Upacara ini dilakukan oleh masyarakat nelayan yang tinggal ditepi pantai, terutama dalam usaha penangkapan ikan. Maksud penyelenggaraan upacara ini adalah memohon pertolongan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi kelancaran dan keselamatan selama melakukan pelayaran serta memperoleh hasil seperti yang diharapkan.
7.      Malimaui pasie
Upacara ini dilakukan oleh penduduk yang tinggal di daerah pesisir barat yang merupakan masyarakat nelayan. Upacar ini diselenggarakan sebelum turun ke laut, yaitu dengan menyirami benda-benda yang akan dibawa dan perahu-perahu dengan air yang telah dicampuri dengan kulit limau, bungs-bungaan dan daun-daunan
2.      Bahasa
Suku Minang menggunakan satu bahasa daerah yang sama, yang disebut Bahasa Minangkabau, sebuah bahasa yang erat berhubungan dengan bahasa Melayu. Menurut penelitian ilmu bahasa, Bahasa Minang boleh merupakan bahasa tersendiri, tetapi boleh juga dianggap sebagai sebuah dialek saja dari bahasa Melayu. Secara umum dialek bahasa Minang yang dikenal dapat disebut empat, yaitu:
1.      Dialek Tanah Datar
2.      Dialek Agam
3.      Dialek Lima Puluh Koto
4.      Dialek Pesisir
Penamaan tersebut didasarkan pada pembagian daerah Minangkabau yang trdiri dari 3 Luhak(Agam, Tanah Datar, dan Lima Puluh Koto) serta daerah rantau termasuk daerah pesisir.
Dalam sistem komunikasi, perundingan dan pembicaraan umum, masyarakat minangkabau lebih mementinkan kesamaan pengertian untuk setiap kata (vocabulary). Mereka menyadari, bila pengertian untuk satu kata berbeda untuk masing-masing pihak yang sedang berkomunikasi dalam suatu perundingan akan dapat menyebabkan kesalahan-kesalahan pengertian maksud dan tujuan. Hal semacam itu dapat disimak dalam pidato-pidato adat atau pesambahan. Setiap kata selalu diberikan batasan yang jelas. Seperti misalnya, orang minang tidak mengenal kata biru dalam kamus bahasanya, mereka mengenal kata biru dalam kamus bahasanya, mereka mengenal kata hijau. Untuk biru laut, merka harus menjelaskan dengan sebutan “ijau lauik”, hijau seperti warna laut, ijau daun (untuk warna daun), ijau pucuak (unutk warna hijau muda), dsbnya. Memberikan batasan yang jelas terhadap suatu kata, dalam kehidupan masyarakat modern ditemukan saat merak menyiapkan naskah perundang-undangan, perjanjian-perjanjian, pernyataan-pernyataan, kertas kerja ilmiah.
3.      Religi
Suku Minangkabau sudah pasti beragama islam karena suku Minangkabau menganut filosofi yaitu “Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah” yang artinya Adat berdasarkan / bersumber  kepada Ajaran dan Ajaran bersumber kepada Kitabullah (Al-Qur’an). Harus diketahui bahwasannya orang Padang itu tidak selalu beragama islam, karena orang Padang adalah seseorang yang bertempat tinggal di kota Padang, karena dikota Padang sudah sangat beraneka ragam baik budaya, agama, bangsa. Tetapi jika sudah berbicara suku Minangkabau sudah pasti beragama islam. Perkembangan agama islam di suku Minangkabau sangat berkembang pesat dan sangat memegang erat akidah dan ajaran agama islam, karena mulai akil balig lelaki ataupun wanita wajib belajar mengaji dan menuntut ilmu agama di Surau / Musholah. Sehingga penanaman ilmu agama sangat terinternalisasi dengan baik, karena bagi anak lelaki di suku Minangkabau jika tidak bisa mengaji dan mengerti ilmu agama akan dikucilkan bahkan diusir dari wilayah suku Minangkabau.
Dengan penanaman agama yang sangat kuat dan sejak dini maka banyak tokoh agama yang terkenal dari suku Minangkabau diantaranya KH. Agus Salim, Buya HAMKA dll. Maka suku Minangkabau sangat dikenal dengan penanaman agama yang sangat kuat, dan perkembangan agama disana sangat statis tidak seperti di daerah lain yang sangat berkembang menurut perkembangan zaman. Jika di daerah lain agama sangat berkembang dan akhirnya banyak yang diluar dari akidah dan syariat islam yang sebenernya. Dengan penanaman agama yang kuat maka pendidikan non formalnya sangat banyak seperti pengajian di sore hari, TPQ (Taman Pendidikan Qur’an) dan didalam pendidikan formal pun pendidikan agama sangat ditekankan da bahkan dalam proses pembelajarannya menggunakan metode islam.
4.      Kesenian
Di kalangan masyarakat Minagkabau hidup dan berkembang berbagai jenis kesenian, berikut ini adalah semua jenis kesenian di suku Minang:

1.      Seni Tari
Tari-tarian yang sering digelarkan dalam pertunjukan kesenian dan upacara resmi lainnya, antara lain:
·         Indang
Menggambarkan tradisi syariat pada memacu kegotong-royongan yang melandasi kehidupan masyarakat Minangkabau. Indang sendiri berarti alat pemampi beras.
·         Gelombang Persembahan
Tari ini ditujukan untuk menyambut tamu kehormatan dan yang dihormati dan juga pada upacara adat. Disebut gelombang persembahan karena ada dua unsur yang ingin ditampilkan disini yaitu unsur gelombang dan unsur persahabatan.
·         Tari Payung
Tarian yang melukiskan hubungan percintaan sepasang muda-mudi yang diiringi dengan lagu Babendi-bendi. Tarian ini sering juga ditarikan oleh sepasang mempelai dalam pesta perkawinan mereka.
2.      Seni Musik dan Lagu
Ungkapan seni suku Minang banyak diperlihatkan melalui alat musik yang seluruhnya menirukan suara. Alat musik yang banyak dipakai untuk kegiatan kesenian dapat dibagi atas:
·         Alat tiup, terdiri dari:
Saluang Darek, Saluang Sirompak, Saluang Pauah, Saluang Panjang, Bansi, Salempong, Pupuik Batang Padi, Pupuik Sarunai, Pupuik Baranak, Pupuik Tanduak.
·         Alat perkusi
Ø  Perkusi Logam
Ø  Perkusi Bambu
Ø  Perkusi Kulit
Ø  Perkusi Kayu
·         Alat petik, terdiri dari: Kecapi dan Genggong
·         Alat gesek, terdiri dari: Rabab Darek, Rabab Pesisir, Rabab Badoi dan Rabab Parlaman.



3.      Seni Drama
Randai adalah drama yang menggambarkan cerita rakyat Minangkabau. Pelaku Randai ini seluruhnya laki-laki, yang membentuk lingkaran sambil melakukan gerakan-gerakan silatyang sekali-sekali ikut mengucapkan cerita yang disampaikan oleh Pemimpin Randai.
4.      Seni Sastra
Banyak suku Minang yang menguasai sastra lisan, terutama kepandaian berpantun dan bersyair serta berpepatah.
5.      Seni Bela Diri
Disamping tari-tarian, berkembang pula seni bela diri pencak silat yang disebut Dabus. Silat yang berkembang di Sumatera Barat disebut Kumango, yang diajarkan sejak masa kanak-kanak.
6.      Seni Lukis
Seni lukis yang berkembang terutama dalam bentuk ukiran yang biasanya menghias tiang atau dinding rumah gadang serta pada peralatan rumah tangga. Motif yang digambarkan pada ukiran tersebut adalah motif tumbuhan, sedangkan motif binatang jaran.
5.      Peralatan Hidup dan Teknologi
·         Rumah adat Minangkabau
Rumah Gadang atau Rumah Godang adalah nama untuk rumah untuk rumah adat minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak di jumpai di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan anama Rumah Bagonjongatau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjung. Rumah dengan model ini juga banyak dijumpai di Negeri Sembilan, Malaysia. Namun demikian tidak semua kawasan di Minangkabau (darek) yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja Rumah Gadang ini boleh didirikan. Begitu juga pada kawasan yang disebut dengan rantau, rumah adat ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau Minangkabau.

Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandailanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar bergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas. Rumah Gadang biasanya dibangun diatas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan pada kaum tersebut.
Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruanganjung (Bahasa Minang: anjuang) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjung pada kelarasan Bodi-Chaniago tidak memakai tongkat penyangga di bawahnya, sedangkan pada kelarasan Koto-Piliang memakai tongkat penyangga.
Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, salah satu golongan menganut prinsip pemerintahan yang hirarki menggunakan anjung yang memakai tongkat penyangga, pada golongan lainnya anjuang seolah-olah mengapung di udara. Tidak jauh dari komplek Rumah Gadang tersebut biasanya juga dibangun sebuah suraukaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan dan juga sekaligus menjadi tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut yang belum menikah.
·         Senjata Khas Minangkabau
Kerambit merupakan jenis senjata asli Minangkabau Sumatera Barat, termasuk senjata khas andalan yang sangat berbahaya. Dalam bahasa Minangkabau disebut “kurambik”. Pada masa dulu, permainan senjata kerambit di Minangkabau hanya diwarisi oleh para Datuk atau kalangan Raja, bukan sembarangan orang boleh menguasai permainan yg dianggap rahasia dan hanya untuk kalangan tertentu saja.
Dalam kategori senjata genggam paling berbahaya, kerambit menduduki tempat kedua sebagai senjata maut selepas pistol. Sabitan senjata kerambit bila terkena tubuh lawan, nampak dari luar macam luka siatan kecik, tapi bisanya yang berada dalam bahagian badan boleh menyebabkan maut akibat urat2 yang terputus. Kalau terkena perut, usus akan terpotong atau terkelar di dalam. Terdapat 2 jenis kerambit, yaitu kerambit jantan dan kerambit betina. Senjata kerambit jantan bentuknya besar (selalunya diguna oleh kaum lelaki Minang), sedangkan yang betina bentuknya kecil dengan hujung gagang berlubang (selalunya diguna oleh kaum wanita Minang). Lubang ini sebagai tempat jari telunjuk mencakam senjata. Keistimewaan dari senjata ini adalah oleh karena bentuknya yang bengkok dan tajam, senjata kerambit ini susah dipatahkan. Kerambit betina mudah disorok dalam tangan atau dalam sanggul rambut tanpa dilihat oleh pihak lawan.
6.      Sistem Kemasyarakatan / Kekerabatan
a.      Sistem Organisasi Masyarakat
Semenjak zaman kerajaan Pagaruyung, ada tiga sistem adat yang dianut oleh suku Minangkabau yaitu :
1.      Sistem Kelarasan Koto Piliang
2.      Sistem Kelarasan Bodi Caniago
3.      Sistem Kelarasan Panjang
Dalam pola pewarisan adat dan harta, suku Minang menganut pola matrilineal yang mana hal ini sangatlah berlainan dari mayoritas masyarakat dunia yang menganut pola patrilineal. Terdapat kontradiksi antara pola matrilineal dengan pola pewarisan yang diajarkan oleh agama Islam yang menjadi anutan orang Minang. Oleh sebab itu dalam pola pewarisan suku Minang, dikenalah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi merupakan harta turun temurun yang diwariskan berdasarkan garis keturunan ibu, sedangkan harta pusaka rendah merupakan harta pencarian yang diwariskan secara faraidh berdasarkan hukum Islam.
·         Sistem Kelarasan Koto Piliang
Sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Ketumanggungan. Ciri yang menonjol dari adat Koto Piliang adalah otokrasi atau kepemimpinan menurut garis keturunan yang dalam istilah adat disebut sebagai "menetes dari langit, bertangga naik, berjenjang turun" Sistem adat ini banyak dianut oleh suku Minang di daerah Tanah Datar dan sekitarnya. Ciri-ciri rumah gadangnya adalah berlantai dengan ketinggian bertingkat-tingkat.
·         Sistem Kelarasan Bodi Caniago
Sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang. Sistem adatnya merupakan antitesis terhadap sistem adat Koto Piliang dengan menganut paham demokrasi yang dalam istilah adat disebut sebagai "yang membersit dari bumi, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi". Sistem adat ini banyak dianut oleh suku Minang di daerah Lima Puluh Kota. Cirinya tampak pada lantai rumah gadang yang rata.
·         Sistem Kelarasan Panjang
Sistem ini digagas oleh adik laki-laki dari dua tokoh di atas yang bernama Mambang Sutan Datuk Suri Dirajo nan Bamego-mego. Dalam adatnya dipantangkang pernikahan dalam negara yang sama. Sistem ini banyak dianut oleh luhak Agam dan sekitarnya.Namun dewasa ini semua sistem adat di atas sudah diterapkan secara bersamaan dan tidak dikotomis lagi.
b.      Sistem Matrlineal / Matriachat
Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam klen-nya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal. Oleh karena itu, waris dan pusaka diturunkan menurut garis ibu pula.
Menurut Muhammad Radjab (1969) sistem matrilineal mempunyai ciri-cirinya sebagai berikut;
1. Keturunan dihitung menurut garis ibu.
2. Suku terbentuk menurut garis ibu
3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami)
4. Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku
5. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak di tangan “ibu”, tetapi jarang sekali dipergunakan, sedangkan
6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya
7. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya
8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.
Sistem kekerabatan ini tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang. Bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem adatnya. Terutama dalam mekanisme penerapannya di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu peranan seorang penghulu ataupun ninik mamak dalam kaitan bermamak berkemanakan sangatlah penting.
Bahkan peranan penghulu dan ninik mamak itu boleh dikatakan sebagai faktor penentu dan juga sebagai indikator, apakah mekanisme sistem matrilineal itu berjalan dengan semestinya atau tidak.
Jadi keberadaan sistem ini tidak hanya terletak pada kedudukan dan peranan kaum perempuan saja, tetapi punya hubungkait yang sangat kuat dengan institusi ninik mamaknya di dalam sebuah kaum, suku atau klen.
Sebagai sebuah sistem, matrilineal dijalankan berdasarkan kemampuan dan berbagai penafsiran oleh pelakunya; ninik-mamak, kaum perempuan dan anak kemenakan. Akan tetapi sebuah uraian atau perincian yang jelas dari pelaksanaan dari sistem ini, misalnya ketentuan-ketentuan yang pasti dan jelas tentang peranan seorang perempuan dan sanksi hukumnya kalau terjadi pelanggaran, ternyata sampai sekarang belum ada. Artinya tidak dijelaskan secara tegas tentang hukuman jika seorang Minang tidak menjalankan sistem matrilineal tersebut.
Sistem itu hanya diajarkan secara turun temurun kemudian disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya. Namun begitu, sejauh manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada hakekatnya tetap dan tidak beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu sendiri. Hal seperti dapat dianggap sebagai sebuah kekuatan sistem tersebut yang tetap terjaga sampai sekarang.
Pada dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga, melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah pusaka dan sawah ladang.
Bahkan dengan adanya hukum faraidh dalam pembagian harta menurut Islam, harta pusaka kaum tetap dilindungi dengan istilah “pusako tinggi”, sedangkan harta yang boleh dibagi dimasukkan sebagai “pusako randah”.
Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat penyimpanan. Itulah sebabnya dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak.
Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan mempertahankannya.
Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak. Perempuan Minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan perempuan.
Para ninik-mamak telah membuatkan suatu “aturan permainan” antara laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang berimbang antar sesamanya.
Oleh karena itulah institusi ninik-mamak menjadi penting dan bahkan sakral bagi kemenakan dan sangat penting dalam menjaga hak dan kewajiban perempuan. Keadaan seperti ini sudah berlangsung lama, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala plus minusnya.
Keunggulan dari sistem ini adalah, dia tetap bertahan walau sistem patrilineal juga diperkenalkan oleh Islam sebagai sebuah sistem kekerabatan yang lain pula. Sistim matrilieal tidak hanya jadi sebuah “aturan” saja, tetapi telah menjadi semakin kuat menjadi suatu budaya, way of live, kecenderungan yang paling dalam diri dari setiap orang Minangkabau.
Sampai sekarang, pada setiap individu laki-laki Minang misalnya, kecenderungan mereka menyerahkan harta pusaka, warisan dari hasil pencahariannya sendiri, yang seharusnya dibagi menurut hukum faraidh kepada anak-anaknya, mereka lebih condong untuk menyerahkannya kepada anak perempuannya.
Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula kepada anak perempuannya pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato dalam disertasinya menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat dalam diri orang-orang Minang walaupun mereka telah menetap di kota-kota di luar Minang sekalipun. Sistem matrilineal tampaknya belum akan meluntur sama sekali, walau kondisi-kondisi sosial lainnya sudah banyak yang berubah.
Untuk dapat menjalankan sistem itu dengan baik, maka mereka yang akan menjalankan sistem itu haruslah orang Minangkakabu itu sendiri. Untuk dapat menentukan seseorang itu orang Minangkabau atau tidak, ada beberapa ketentuannya, atau syarat-syarat seseorang dapat dikatakan sebagai orang Minangkabau.
Syarat-syarat seseorang dapat dikatakan orang Minangkabau;
1. Basuku (bamamak bakamanakan)
2. Barumah gadang
3. Basasok bajarami
4. Basawah baladang
5. Bapandan pakuburan
6. Batapian tampek mandi
Seseorang yang tidak memenuhi ketentuan tersebut di dalam berkaum bernagari, dianggap “orang kurang” atau tidak sempurna. Bagi seseorang yang ingin menjadi orang Minang juga dibuka pintunya dengan memenuhi berbagai persyaratan pula.
Dalam istilah inggok mancangkam tabang basitumpu. Artinya orang itu harus masuk ke dalam sebuah kaum atau suku, mengikuti seluruh aturan-aturannya.
Ada empat aspek penting yang diatur dalam sistem matrilienal;
a. Pengaturan harta pusaka
Harta pusaka yang dalam terminologi Minangkabau disebut harato jo pusako. Harato adalah sesuatu milik kaum yang tampak dan ujud secara material seperti sawah, ladang, rumah gadang, ternak dan sebagainya.
Pusako adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi turun temurun baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu di Minangkabau dikenal pula dua kata kembar yang artinya sangat jauh berbeda; sako dan pusako.
1. Sako
Sako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang tidak berbentuk material, seperti gelar penghulu, kebesaran kaum, tuah dan penghormatan yang diberikan masyarakat kepadanya.
Sako merupakan hak bagi laki-laki di dalam kaumnya. Gelar demikian tidak dapat diberikan kepada perempuan walau dalam keadaan apapun juga. Pengaturan pewarisan gelar itu tertakluk kepada sistem kelarasan yang dianut suku atau kaum itu.
Jika menganut sistim kelarasan Koto Piliang, maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan; patah tumbuah. Artinya, gelar berikutnya harus diberikan kepada kemenakan langsung dari si penghulu yang memegang gelar itu. Gelar demikian tidak dapat diwariskan kepada orang lain dengan alasan papun juga.
Jika tidak ada laki-laki yang akan mewarisi, gelar itu digantuang atau dilipek atau disimpan sampai nanti kaum itu mempunyai laki-laki pewaris. Jika menganut sistem kelarasan Bodi Caniago, maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan hilang baganti. Artinya, jika seorang penghulu pemegang gelar kebesaran itu meninggal, dia dapat diwariskan kepada lelaki di dalam kaum berdasarkan kesepakatan bersama anggota kaum itu. Pergantian demikian disebut secara adatnya gadang balega.
Di dalam halnya gelar kehormatan atau gelar kepenghuluan (datuk) dapat diberikan dalam tiga tingkatan:
a. Gelar yang diwariskan dari mamak ke kemenakan. Gelar ini merupakan gelar pusaka kaum sebagaimana yang diterangkan di atas. Gelar ini disebut sebagai gelar yang mengikuti kepada perkauman yang batali darah.
b. Gelar yang diberikan oleh pihak keluarga ayah (bako) kepada anak pisangnya, karena anak pisang tersebut memerlukan gelar itu untuk menaikkan status sosialnya atau untuk keperluan lainnya. Gelar ini hanya gelar panggilan, tetapi tidak mempengaruhi konstelasi dan mekanisme kepenghuluan yang telah ada di dalam kaum. Gelar ini hanya boleh dipakai untuk dirinya sendiri, seumur hidup dan tidak boleh diwariskan kepada yang lain; anak apalagi kemenakan. Bila si penerima gelar meninggal, gelar itu akan dijemput kembali oleh bako dalam sebuah upacara adat. Gelar ini disebut sebagai gelar yang berdasarkan batali adat.
c. Gelar yang diberikan oleh raja Pagaruyung kepada seseorang yang dianggap telah berjasa menurut ukuran-ukuran tertentu. Gelar ini bukan gelar untuk mengfungsinya sebagai penghulu di dalam kaumnya sendiri, karena gelar penghulu sudah dipakai oleh pengulu kaum itu, tetapi gelaran itu adalah merupakan balasan terhadap jasa-jasanya. Gelaran ini disebut secara adat disebabkan karena batali suto. Gelar ini hanya boleh dipakai seumur hidupnya dan tidak boleh diwariskan. Bila terjadi sesuatu yang luar biasa, yang dapat merusakkan nama raja, kaum, dan nagari, maka gelaran itu dapat dicabut kembali.
2. Pusako
Pusako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang berbentuk material, seperti sawah, ladang, rumah gadang dan lainnya. Pusako dimanfaatkan oleh perempuan di dalam kaumnya. Hasil sawah, ladang menjadi bekal hidup perempuan dengan anak-anaknya. Rumah gadang menjadi tempat tinggalnya.  Laki-laki berhak mengatur tetapi tidak berhak untuk memiliki.  Karena itu di Minangkabau kata hak milik bukanlah merupakan kata kembar, tetapi dua kata yang satu sama lain artinya tetapi berada dalam konteks yang sama. Hak dan milik. Laki-laki punya hak terhadap pusako kaum, tetapi dia bukan pemilik pusako kaumnya.Dalam pengaturan pewarisan pusako, semua harta yang akan diwariskan harus ditentukan dulu kedudukannya.  Kedudukan harta pusaka itu terbagi dalam;
a. Pusako tinggi.
Harta pusaka kaum yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis ibu. Pusaka tinggi hanya boleh digadaikan bila keadaan sangat mendesak sekali hanya untuk tiga hal saja; pertama, gadih gadang indak balaki, kedua, maik tabujua tangah rumah, ketiga, rumah gadang katirisan. Selain dari ketiga hal di atas harta pusaka tidak boleh digadaikan apalagi dijual.
b. Pusako randah.
Harta pusaka yang didapat selama perkawinan antara suami dan istri. Pusaka ini disebut juga harta bawaan, artinya modal dasarnya berasal dari masing-masing kaum. Pusako randah diwariskan kepada anak, istri dan saudara laki-laki berdasarkan hukum faraidh, atau hukum Islam.
Namun dalam berbagai kasus di Minangkabau, umumnya, pusako randah ini juga diserahkan oleh laki-laki pewaris kepada adik perempuannya. Tidak dibaginya menurut hukum faraidh tersebut. Inilah mungkin yang dimaksudkan Tsuyoshi Kato bahwa sistem matrilineal akan menguat dengan adanya keluarga batih. Karena setiap laki-laki pewaris pusako randah akan selalu menyerahkan harta itu kepada saudara perempuannya. Selanjutanya saudara perempuan itu mewariskan pula kepada anak perempuannya. Begitu seterusnya. Akibatnya, pusako randah pada mulanya, dalam dua atau tiga generasi berikutnya menjadi pusako tinggi pula.
Peranan laki-laki
Kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam adat Minangkabau berada dalam posisi seimbang. Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian, pembagian harta pusaka, perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk keperluannya anak beranak.
Peranan laki-laki di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya dengan seimbang dan sejalan.
1. Sebagai kemenakan
Di dalam kaumnya, seorang laki-laki bermula sebagai kemenakan (atau dalam hubungan kekerabatan disebutkan; ketek anak urang, lah gadang kamanakan awak). Sebagai kemenakan dia harus mematuhi segala aturan yang ada di dalam kaum. Belajar untuk mengetahui semua aset kaumnya dan semua anggota keluarga kaumnya.
Oleh karena itu, ketika seseorang berstatus menjadi kemenakan, dia selalu disuruh ke sana ke mari untuk mengetahui segala hal tentang adat dan perkaumannya.
Dalam kaitan ini, peranan Surau menjadi penting, karena Surau adalah sarana tempat mempelajari semua hal itu baik dari mamaknya sendiri maupun dari orang lain yang berada di surau tersebut.
Dalam menentukan status kemenakan sebagai pewaris sako dan pusako, anak kemenakan dikelompokan menjadi tiga kelompok:
a. Kemenakan di bawah daguak
b. Kemenakan di bawah pusek
c. Kemenakan di bawah lutuik
Kemenakan di bawah daguak adalah penerima langsung waris sako dan pusako dari mamaknya. Kemenakan di bawah pusek adalah penerima waris apabila kemenakan di bawah daguak tidak ada (punah). Kemenakan di bawah lutuik, umumnya tidak diikutkan dalam pewarisan sako dan pusako kaum.
2. Sebagai mamak
Pada giliran berikutnya, setelah dia dewasa, dia akan menjadi mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, tugas itu harus dijalaninya. Dia bekerja di sawah kaumnya untuk saudara perempuannya anak-beranak yang sekaligus itulah pula kemenakannya. Dia mulai ikut mengatur, walau tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan mamaknya yang lebih tinggi, yaitu penghulu kaum.

3. Sebagai penghulu
Selanjutnya, dia akan memegang kendali kaumnya sebagai penghulu. Gelar kebesaran diberikan kepadanya, dengan sebutan datuk. Seorang penghulu berkewajiban menjaga keutuhan kaum, mengatur pemakaian harta pusaka. Dia juga bertindak terhadap hal-hal yang berada di luar kaumnya untuk kepentingan kaumnya.
Setiap laki-laki terhadap kaumnya selalu diajarkan; kalau tidak dapat menambah (maksudnya harta pusaka kaum), jangan mengurangi (maksudnya, menjual, menggadai atau menjadikan milik sendiri).
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa peranan seorang laki-laki di dalam kaum disimpulkan dalam ajaran adatnya;
Tagak badunsanak mamaga dunsanak
Tagak basuku mamaga suku
Tagak ba kampuang mamaga kampuang
Tagak ba nagari mamaga nagari
4. Peranan di luar kaum
Selain berperan di dalam kaum sebagai kemanakan, mamak atau penghulu, seorang anak lelaki setelah dia kawin dan berumah tangga, dia mempunyai peranan lain sebagai tamu atau pendatang di dalam kaum isterinya. Artinya di sini, dia sebagai duta pihak kaumnya di dalam kaum istrinya, dan istri sebagai duta kaumnya pula di dalam kaum suaminya. Satu sama lain harus menjaga kesimbangan dalam berbagai hal, termasuk perlakuan-perlakuan terhadap anggota kaum kedua belah pihak.
Di dalam kaum istrinya, seorang laki-laki adalah sumando (semenda). Sumando ini di dalam masyarakat Minangkabau dibuatkan pula beberapa kategori;
a. Sumando ninik mamak. Artinya, semenda yang dapat ikut memberikan ketenteraman pada kedua kaum; kaum istrinya dan kaumnya sendiri. Mencarikan jalan keluar terhadap sesuatu persoalan dengan sebijaksana mungkin. Dia lebih berperan sebagai seorang yang arif dan bijaksana.
b. Sumando kacang miang. Artinya, sumando yang membuat kaum istrinya menjadi gelisah karena dia memunculkan atau mempertajam persoalan-persoalan yang seharusnya tidak dimunculkan. Sikap seperti ini tidak boleh dipakai.
c. Sumando lapik buruk. Artinya, sumando yang hanya memikirkan anak istrinya semata tanpa peduli dengan persoalan-persoalan lainnya. Dikatakan juga sumando seperti seperti sumando apak paja, yang hanya berfungsi sebagai tampang atau bibit semata. Sikap seperti ini juga tidak boleh dipakai dan harus dijauhi.
Sumando tidak punya kekuasan apapun di rumah istrinya, sebagaimana yang selalu diungkapkan dalam pepatah petitih;
Sadalam-dalam payo
Hinggo dado itiak
Sakuaso-kuaso urang sumando
Hinggo pintu biliak
Sebaliknya, peranan sumando yang baik dikatakan;
Rancak rumah dek sumando
Elok hukum dek mamaknyo
Kaum dan Pesukuan
Orang Minangkabau yang berasal dari satu keturunan dalam garis matrilineal merupakan anggota kaum dari keturunan tersebut. Di dalam sebuah kaum, unit terkecil disebut samande. Yang berasal dari satu ibu (mande). Unit yang lebih luas dari samande disebut saparuik. Maksudnya berasal dari nenek yang sama. Kemudian saniniak maksudnya adalah keturunan nenek dari nenek. Yang lebih luas dari itu lagi disebut sakaum.  Kemudian dalam bentuknya yang lebih luas, disebut sasuku. Maksudnya, berasal dari keturunan yang sama sejak dari nenek moyangnya.  
Suku artinya seperempat atau kaki. Jadi, pengertian sasuku dalam sebuah nagari adalah seperempat dari penduduk nagari tersebut. Karena, dalam sebuah nagari harus ada empat suku besar. Padamulanya suku-suku itu terdiri dari Koto, Piliang, Bodi dan Caniago. Dalam perkembangannya, karena bertambahnya populasi masyarakat setiap suku, suku-suku itupun dimekarkan.  Koto dan Piliang berkembang menjadi beberapa suku; Tanjuang, Sikumbang, Kutianyir, Guci, Payobada, Jambak, Salo, Banuhampu, Damo, Tobo, Galumpang, Dalimo, Pisang, Pagacancang, Patapang, Melayu, Bendang, Kampai, Panai, Sikujo, Mandahiliang, Bijo dll.
Bodi dan Caniago berkembang menjadi beberapa suku; Sungai Napa, Singkuang, Supayang, Lubuk Batang, Panyalai, Mandaliko, Sumagek dll.  Dalam majlis peradatan keempat pimpinan dari suku-suku ini disebut urang nan ampek suku.  Dalam sebuah nagari ada yang tetap dengan memakai ampek suku tapi ada juga memakai limo suku, maksudnya ada nama suku lain; Malayu yang dimasukkan ke sana. Sebuah suku dengan suku yang lain, mungkin berdasarkan sejarah, keturunan atau kepercayaan yang mereka yakini tentang asal sulu mereka, boleh jadi berasal dari perempuan yang sama.
Suku-suku yang merasa punya kaitan keturunan ini disebut dengan sapayuang. Dari beberapa payuang yang juga berasal sejarah yang sama, disebut sahindu. Namun, yang lazim dikenal dalam berbagai aktivitas sosial masyarakat Minangkabau adalah; sasuku dan sapayuang saja. Sebuah kaum mempunyai keterkaitan dengan suku-suku lainnya, terutama disebabkan oleh perkawinan. Oleh karena itu kaum punya struktur yang umumnya dipakai oleh setiap suku;
(1) struktur di dalam kaum
Di dalam sebuah kaum, strukturnya sebagai berikut;
a.      Mamak yang dipercaya sebagai pimpinan kaum yang disebut Penghulu bergelar datuk.
b.      Mamak-mamak di bawah penghulu yang dipercayai memimpin setiap rumah gadang, karena di dalam satu kaum kemungkinan rumah gadangnya banyak. Mamak-mamak yang mempimpin setiap rumah gadang itu disebut; tungganai.
Seorang laki-laki yang memikul tugas sebagai tungganai rumah pada beberapa suku tertentu mereka juga diberi gelar datuk. Di bawah tungganai ada laki-laki dewasa yang telah kawin juga, berstatus sebagai mamak biasa. Di bawah mamak itulah baru ada kemenakan.
(2) Struktur dalam kaitannya dengan suku lain.
Akibat dari sistem matrilienal yang mengharuskan setiap anggota suku harus kawin dengan anggota suku lain, maka keterkaitan akibat perkawinan melahirkan suatu struktur yang lain, struktur yang mengatur hubungan anggota sebuah suku dengan suku lain yang terikat dalam tali perkawinan tersebut.
a. Induk bako anak pisang
Induak bako anak pisang merupakan dua kata yang berbeda; induak bako dan anak pisang. Induak bako adalah semua ibu dari keluarga pihak ayah. Bako adalah semua anggota suku dari kaum pihak ayah.  Induak bako punya peranan dan posisi tersendiri di dalam sebuah kaum pihak si anak.
b. Andan pasumandan
Andan pasumandan juga merupakan dua kata yang berbeda; andan dan pasumandan. Pasumandan adalah pihak keluarga dari suami atau istri. Suami dari rumah gadang A yang kawin dengan isteri dari rumah gadang B, maka pasumandan bagi isteri adalah perempuan yang berada dalam kaum suami. Sedangkan andan bagi kaum rumah gadang A adalah anggota kaum rumah gadang C yang juga terikat perkawinan dengan salah seorang anggota rumah gadang B.
c. Bundo Kanduang
Dalam masyarakat Minangkabau dewasa ini kata Bundo Kanduang mempunyai banyak pengertian pula, antara lain;
a)    Bundo kanduang sebagai perempuan utama di dalam kaum, sebagaimana yang dijelaskan di atas.
b)    Bundo Kanduang yang ada di dalam cerita rakyat atau kaba Cindua Mato. Bundo  Kanduang sebagai raja Minangkabau atau raja Pagaruyung.
c)     Bundo kanduang sebagai ibu kanduang sendiri.
d)    Bundo kanduang sebagai sebuah nama organisasi perempuan Minangkabau yang berdampingan dengan LKAAM.
Bundo kanduang yang dimaksudkan di sini adalah, Bundo Kanduang sebagai perempuan utama.
Bundo kanduang sebagai perempuan utama
Apabila ibu atau tingkatan ibu dari mamak yang jadi penghulu masih hidup, maka dialah yang disebut Bundo Kanduang, atau mandeh atau niniek. Dialah perempuan utama di dalam kaum itu.
Perempuan yang disebut bundo anduang dalam kaumnya, mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari seorang penghulu karena dia setingkat ibu, atau ibu penghulu itu betul.
Dia dapat menegur penghulu itu apabila si penghulu melakukan suatu kekeliruan. Perempuan-perempuan setingkat mande di bawahnya, apabila dia dianggap lebih pandai, bijak dan baik, diapun sering dijadikan perempuan utama di dalam kaum. Secara implisit tampaknya, perempuan utama di dalam suatu kaum, adalah semacam badan pengawasan atau lembaga kontrol dari apa yang dilakukan seorang penghulu.

c.       Perkawinan
Adat perkawian Minangkabau tidak mengenal mas kawin, yang ada hanya pemberian uang jemputan dari keluarga pihak wanita kepada keluarga pihak laki-lai. Pada masa lalu setelah upacara perkawinan dilangsungkan, seringkali pengantin pria mengunjungi istrinya hanya pada malam hari saja. Statusnya adalah hanya sebagai Urang Sumando (Orang yang Menumpang). Dari pagi sampai sore hari dia berada dirumah orang tuanya. Hal ini hanya berlaku apabila status sosialnya lebih tiggi daripada status sosial istrinya, bahkan dia dapt beristri lebih dari seorang, dengan beristri banyak berarti uang jemputan yang akan diterimanya pun akan banyak. Kalau sampai terjadi perceraian, maka bekas suami harus meninggalkan rumah, istri, dan anak-anaknya. Selanjutnya istri dan anak akan diurus oleh saudara laki-laki dari ibunya.
7.      Sisitem Mata Pencaharian
Pedagang Minangkabau merujuk pada profesi sekelompok masyarakat yang berasal dari ranah Minangkabau. Disamping profesi dokter, guru, dan ulama, menjadi pedagang merupakan mata pencarian bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau. Biasanya profesi ini menjadi batu loncatan bagi perantau Minangkabau setibanya di perantauan.
Pedagang-pedagang besar Minangkabau telah menjejakan kakinya sejak abad ke-7. Mereka menjadi pedagang berpengaruh yang beroperasi di pantai barat dan pantai timur Sumatra. Pedagang Minang banyak menjual hasil bumi seperti lada, yang mereka bawa dari pedalaman Minangkabau ke Selat Malaka melalui sungai-sungai besar seperti Kampar, Indragiri, dan Batang Hari. Sejak kemunculan Kerajaan Sriwijaya, banyak pedagang Minangkabau yang bekerja untuk kerajaan. Di sepanjang pantai barat Sumatra, para pedagang ini membuka pos-pos perdagangannya di kota-kota utama dari Aceh hingga Bengkulu, seperti Meulaboh, Barus, Tiku, Pariaman, Padang, dan Bengkulu.
Peranan pedagang Minangkabau mulai menurun sejak dikuasainya pantai barat Sumatra oleh Kesultanan Aceh. Munculnya kaum Paderi di Sumatera Barat pada akhir abad ke-18, merupakan kebangkitan kembali pedagang Minangkabau yang dirintis oleh para ulama Wahabi. Pedagang ini kembali mendapatkan ancaman dari Kolonial Hindia Belanda sejak dibukanya pos perdagangan Belanda di Padang. Perang Paderi yang berlangsung selama 30 tahun lebih telah meluluhlantakan perdagangan Minangkabau sekaligus penguasaan wilayah ini dibawah kolonial Hindia-Belanda.
Di tahun 1950-an, banyak pedagang Minangkabau yang sukses berbisnis diantaranya Hasyim Ning, Rahman Tamin, Agus Musin Dasaad, dan Sidi Tando. Pada masa Orde Baru, kebijakan pemerintah yang berpihak kepada pedagang Tionghoa sangat merugikan pedagang Minangkabau. Kesulitan berusaha dialami oleh pedagang Minang pada saat itu, terutama masalah pinjaman modal di bank serta pengurusan ijin usaha. Ini dia beberapa mata pencaharian suku minang :

d.      Jenis usaha Restoran
Usaha rumah makan merupakan jenis usaha yang banyak digeluti oleh pedagang Minang. Jaringan restoran Minang atau yang biasa dikenal dengan restoran Padang tersebar ke seluruh kota-kota di Indonesia, bahkan hingga ke Malaysia dan Singapura. Disamping itu terdapat juga usaha restoran yang memiliki ciri khas dan merek dagang yang dijalani oleh pedagang dari daerah tertentu. Pedagang asal Kapau, Agam biasanya menjual nasi ramas yang dikenal dengan Nasi Kapau. Pedagang Pariaman banyak yang menjual Sate Padang. Sedangkan pedagang asal Kubang, Lima Puluh Kota menjadi penjual martabak, dengan merek dagangnya Martabak Kubang. Restoran Sederhana yang dirintis oleh Bustamam menjadi jaringan restoran Padang terbesar dengan lebih dari 60 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Di Malaysia, Restoran Sari Ratu yang didirikan oleh Junaidi bin Jaba, salah satu restoran Padang yang sukses.

e.       Tekstil
Di pasar tradisional kota-kota besar Indonesia, pedagang Minangkabau banyak yang menggeluti perdagangan tekstil. Di Jakarta, pedagang Minangkabau mendominasi pusat-pusat perdagangan tradisional, seperti Pasar Tanah Abang, Pasar Senen, Pasar Blok M, Pasar Jatinegara, dan Pasar Bendungan Hilir. Dominansi pedagang tekstil Minangkabau juga terjadi di Medan dan Pekan Baru. Jika di Medan pedagang Minangkabau mendominasi Pasar Sukaramai, maka di Pekan Baru mereka dominan di Pasar Pusat dan Pasar Bawah. Di Surabaya, pedagang tekstil asal Minang banyak dijumpai di Pasar Turi.

f.       Kerajinan
      Orang Minang banyak melakukan perdagangan dari hasil kerajinan. Para pedagang ini banyak yang menggeluti kerajinan perak, emas, dan sepatu. Kebanyakan dari mereka berasal dari Silungkang, Sawahlunto dan Pandai Sikek, Tanah Datar. Disamping juga banyak yang menggeluti usaha jual-beli barang-barang antik, dimana usaha ini biasanya digeluti oleh pedagang asal Sungai Puar, Agam. Pedagang barang antik Minangkabau banyak ditemui di Cikini, Jakarta Pusat dan Ciputat, Tangerang Selatan


d. Percetakan
Bisnis percetakan merupakan jenis usaha yang banyak dijalankan oleh pedagang Minang. Usaha percetakan yang mereka jalani meliputi percetakan undangan dan buku. Bahkan dari usaha percetakan ini berkembang menjadi usaha penerbitan buku dan toko buku. Usaha percetakan banyak digeluti oleh pedagang asal Sulit Air, Solok. Salah satu tokoh sukses yang menggeluti bisnis percetakan ini ialah H.M Arbie yang berbasis dikota medan

e. Hotel dan Travel
Bisnis pariwisata terutama jaringan perhotelan dan travel juga banyak digeluti oleh pengusaha Minangkabau. Di Jakarta, jaringan Hotel Grand Menteng merupakan jaringan bisnis hotel terbesar milik orang Minang. Di Pekan Baru, disamping Best Western Hotel milik Basrizal Koto, ada Hotel Pangeran yang dimiliki oleh Sutan Pangeran. Bisnis travel di geluti oleh pengusaha asal Payakumbuh, Rahimi Sutan di bawah bendera Natrabu Tour.
   
f. Pendidikan
Bisnis pendidikan juga menjadi pilihan bagi orang Minang. Usaha ini biasanya digeluti oleh para pendidik yang pada mulanya bekerja pada sekolah negeri atau swasta. Dari pengalaman tersebut, mereka bisa mengembangkan sekolah, universitas, atau tempat kursus sendiri yang akhirnya berkembang secara profesional. Di Jakarta, setidaknya terdapat tiga universitas milik orang Minang, yaitu Universitas Jayabaya, Universitas Persada Indonesia YAI, dan Universitas Borobudur.
     g. Media
Bakat menulis dan ilmu jurnalistik yang dimiliki oleh orang Minang, telah melahirkan beberapa perusahaan media besar di Indonesia. Antara lain ialah koran Oetoesan Melajoe yang didirikan oleh Sutan Maharaja pada tahun 1915, majalah Panji Masyarakat yang didirikan oleh Hamka, koran Pedoman yang didirikan oleh Rosihan Anwar, koran Waspada yang didirikan oleh Ani Idrus, majalah Kartini yang didirikan oleh Lukman Umar, majalah Femina yang didirikan oleh putra-putri Sutan Takdir Alisjahbana, dan jaringan televisi TV One yang didirikan oleh Abdul Latief.

     h. Keuangan
Bisnis di industri keuangan, seperti perbankan, sekuritas, dan asuransi juga merupakan pilihan bagi pengusaha Minang. Bahkan pengusaha Minang, Sutan Sjahsam yang juga adik perdana menteri pertama Indonesia Sutan Sjahrir, merupakan perintis pasar modal di Indonesia. Sjahsam juga seorang pialang saham dan mendirikan perusahaan sekuritas, Perdanas. Disamping Sjahsam, ekonom Syahrir juga aktif dalam bisnis sekuritas dengan mendirikan perusahaan Syahrir Securities. Di bisnis perbankan, ada pengusaha Minang lainnya, Anwar Sutan Saidi, yang mendirikan Bank Nasional pada tahun 1930.
C.    Permasalahan suku Minangkabau
Permasalahan
Suku Minangkabau adalah kelompok etnis yang paling banyak dikaji para peneliti dalam dan luar negeri. Kelompok ini mendiami daratan tengah pulau Sumatra bagian barat yang sekarang menjadi Provinsi Sumatra Barat. Pada masyarakat Minangkabau ini terdiri dari banyak suku namun istilah suku pada masyarakat ini tidak sama dengan “suku bangsa”, suku lebih setara dengan marga seperti pada orang batak.Dengan banyak kekhasan yang dimiliki oleh suku Minangkabau seperti system matrilineal dan budaya menjadi daya tarik tersendiri sehingga banyak ilmuan ingin meneliti dari suku Minangkabau ini. dan kita ketahui sendiri bahwasannya di suku Minangkabau adalah mayoraitas penganut agama islam yang kuat, berdasarkan filosofinya yaitu “Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah” yang memiliki arti yaitu Adat bersumber Ajaran dan Ajaran Bersumber dari Al-Qur’an, dengan memiliki folosofi tersebut maka sudah dipastikan suku Minangkabau berazazkan agama islam, namun ada beberapa permasalahannya yaitu adalah budaya yang bertolak belakang dari ajaran agama islam yaitu matrilineal yang dimana garis kekerabatan berdasarkan garis keturunan Ibu, bukan berdasarkan Nasab dari seorang Ayah.
Pada abad ke-13 Islam mulai masuk ke Minangkabau melalui alur sungai dari pantai Timur Sumatera menusuk ke hulu di daerah pedalaman Minangkabau dan pada abad ke 16 tepat nya tahun 1581 dibuktikan dengan adanya kerajaan islam yang bernama kerajaan Pagaruyung. Setelah itu islam semakin berkembang berkat kepulangan 3 syekh asli  suku Minangkabau yg telah belajar islam dari Timur Tengah. Mereka membawa ajaran islam Muhabbi, Salah satu syekh itu bernama Syekh Burhanuddin. Sejak kepulangan ketiga syekh itu menjadi tonggak pergolakan antara kaum muda dan kaum tua di suku Minangkabau, dimana Pergolakan ini mempermasalahkan tentang konteks agama (islam) yang menjadi cikal bakal modernisasi yang berimplikasi dan berkaitan dengan adat dan budaya suku Minangkabau.
Pertentangan antara paham lama dengan paham baru merupakan suatu proses yang telah lama berlangsung dalam masyarakat minangkabau. Perang Padri di Minangkabau pada permulaan abad ke-19 pada mulanya berupa pertentangan kaum tua dengan kaum muda, yang kemudian menjelma menjadi persoalan yang serius. Kaum muda adalah orang-orang Minangkabau yang baru pulang dari Makkah setelah melaksanakan haji  dan membawa ajaran Islam ke Minangkabau. Ketika itu kaum muda di Minagkabau telah melihat kebiasaan-kebiasaan buruk yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat di kerajaan pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan buruk yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, dan juga aspek hukum adat matriakat / matrilineal mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama islam.
Kebiasaan ini semakin meluas dan mempengaruhi kaum muda. Ternyata dalam melaksanakan misinya golongan muda ini ditentang oleh golongan tua, yaitu kaum yang sangat menjaga adat Minangkabau dan tentu saja mereka tidak terima bahwa golongan muda ingin mengubah adat mereka. Pertentangan antara kedua belah pihak itu pada awalnya akan diselesaikan secara damai memalui perundingan, tatapi tidak terdapat persesuaian pendapat. Akhirnya salah satu dari mereka (golongan tua dan golongan muda) menganjurkan secara kekerasan sehingga terjadilah perang saudara yang bercorak keagamaan.
Dalam pergolakan ini kaum muda menginginkan adanya pemurnian agama islam di Minangkabau, namun kaum tua besikukuh untuk mempertahankan agama islam yang lebih bersifat tradisional dengan alasan agama islam tradisional klasik yang konservatif memiliki nilai-nilai yang lebih,seperti tarekhat dan tasyawuf (mensucikan diri) yang digabungkan dengan adat lama suku Minangkabau. Kaum tua di cap sebagai kelompok agama yang penuh dengan nilai-nilai bit’ah, tahayul, dan mitos-mitos yang mana nilai-nilai ini yang ingin ditransformasikan oleh kaum muda, mereka kaum muda tidak sepaham dengan keislaman suku minangkabau yang masih berbau nilai-nilai seperti itu, maka kaum muda pun mengadakan gerakan puritanisme (Pemurnian agama Islam) dengan mendirikan sebuah pesantren untuk mengkampanyekan nilai-nilai islam yang bersifat lebih modern dengan konteks adat dan budaya suku Minangkabau.
Pertentangan kaum tua dengan kaum muda ini juga berlangsung pada ke-20 dengan makin terdesaknya golongan tua. Golongan-golongan muda yang agresif berhasil memodernisasi sistem sekolah agama yang ada. Perkenalan yang lebih mendalam dengan agama islam telah menimbulkan suatu kesadaran pada orang minagkabau untuk lebih mementingkan keislamannya dari pada keminagkabauannya dan telah menimbulkan suatu kesadaran tentang keganjilan adat Minagkabau, kalau kedudukan ayah dalam sistem islam dengan jelas memberikan kekuasaan kepada ayah untuk menjaga keluarga itu. Disamping itu dalam islam tidak ada halangan untuk menikahi siapa saja asalkan beragama islam dan asalkan jangan saudara seibu atau saudara seayah dan sebagainya. Dalam sistem minangkabau pilihan itu terbatas, orang belum tentu dapat menikah dengan seseorang yang diizinkan menurut agama hanya karena orang itu termasuk ke dalam suatu kelompok adat yang sama, atau karena orang itu bukan dari desanya sendiri atau karena orang itu lebih tinggi kelas sosisalnya. Keadaan ini yang menyebabkan mereka (kaum muda) menentang terhadap sistem adat Minangkabau.
Selain permasalahan tentang agama yang berkaitan dengan adat dan budaya suku Minangkabau, ada pula permasalahan yang menimbulkan pro dan kontra dikalangan kaum muda dan kaum tua yaitu mengenai masalah keperdataan (hak waris), di dalam suku Minangkabau  menganut sistem Matrilineal yang mana garis keturunan ditarik dari garis ibu ke atas, sehingga hak waris hanya dilimpahkan kepada perempuan dan laki-laki tidak mendapat bagian sedikitpun, sehingga menimbulkan protes kaum muda.


D.    Solusi dan Kebijakan
1.      Solusi Menurut Narasumber
Untuk mengatasi dua (2) permasalahan yang menimbulkan pergolakan antara kaum muda dan kaum tua tersebut maka kedua nya mengadakan sebuah perjanjian atau musyawarah untuk menghasilkan mufakat tepat nya pada abad ke-19 dengan bukti adanya perjanjian Bukik Muarapalam dan perjanjian Masang, dalam kompromi atau perjanjian ini lebih condong kepada pendapat kaum muda sehingga kaum muda lah yang memenangkan perjanjian Bukik Muarapalam dan Perjanjian Masang, dimana isi perjanjian ini menyebutkan bahwa kaum tua menerima nilai-nilai agama islam yang modern namun tidak meninggalkan nilai-nilai adat dan budaya suku Minangkabau, jadi agama dan adat serta budaya saling menyuburkan satu sama lain dengan istilah suku Minangkabau “Adat basani sara, sara Basani Kitabullah.Yang kedua isi perjanjian Bukik Muarapalam dan perjanjian Masang tentang masalah keperdataan atau hak waris adalah tentang hak waris ini dibagi menjadi dua (2) bagian yaitu ;
a.      Harta Pusaka tinggi
Harta pusaka tinggi adalah harta yang diwarisi secara turun temurun dari beberapa generasi menurut garis keturunan ibu. Harta pusaka tinggi ini berupa material seperti sawah ladang, kebun dan lain-lain disebut juga pusako. Disamping itu ada pula harta pusaka tinggi yang berupa moril yaitu gelar pusaka kaum yang diwarisi secara turun temurun yang disebut dalam adat sako. Harta pusaka tinggi ini pun tidak boleh diperjual belikan, hanya boleh digadai tapi dengan 4 syarat, syarat itu terdiri dari : 1. “Karena Mayit Terbujur Ditengah Rumah” artinya jika dikeluarga ibu dirumah gadang tidak ada dana untuk menguburkan si mayit maka boleh digadai, 2. “Apabila Seorang Perempuan Sudah Lama Tidak Menikah dan Tidak Ada Dana” maka boleh digadai, 3. “Untuk Mengangkat Penghulu” atau Ketua Adat yang Bergelar Datuk Sebagai Kepala Suku Karena Tidak mempunya dana Untuk Kegiatan makan-makan, bantai kerbau atau sapi maka boleh di gadai, 4. “Jika Keluarga Ibu Sedang Membangun Rumah Gadang” tetapi tidak memiliki dana karena sudah lama terbengkalai, karena rumah disuku Minangkabau merupakan simbol prestis atau simbol harga diri.
b.      Harta Pusaka Rendah
Mengenai harta pusaka rendah ada perbedaan pendapat dan hal ini bisa mengundang permasalahan dalam pewarisan. Harta pusaka rendah adalah segala harta yang didapat dari hasil usaha pekerjaan dan pencaharian sendiri. Harta ini boleh dijual dan digadaikan menurut keperluan dengan sepakat ahli waris.
2.      Solusi Menurut Kelompok
Solusi dari masalah kaum tua dan kaum muda menurut kelompok kami adalah agama dan adat adalah dua hal yang tidak bijak untuk dipertentangkan, karena agama islam itu sendiri  sudah membawa unsur kebudayaan dari mana agama itu berasal dan tumbuh, sehingga budaya baru yang dibawa oleh agama itu jika dibawa ke suatu tempat yang sudah memiliki budaya yang solid kemudian dipaksa untuk mengubah/menggantikan budaya lama yang sudah mengakar tersebut ke dalam masyarakat minangkabau dengan pendekatan pemaksaan maka akan memunculkan pertentangan yang berujung dengan konflik. Mungkin jika pada awalnya dialog antara kaum adat dengan kaum padri dapat berjalan dengan tanpa mengedepankan tujuan meghilangkan salah satunya maka konflik antara mereka tidak akan terjadi.
Adat yang sudah ada sejak dulu seharusnya dapat dipertahankan dan tidak diganti dengan budaya-budaya islam itu sendiri. Tiap tiap daerah di Indonesia memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri  begitu juga dengan minangkabau, suku minangkabau pada awalnya sudah memiliki adatnya sendiri tentu adat tersebut sehurusnya tidak dapat diganggu-gugat oleh apapun. Agama dan adat seharusnya berjalan seiringan dengan tidak mengganti atau mengubah adat Minangkabau. Konflik antara kaum adat dengan kaum padri harus diselesaikan secara dingin oleh masing masing golongan,dengan membuat kesepakatan yang tertulis dan saling menguntungkan.
Golongan muda tidak boleh serta merta mengubah kebudayaan Minangkabau hanya karena dianggap bersebrangan dengan syariat. Kebudayaan Minangkabau seperti pewarisan Pusako yang mengambil garis keturunan perempuan bukan tanpa makna atau miskin filosofi. Golongan tua menganggap bahwa perempuan lebih bisa menjaga harta warisan/pusako, kemudian perempuan juga lebih dihormati dari pada laki-laki karena surga terletak di telapak kaki ibu oleh karena itu perempuan jarang terkena konflik ,
3.      Solusi berdasarkan teori
Teori konflik sosial
Lewis Coser dalam bukunya “The Fungtions of Social Conflict” mengemukakan bahwa tidak ada teori konflik sosial yang mampu merangkum seluruh fenomena, coser mulai dengan mendifinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminasi saingan-sainganya. Teori ini berkaitan dengan konflik yang terjadi antara kaum tua dengan kaum muda. Karena kaum muda yang terbilang minoritas,berusaha memodernisasi/mereformasi adat Miangkabau yang sudah lama mengakar dengan ajaran islam yang berasal dari timur tengah, dimana golongan muda berusaha mempurifikasi ajaran islam. Purifikasi ajaran islam bisa dikatakan sebuah perjuangan untuk mendapatkan pengakuan terhadap status mereka,kemudian mereka berusaha mengeliminasi nilai-nilai yang dianggap sumber konflik yaitu memurnikan ajaran islam dan meninggalkan kebudayaan minangkabau yang notabene bertentangan dengan paham mereka. Kebudayaan minangkabaupun tergerus oleh ajaran agama islam yang mereka tanamkan.
Perthatian Coser berkaitan dengan fungsi bukan dengan disfungsinya kelompok sosial. Dengan demikian kita dapat menyatakan bahwa konsekuensi konflik sosial tersebut akan mengarah pada peningkatan bukan pada kemerosotan, adaptasi atau penyesuaian baik dalam hubungan sosial yang spesifik maupun pada kelompok secara keseluruhan. Ketika konflik golongan tua dengan golongan muda di Minangkabau bergejolak ada sebuah konsekuensi yang mengarah pada peningkatan pemikiran masing-masing golongan untuk bisa beradaptasi dengan baik dengan kolompoknya sendiri maupun dengan kelompok lawan kemudian dengan terjadinya konflik tersebut masing-masing golongan dapat menumbuhkan kekompakan dan persatuan dari golongan masing-masing.

 Ramli Ardi Yahya
@ramliardi