A.
Sejarah
Suku Minang berada dipulau sumatera bagian barat
dengan letak astronomi antara 00 54’ Lintang Utara dan 30 30’
Lintang Selatan serta antara 980 36’ sampai 1010 53’
Bujur Timur. Secara geografis provinsi Sumatera Barat dalam garis besarnya
dapat dibagi atas dua bagian yaitu daratan dan kepulauan. Daerah daratan lebih
dikenal dengan nama Minangkabau sedangkan daerah kepulauan terkenal dengan
sebutan kepulauan Mentawai dan kami akan memfokuskan pada suku minang.
Kebudayaan dan Suku Minangkabau dapat dikatakan
sangat dominan di Provinsi Sumatera Barat, sehingga kebudayaan Minangkabau
sangat berkembang di Provinsi ini, menurut Tambo, orang Minangkabau berasal
dari keturunan Iskandar Zulkarnaen yang pernah berkuasa di Sumatera Barat
sampai ke India pada abad ke-3 SM. Mereka datang menaiki perahu dan kandas
disuatu tempat yang disebut Pariangan. Dari sana mereka berkembang ke Tanah
Datar , Agam dan Lima Puluh Koto. Kemudian keturunan mereka juga menyebar
kedaerah lain seperti ke Solok, Pasaman, Pesisir Selatan, Padang Pariaman dan
Sawah Lunto Sijunjung.
Hasil penelitian menyebutkan, orang Minangkabau
termasuk dalam rumpun bahasa melayu muda yang datang ke wilayah Sumatera Barat
dari dataran Indo-Cina pada abad ke-5 SM. Masa pra dan proto sejarah Sumatera Barat
berlangsung sangat lama sekali. Bukti pra-sejarah terlihat dari ditemukannya
sisa-sisa kebudayaan megalithikum di beberapa daerah, seperti Guguk, Suliki dan
Paur Datar (Lima Puluh Koto). Dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dikenal
dengan 5 suku / kaum yaitu Chaniago, Koto, Piliang, Tanjung, Jambang dan kelima
suku ini terpecah lagi kedalam 96 Suku , mereka adalah yang disebut sebagai
penduduk asli dari Provinsi Barat, namun setelah perkembangan zaman dan
kemudahan mobilitas seseorang maka saat ini provinsi Sumatera Barat sudah ada
suku pendatang diantaranya seperti Jawa, Riau, Bugis-Makasar dan orang asing
seperti orang Tiongkok dan India.
Pengaruh budaya Minangkabau sangatlah kuat hal ini
tidak mengherankan karena mayoritas suku Minang berhijrah ke wilayah lain untuk
mendapatkan kehidupan yang layak. Mengapa orang Minang sangat suka berdagang
hingga merantau mulai dari dalam negeri (antar Pulau) hingga ke luar negeri,
karena suku Minangkabau memiliki filosofi yaitu “Alam Takambang Jadi Guru” yang
memiliki arti alam yang menjadi guru, sehingga Suku Minangkabau bersifat
egaliter dan belajar hidup dari alam semesta ini. Bahasa Minang dipakai sampai
ke daerah Tapanuli sampai ke Barus, di Bangkinang (Riau), dan di daerah
perbatasan Jambi. Ada beberapa pelapisan masyarakat di Minang yang berlaku
sejak dahulu kala, yaitu berupa pelapisan masyarakat secara vertikal yang
terdiri dari golongan raja-raja bangsawan (dengan gelar Bagindo, Sidi, Sutan
dan Marah) serta rakyat biasa. Sedangkan secara horizontal masyarakat dibedakan
atas golongan Ninik Mamak yang mengatur urusan adat-istiadat, golongan
cendikiawan (cerdik pandai) tempat dimana untuk menanyakan masalah umum dan
golongan ulama yang mengatur masalah agama.
Suku Minangkabau atau Minang (seringkali disebut Orang
Padang) adalah suku yang berasal dari Provinsi Sumatera Barat. Suku ini
terkenal karena adatnya yang matrilineal, walau orang-orang Minang sangat kuat
memeluk agama Islam. Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat
bersendikan hukum, hukum bersendikan Al Qur'an) merupakan cerminan adat Minang
yang berlandaskan Islam.
Suku Minang terutama menonjol dalam bidang
pendidikan dan perdagangan. Lebih dari separuh jumlah keseluruhan anggota suku
ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di
kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang,
dan Surabaya. Untuk di luar wilayah Indonesia, suku Minang banyak terdapat di
Malaysia (terutama Negeri Sembilan) dan Singapura. Di seluruh Indonesia dan
bahkan di mancanegara, masakan khas suku ini yang populer dengan sebutan masakan
Padang, sangatlah digemari. Minangkabau merupakan tempat berlangsungnya perang
Paderi yang terjadi pada tahun 1804 - 1837. Kekalahan dalam perang tersebut
menyebabkan suku ini berada dibawah kekuasaan pemerintah kolonial
Hindia-Belanda.
Dalam etnis Minangkabau terdapat banyak klan, yang
oleh orang Minang sendiri hanya disebut dengan istilah suku. Beberapa suku
besar mereka adalah suku Piliang, Bodi Caniago, Tanjuang, Koto, Sikumbang, Malayu,
Jambak; selain terdapat pula suku pecahan dari suku-suku utama tersebut. Kadang
beberapa keluarga dari suku yang sama, tinggal dalam suatu rumah yang disebut
Rumah Gadang.Di masa awal terbentuknya budaya Minangkabau, hanya ada empat suku
dari dua lareh (laras) atau kelarasan . Suku-suku tersebut adalah:
• Suku Koto
• Suku Piliang
• Suku Bodi
• Suku Caniago
Dan dua kelarasan itu adalah :
1. Lareh Koto Piliang yang digagas oleh Datuk Ketumanggungan
2. Lareh Bodi Caniago, digagas oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang
Perbedaan antara dua kelarasan itu adalah:
• Lareh Koto Piliang menganut sistem budaya Aristokrasi Militeristik[rujukan?]
• Lareh Bodi Caniago menganut sistem budaya Demokrasi Sosialis[rujukan?]
Dalam masa selanjutnya, munculah satu kelarasan baru
bernama Lareh Nan Panjang, diprakarsai oleh Datuk Sakalok Dunia nan
Bamego-mego. Sekarang suku-suku dalam Minangkabau berkembang terus dan sudah
mencapai ratusan suku, yang terkadang sudah sulit untuk mencari persamaannya
dengan suku induk. Di antara suku-suku tersebut adalah:
• Suku Tanjung
• Suku Sikumbang
• Suku Sipisang
• Suku Bendang
• Suku Melayu (Minang)
• Suku Guci
• Suku Panai
• Suku Jambak
• Suku Kutianyie atau Suku Koto Anyie
• Suku Kampai
• Suku Payobada
• Suku Pitopang atau Suku Patopang
• Suku Mandailiang
• Suku Mandaliko
• Suku Sumagek
• Suku Dalimo
• Suku Simabua
• Suku Salo
• Suku Singkuang atau Suku Singkawang
a. Etimologi
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang
(menang) dan kabau (kerbau). Nama itu berasal dari sebuah legenda. Konon pada
abad ke-13, kerajaan Singasari melakukan ekspedisi ke Minangkabau. Untuk
mencegah pertempuran, masyarakat lokal mengusulkan untuk mengadu kerbau Minang
dengan kerbau Jawa. Pasukan Majapahit menyetujui usul tersebut dan menyediakan
seekor kerbau yang besar dan agresif. Sedangkan masyarakat Minang menyediakan
seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan pisau pada tanduknya. Dalam
pertempuran, anak kerbau itu mencari kerbau Jawa dan langsung mencabik-cabik
perutnya, karena menyangka kerbau tersebut adalah induknya yang hendak
menyusui. Kecemerlangan masyarakat Minang tersebutlah yang menjadi inspirasi
nama Minangkabau.
Namun dari beberapa sumber lain menyebutkan bahwa
nama Minangkabau sudah ada jauh sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi,
dimana istilah yang lebih tepat sebelumnya adalah "Minangkabwa",
"Minangakamwa", "Minangatamwan" dan
"Phinangkabhu". Istilah Minangakamwa atau Minangkamba berarti Minang
(sungai) Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan
Sungai Kampar Kanan. Sedangkan istilah Minangatamwan yang merujuk kepada Sungai
Kampar memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana disitu disebutkan
bahwa Pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang melakukan migrasi
massal dari hulu Sungai Kampar (Minangatamwan) yang terletak di sekitar daerah
Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Suku Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro
Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau
Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat
ini masuk dari arah Timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar atau
Minangkamwa (Minangatamwan) hingga tiba di dataran tinggi Luhak nan Tigo
(darek). Kemudian dari Luhak nan Tigo inilah suku Minang menyebar ke daerah
pesisir (pasisie) di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang dari Barus di
utara hingga Kerinci di selatan. Selain berasal dari Luhak nan Tigo, masyarakat
pesisir juga banyak yang berasal dari India Selatan dan Persia. Dimana migrasi
masyarakat tersebut terjadi ketika pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan
alternatif perdagangan selain Malaka, ketika kerajaan tersebut jatuh ke tangan Portugis.
Sosial Kemasyarakatan Daerah Minangkabau terdiri
atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan
tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang
dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali
mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang
terdiri dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan
ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan
mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk
nagari itu dihasilkan.
Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk suku
Minangkabau yang hidup di luar provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Etos
merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di
Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mohctar Naim, pada tahun
1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera
Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44 %.[2]
Berdasarkan sensus tahun 2000, suku Minang yang tinggal di Sumatera Barat
berjumlah 3,7 juta jiwa.[3] Dengan perkiraan 7 juta orang Minang di seluruh
dunia, berarti lebih dari separuh orang Minang berada di perantauan. Melihat
data tersebut, maka terdapat perubahan cukup besar pada etos merantau orang
Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab menurut sensus tahun
1930, perantau Minangkabau hanya sebesar 10,5% dibawah orang Bawean (35,9 %),
Batak (14,3 %), dan Banjar (14,2 %).
b. Gelombang Rantau
Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup
lama. Migrasi besar-besaran pertama terjadi pada abad ke-14, dimana banyak
keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera hingga ke Negeri
Sembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga
terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang
pesisir ini perantau Minang mendirikan koloni-koloni dagang, seperti di
Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee.
Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak
keluarga Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi
pendukung kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk
Makotta bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau
di Sulawesi. Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika
Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kesultanan
Riau-Lingga
Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi
besar-besaran terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di Deli
Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan, Minang perantauan
banyak mendiami kota-kota besar di Jawa, terutama Jakarta.Kini Minang
perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.
Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang
merantau ke Mekkah untuk mendalami agama Islam, diantaranya Haji Miskin, Haji
Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menyebarluaskan
pemikiran Islam yang murni, dan menjadi penyokong kuat gerakan Paderi di
Minangkabau. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada awal abad
ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, dan Muhammad
Jamil Jambek. Banyak perantau Minang yang menetap dan sukses di Mekkah,
diantara mereka ialah Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang menjadi imam Mesjid
Al-Haram
Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga
banyak yang merantau ke Eropa. Mereka antara lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta,
Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Nazir Pamuntjak. Intelektual lain, Tan
Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun jaringan
pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut, yang merantau ke
Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan dan pendiri Republik
Indonesia.
Sebab Merantau Faktor Budaya Ada banyak penjelasan
terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan
matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum
perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Hal inilah yang
menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau
pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga
karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.
Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua
tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa
merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan
tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau. Semangat untuk merubah
nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan
Ka ratau madang dahulu, babuah babungo alun (lebih baik pergi merantau karena
dikampung belum berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau
sedari muda.
Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang
tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika
dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat
menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan
utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama,
karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah tumbuhnya
kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan.
Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau
mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau,
biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap
sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai
pedagang kecil.
Suku Minang terkenal sebagai suku yang terpelajar,
oleh sebab itu pula mereka menyebar di seluruh Indonesia bahkan manca-negara
dalam berbagai macam profesi dan keahlian, antara lain sebagai politisi,
penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang. Berdasarkan jumlah populasi
yang relatif kecil (2,7% dari penduduk Indonesia), Minangkabau merupakan salah
satu suku tersukses dengan banyak pencapaian. Majalah Tempo dalam edisi khusus
tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia di abad ke-20
merupakan orang Minang.
Sejak dulu orang Minang telah merantau ke berbagai
daerah di Jawa, Sulawesi, semenanjung Malaysia, Thailand, Brunei, hingga
Philipina. Di tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan Kesultanan Sulu di Philipina
selatan. Pada abad ke-14 orang Minang melakukan migrasi ke Negeri Sembilan,
Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri baru tersebut dari kalangan mereka.
Raja Melewar merupakan raja pertama Negeri Sembilan yang diangkat pada tahun
1773. Di akhir abad ke-16, ulama Minangkabau Dato Ri Bandang dan Dato Ri Tiro,
menyebarkan Islam di Indonesia timur dan mengislamkan kerajaan Gowa.
Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di
Kairo dan Mekkah mempengaruhi sistem pendidikan di Minangkabau. Sekolah Islam
modern Sumatera Thawalib dan Diniyah Putri banyak melahirkan aktivis yang
banyak berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain A.R Sutan Mansur,
Siradjuddin Abbas, dan Djamaluddin Tamin. Pada periode 1920 - 1960 banyak
politisi Indonesia yang berpengaruh berasal dari Minangkabau. Setelah
kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan
Syahrir, Mohammad Hatta, Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang sebagai wakil presiden
(Mohammad Hatta), seorang sebagai presiden Republik Indonesia dibawah RIS
(Assaat), seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh), dan puluhan yang
menjadi menteri, diantara yang cukup terkenal ialah Agus Salim dan Muhammad
Yamin. Selain di pemerintahan, di masa Demokrasi Liberal parlemen Indonesia di
dominasi oleh politisi Minang. Mereka tergabung kedalam aneka macam partai dan
ideologi, Islamis, Nasionalis, Komunis dan Sosialis. Disamping menjabat
gubernur Provinsi Sumatera Tengah/Sumatera Barat, orang Minangkabau juga duduk
sebagai gubernur provinsi lain di Indonesia. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa
Barat), Muhammad Djosan and Muhammad Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa
Nan Kuniang (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau Gani (Sumatra Selatan), Djamin
Datuk Bagindo (Jambi).
Penulis dan jurnalis Minang banyak mempengaruhi
perkembangan bahasa Indonesia. Mereka mengembangkan bahasa Indonesia melalui
berbagai macam profesi dan bidang keahlian. Marah Rusli, Abdul Muis, Sutan
Takdir Alisjahbana, Idrus, Hamka, dan A.A Navis sebagai penulis novel. Chairil
Anwar dan Taufik Ismail lewat puisi, serta Abdul Rivai, Djamaluddin Adinegoro,
Rosihan Anwar dan Ani Idrus sebagai jurnalis.
Di Indonesia dan Malaysia, disamping orang Tionghoa,
orang Minang juga terkenal sebagai pengusaha ulung. Banyak pengusaha Minang
sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil, rumah makan, perhotelan,
pendidikan, dan rumah sakit. Abdul Latief dan Tunku Tan Sri Abdullah merupakan
figur sukses pengusaha Minangkabau. Banyak pula orang Minang yang sukses di
dunia hiburan, baik sebagai sutradara, produser, penyanyi, maupun artis.
Diantara mereka ialah Usmar Ismail, Asrul Sani, Arizal, Ani Sumadi, Soekarno M.
Noer, dan Dorce Gamalama. Orang Minangkabau juga berkontribusi besar di Malaysia
dan Singapura, antara lain Tuanku Abdul Rahman (Yang Dipertuan Agung pertama
Malaysia), Yusof bin Ishak (presiden pertama Singapura), Zubir Said (komposer
lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura), Rais Yatim, Tan Sri Abdul Samad
Idris dan Adnan bin Saidi. Di negeri Belanda, Roestam Effendi yang mewakili
Partai Komunis Belanda, menjadi satu-satunya orang Indonesia yang pernah duduk
sebagai anggota parlemen
c. Pedagang Minangkabau
Pedagang Minangkabau merujuk pada profesi sekelompok
masyarakat yang berasal dari ranah Minangkabau. Disamping profesi dokter, guru,
dan ulama, menjadi pedagang merupakan mata pencarian bagi sebagian besar
masyarakat Minangkabau. Biasanya profesi ini menjadi batu loncatan bagi
perantau Minangkabau setibanya di perantauan.
Pedagang-pedagang besar Minangkabau telah menjejakan
kakinya sejak abad ke-7. Mereka menjadi pedagang berpengaruh yang beroperasi di
pantai barat dan pantai timur Sumatra. Pedagang Minang banyak menjual hasil
bumi seperti lada, yang mereka bawa dari pedalaman Minangkabau ke Selat Malaka
melalui sungai-sungai besar seperti Kampar, Indragiri, dan Batang Hari. Sejak
kemunculan Kerajaan Sriwijaya, banyak pedagang Minangkabau yang bekerja untuk
kerajaan. Di sepanjang pantai barat Sumatra, para pedagang ini membuka pos-pos
perdagangannya di kota-kota utama dari Aceh hingga Bengkulu, seperti Meulaboh,
Barus, Tiku, Pariaman, Padang, dan Bengkulu.
Peranan pedagang Minangkabau mulai menurun sejak
dikuasainya pantai barat Sumatra oleh Kesultanan Aceh. Munculnya kaum Paderi di
Sumatera Barat pada akhir abad ke-18, merupakan kebangkitan kembali pedagang
Minangkabau yang dirintis oleh para ulama Wahabi. Pedagang ini kembali
mendapatkan ancaman dari Kolonial Hindia Belanda sejak dibukanya pos
perdagangan Belanda di Padang. Perang Paderi yang berlangsung selama 30 tahun
lebih telah meluluhlantakan perdagangan Minangkabau sekaligus penguasaan
wilayah ini dibawah kolonial Hindia-Belanda. Di tahun 1950-an, banyak pedagang
Minangkabau yang sukses berbisnis diantaranya Hasyim Ning, Rahman Tamin, Agus
Musin Dasaad, dan Sidi Tando. Pada masa Orde Baru, kebijakan pemerintah yang
berpihak kepada pedagang Tionghoa sangat merugikan pedagang Minangkabau.
Kesulitan berusaha dialami oleh pedagang Minang pada saat itu, terutama masalah
pinjaman modal di bank serta pengurusan ijin usaha.
B. Unsur Kebudayaan
1.
Adat
Istiadat dan Hukum Adat
a.
Upacara
Adat Membangun Rumah
Dalam
masyarakat Minangkabau upacara-upacara yang dilakukan sebelum mendirikan
bangunan baik Rumah Gadang maupun Balairung (Balai Adat) serta bangunan lainnya
yang dikenal dengan beberapa upacara yang disebut dengan batoboh dan me ora
rabo. Batoboh berasal dari kata Taboh yang artinya menebang atau mengambil
sesuatu, jadi Batoboh adalah upacara untuk memasang tiang dengan mengambil kayu
dihutan sebagai bahan utama dalam membangun rumah dan bangunan lainnya.
Sedangkan me ora rabo berarti me urak = melakukan : mendatarkan : membuka atau
membersihkan, sedangkan pengertian Rabo adalah semak-semak yang harus dibuang
sehingga tempat bangunan yang akan dibangun memiliki bidang yang datar yang
akan memudahkan dalam membuat rumah dan bangunan lainya.
Tujuan
upacara Batoboh adalah memohon kepada Allah SWT agar dalam pencarian kayu
dihutan untuk bahan bangunan bisa dimudahkan dan dilancarkan serta memohon
kepada Tuhan Yang Maha Esa perlindungan dalam pencarian kayu. Upacara Batoboh
ini sangat bermanfaat bagi masyarakat Minangkabau yaitu dapat meningkatkan
Gotong-Royong dan solidaritas antar sesame suku Minangkabau karena member
kesempatan kepada kerabat-kerabat untuk terlibat dalam pembangunan rumah serta
bangunan lain.
Tujuan
dari upacara Me Orak Rabo adalah untuk membersihkan lokasi untuk mendirikan
rumah, yaitu bersih dari semak-semak dan juga bersih dari roh jahat yang berada
dilokasi tersebut. Dalam proses pembersihan tempat sudah pastilah mengundang
para kerabat dan memberitahukan kepada tetangga bahwasannya tempat itu akan
didirikan rumah atau bangunan. Biasanya dalam upacara Me Orak rabo dilakukan
pendarahan oleh darah ayam dengan memotong ayam, kemudian makan bersama-sama
oleh kerabat dan tetangga dan terakhir membaca doa agar rumah ini menjadi
tempat yang baik dan aman dari gangguan roh jahat. Penyembelihan ayam atau
pendarahan pada tanah tempat dimana akan didirikan bangunan dengan maksud
mengusir roh jahat ke tempat lain.
Batoboh,
Me Orak Rabo diselenggarakan oleh Penghulu Suku dengan anak kemenakan serta
hubungan kerabat Sumando pasumandan dalam upacara persiapan pendirian rumah
adat. Untuk persiapan pendirian Balai Adat, upacara dilakukakan oleh para
penghulu suku dalam Nagari bersama dengan Pembantu Penghulu Suku tersebut serta
orang tua perempuan atau saudara penghulu suku yang ada. Upacara membangun
masjid dilakukan oleh pengurus masjid atau panitia yang telah ditetapkan
berdasarkan keputusan dari Penghulu dalam Nagari, Ninik Mamak, Cerdik Pandai
dan Alim Ulama, sedangkan upacara pembangunan surau dilakukan oleh Penghulu
Suku bersama dengan warga suku tersebut.
Masyarakat
Minangkabau hanya mengenal satu upacara pada waktu mendirikan bangunan yang
disebut Btagak Rumah atau Batagak Kudo-Kudo. Batagak Rumah diartikan sebagai
menegakan tiang rumah diatas sendi rumah yang telah ditentukan. Dan Batagak
Kudo-kudo adalah memasang tiang-tiang yang tegak lurus dn melintang sebagai
tempat pemasangan atap yang berbentuk pelana kuda sebagai dasar atap bangunan
rumah.
`a.
Upacara Adat
Tradisi-tradisi
yang berasal dari masa pra-Hindu, Islam dan gerakan pembaruan Islam, telah
bersatu dan mewarnai bentuk-bentuk upacara tradisional masyarakat Minangkabau.
Walaupun ada gerakan pembaruan Islam. Tradisi-tradisi yang sudah ada tetap
berjalan dan tidak dapat dihapuskan begitu saja, karena telag berurat akar
dalam system kebudayaan mereka. Upacara tradisional yang masih dilakukan
masyarakat terutama yang berkenaan dengan kehidupan manusia. Diantaranya
sebagai berikut :
1.
Upacara
Daur Hidup
Sepanjang
masa hidupnya manusia mengalami saat-saat yang dianggap kritis dan dapat
membahayakan dirinya, terutama masa peralihan dalam tahap kehidupan. Manusia
mengalami tahapan yang dianggap penting dalam kehidupannya, yaitu kelahiran.
Masa-masa itu dianggap penting, oleh sebab itu harus diperingati dengan
menjalankan upacara.
a.
Kelahiran
Pada
beberapa Nagari ada kebiasaan sebelum mengadakan upacara kelahiran harus
melaksanakan upacara kehamilan terlebih dahulu. Dengan demikian memiliki
rangkaian upacara sebagai berikut yaitu saat kehamilan berumur enam bulan
dilakukan upacara membubur, yang mana keluarga wanita yang hamil membuat bubur
dari tepung beras, labu, gula saka dan kelapa muda. Bubur itu untuk dibagikan
kepada seluruh kerabatnya serta keluarga dekat suaminya. Mereka yang diberi
bubur mengundang wanita yang hamil itu untuk makan dirumah masing-masing dan
hal ini disebut kegiatan manjapuik pinggan.
Kelahiran
bayi biasanya dibantu oleh seorang dukun atau bidan, yang ditunggui oleh ibu
Mertua. Untuk menyambut kelahiran sang bayi diadakan pertunjukan musik
Talempong sebagai pernyataan gembira dan rasa syukur keluarga tersebut.
Plasenta Bayi (ari-ari) dimasukan kedalam tanah dan ditutupi dengan kain putih,
penguburan ari-ari dilakukan oleh salah seorang yang dianggap terpandang dalam
lingkungan keluarga.
Setelah
bayi beruai 40 hari, dilaksanakan upacara Turun Mandi ditepian sungai. Upacara
selanjutnya adalah pemotongan rambut bayi yang disebut memotong Gombak. Rambut
yang sudah dipotong ditimbang dan diganti dengan emas seberat rambut tersebut,
yang dibayarkan kepada orang yang memotong rambut bayi. Ketika bayi berumur
tiga bulan dan ibunya dijemput untuk bermalam oleh kerabat (bako-bako)
perhiasan, uang, binatang ternak.
Menurut
ajaran Agama Islam, setiap anak harus diaqekahkan sebelum menjelng dewasa. Masa
dewasa, menurut tradisi Minangkabau seorang laki-laki yang sedang menginjak
masa akil balig harus dikhitan dan belajar mengaji. Kedua peristiwa tersebut
juga merupakan kewajiban bagi setiap laki-laki muslim. Dalam adat pergaulan
muda-mudi dikenal dnegan istilah besijontiak yaitu perkenalan antara bujang dan
gadis . kesempatan untuk berkenalan terjadi pada saat perayaan adat / pesta.
b.
Kematian
Apabila seseorang
sedang menghadapi saat kematian, maka seluruh keluarga dan kerabatnya berkumpul
untuk menemani saat terakhir, dan saling memaafkannya. Mereka yang hadir
membimbingnya membaca ayat-ayat Al-Qur’an, atau jika dia sudah tidak mampu lagi
seseorang akan membisikannya. Maksud dari pembacaan ayat suci tersebut agar
nyawa orang yang bersangkutan dapat pergi dengan baik tanpa merasa kesakitan
dan penderitaan yang berkepanjangan. Pada saat nyawa lepas meninggalkan tubuh,
mereka yang hadir bersama-sama mendoakan agar kepergian kerabatnya dapat
diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian jenazah diselimuti dengan
kain-kain yang halus sebagai tanda penghormatan terakhir kepada yang meninggal.
Berita tentang kematian biasanya cepat tersebar keseluruh kampong, dan para
wanita datang menjenguk untuk menghibur keluarga yang sedang berduk.
c.
Upacara
lain
Serangkaian upacara
tradisional lainnya yang sampai saat ini masih dijalankan oleh masyarakat
Minangkabau terutama berhubungan dengan aktivitas mereka sehari-hari. Beberapa
upacara yang sering dilakukan antara lain :
1. Tulak
Bala.
Tulak
Bala merupakan usaha manusia untuk menolak, mencegah atau
menangkal segala macam bencana yang dapat membahayakan kehidupan manusia.
2. Marihimin
Merupakan upacara
permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk mendapatkan keselamatan dan dijauhi
dri segala petaka. Upacara ini biasanya diselenggarakan pada waktu akan turun
ke sawah dan menaburkan benih padi pada saat berjangkitnya wabah penyakit,
berlangsungnya kemarau panjang dll
3. Mangido
ubat nieme
Nama upacara ini
berasal dari ahas Tapanuli yang berarti meminta obat padi, yang maksudnya untuk
memohon kesuburan bagi tanaman padi.
4. Manogeh
tumbang
Merupakan upacara dalam
kaitannya dengan menambang emas yang banyak terdapat di Nagari Cubadak. Maksud
dari upacara ini merupakan permohonan kepada Jin Emas agar dibolehkan menambang
atau mendulang emas dengan selamat dan membawa banyak hasil
5. Tatau
Tatau adalah sejenis
upacara pengobatan dalam rangka membuka hutan untuk areal persawahan atau lading,
dengan mengusir makhluk halus agar tidak menganggu pekerjaan.
6. Parahu
turun ka lauik
Upacara ini dilakukan
oleh masyarakat nelayan yang tinggal ditepi pantai, terutama dalam usaha
penangkapan ikan. Maksud penyelenggaraan upacara ini adalah memohon pertolongan
kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi kelancaran dan keselamatan selama
melakukan pelayaran serta memperoleh hasil seperti yang diharapkan.
7. Malimaui
pasie
Upacara ini dilakukan
oleh penduduk yang tinggal di daerah pesisir barat yang merupakan masyarakat
nelayan. Upacar ini diselenggarakan sebelum turun ke laut, yaitu dengan
menyirami benda-benda yang akan dibawa dan perahu-perahu dengan air yang telah
dicampuri dengan kulit limau, bungs-bungaan dan daun-daunan
2.
Bahasa
Suku Minang menggunakan satu bahasa daerah yang
sama, yang disebut Bahasa Minangkabau, sebuah bahasa yang erat berhubungan
dengan bahasa Melayu. Menurut penelitian ilmu bahasa, Bahasa Minang boleh
merupakan bahasa tersendiri, tetapi boleh juga dianggap sebagai sebuah dialek
saja dari bahasa Melayu. Secara umum dialek bahasa Minang yang dikenal dapat
disebut empat, yaitu:
1. Dialek
Tanah Datar
2. Dialek
Agam
3. Dialek
Lima Puluh Koto
4. Dialek
Pesisir
Penamaan tersebut didasarkan pada
pembagian daerah Minangkabau yang trdiri dari 3 Luhak(Agam, Tanah Datar, dan
Lima Puluh Koto) serta daerah rantau termasuk daerah pesisir.
Dalam sistem
komunikasi, perundingan dan pembicaraan umum, masyarakat minangkabau lebih
mementinkan kesamaan pengertian untuk setiap kata (vocabulary). Mereka
menyadari, bila pengertian untuk satu kata berbeda untuk masing-masing pihak
yang sedang berkomunikasi dalam suatu perundingan akan dapat menyebabkan
kesalahan-kesalahan pengertian maksud dan tujuan. Hal semacam itu dapat disimak
dalam pidato-pidato adat atau pesambahan. Setiap kata selalu diberikan batasan
yang jelas. Seperti misalnya, orang minang tidak mengenal kata biru dalam kamus
bahasanya, mereka mengenal kata biru dalam kamus bahasanya, mereka mengenal
kata hijau. Untuk biru laut, merka harus menjelaskan dengan sebutan “ijau
lauik”, hijau seperti warna laut, ijau daun (untuk warna daun), ijau pucuak (unutk
warna hijau muda), dsbnya. Memberikan batasan yang jelas terhadap suatu kata,
dalam kehidupan masyarakat modern ditemukan saat merak menyiapkan naskah
perundang-undangan, perjanjian-perjanjian, pernyataan-pernyataan, kertas kerja
ilmiah.
3.
Religi
Suku Minangkabau sudah pasti beragama islam karena
suku Minangkabau menganut filosofi yaitu “Adat Basandi Syara, Syara Basandi
Kitabullah” yang artinya Adat berdasarkan / bersumber kepada Ajaran dan Ajaran bersumber kepada
Kitabullah (Al-Qur’an). Harus diketahui bahwasannya orang Padang itu tidak
selalu beragama islam, karena orang Padang adalah seseorang yang bertempat
tinggal di kota Padang, karena dikota Padang sudah sangat beraneka ragam baik
budaya, agama, bangsa. Tetapi jika sudah berbicara suku Minangkabau sudah pasti
beragama islam. Perkembangan agama islam di suku Minangkabau sangat berkembang
pesat dan sangat memegang erat akidah dan ajaran agama islam, karena mulai akil
balig lelaki ataupun wanita wajib belajar mengaji dan menuntut ilmu agama di
Surau / Musholah. Sehingga penanaman ilmu agama sangat terinternalisasi dengan
baik, karena bagi anak lelaki di suku Minangkabau jika tidak bisa mengaji dan
mengerti ilmu agama akan dikucilkan bahkan diusir dari wilayah suku
Minangkabau.
Dengan penanaman agama yang sangat kuat dan sejak
dini maka banyak tokoh agama yang terkenal dari suku Minangkabau diantaranya
KH. Agus Salim, Buya HAMKA dll. Maka suku Minangkabau sangat dikenal dengan
penanaman agama yang sangat kuat, dan perkembangan agama disana sangat statis tidak
seperti di daerah lain yang sangat berkembang menurut perkembangan zaman. Jika
di daerah lain agama sangat berkembang dan akhirnya banyak yang diluar dari
akidah dan syariat islam yang sebenernya. Dengan penanaman agama yang kuat maka
pendidikan non formalnya sangat banyak seperti pengajian di sore hari, TPQ
(Taman Pendidikan Qur’an) dan didalam pendidikan formal pun pendidikan agama
sangat ditekankan da bahkan dalam proses pembelajarannya menggunakan metode
islam.
4.
Kesenian
Di kalangan masyarakat Minagkabau hidup dan
berkembang berbagai jenis kesenian, berikut ini adalah semua jenis kesenian di
suku Minang:
1.
Seni
Tari
Tari-tarian yang sering
digelarkan dalam pertunjukan kesenian dan upacara resmi lainnya, antara lain:
·
Indang
Menggambarkan tradisi
syariat pada memacu kegotong-royongan yang melandasi kehidupan masyarakat
Minangkabau. Indang sendiri berarti alat pemampi beras.
·
Gelombang
Persembahan
Tari ini ditujukan
untuk menyambut tamu kehormatan dan yang dihormati dan juga pada upacara adat.
Disebut gelombang persembahan karena ada dua unsur yang ingin ditampilkan
disini yaitu unsur gelombang dan unsur persahabatan.
·
Tari
Payung
Tarian yang melukiskan
hubungan percintaan sepasang muda-mudi yang diiringi dengan lagu Babendi-bendi.
Tarian ini sering juga ditarikan oleh sepasang mempelai dalam pesta perkawinan
mereka.
2.
Seni
Musik dan Lagu
Ungkapan
seni suku Minang banyak diperlihatkan melalui alat musik yang seluruhnya
menirukan suara. Alat musik yang banyak dipakai untuk kegiatan kesenian dapat
dibagi atas:
·
Alat tiup, terdiri dari:
Saluang Darek, Saluang
Sirompak, Saluang Pauah, Saluang Panjang, Bansi, Salempong, Pupuik Batang Padi,
Pupuik Sarunai, Pupuik Baranak, Pupuik Tanduak.
·
Alat perkusi
Ø Perkusi
Logam
Ø Perkusi
Bambu
Ø Perkusi
Kulit
Ø Perkusi
Kayu
·
Alat petik, terdiri dari: Kecapi dan
Genggong
·
Alat gesek, terdiri dari: Rabab Darek,
Rabab Pesisir, Rabab Badoi dan Rabab Parlaman.
3.
Seni
Drama
Randai adalah drama yang menggambarkan cerita rakyat
Minangkabau. Pelaku Randai ini seluruhnya laki-laki, yang membentuk lingkaran
sambil melakukan gerakan-gerakan silatyang sekali-sekali ikut mengucapkan
cerita yang disampaikan oleh Pemimpin Randai.
4.
Seni
Sastra
Banyak suku Minang yang menguasai sastra lisan,
terutama kepandaian berpantun dan bersyair serta berpepatah.
5.
Seni
Bela Diri
Disamping tari-tarian, berkembang pula seni bela
diri pencak silat yang disebut Dabus. Silat yang berkembang di Sumatera Barat
disebut Kumango, yang diajarkan sejak masa kanak-kanak.
6.
Seni
Lukis
Seni
lukis yang berkembang terutama dalam bentuk ukiran yang biasanya menghias tiang
atau dinding rumah gadang serta pada peralatan rumah tangga. Motif yang
digambarkan pada ukiran tersebut adalah motif tumbuhan, sedangkan motif
binatang jaran.
5.
Peralatan
Hidup dan Teknologi
·
Rumah adat Minangkabau
Rumah Gadang
atau Rumah Godang adalah nama untuk rumah untuk rumah adat minangkabau yang
merupakan rumah tradisional dan banyak di jumpai di provinsi Sumatera Barat,
Indonesia. Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat
dengan anama Rumah Bagonjongatau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah
Baanjung. Rumah dengan model ini juga banyak dijumpai di Negeri
Sembilan, Malaysia. Namun demikian tidak semua kawasan di Minangkabau
(darek) yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya pada kawasan yang sudah
memiliki status sebagai nagari saja Rumah Gadang ini boleh
didirikan. Begitu juga pada kawasan yang disebut dengan rantau, rumah adat
ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau Minangkabau.
Bagian dalam
terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu
berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar
dari depan ke belakang menandailanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan
menandai ruang. Jumlah lanjar bergantung pada besar rumah, bisa dua,
tiga dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan
sebelas. Rumah Gadang biasanya dibangun diatas sebidang tanah milik keluarga
induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun dan hanya dimiliki dan
diwarisi dari dan kepada perempuan pada kaum tersebut.
Dihalaman
depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan Rangkiang,
digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah
kanan dan kirinya terdapat ruanganjung (Bahasa Minang: anjuang) sebagai
tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah
Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjung pada kelarasan
Bodi-Chaniago tidak memakai tongkat penyangga di bawahnya, sedangkan pada
kelarasan Koto-Piliang memakai tongkat penyangga.
Hal ini sesuai
filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, salah satu golongan
menganut prinsip pemerintahan yang hirarki menggunakan anjung yang memakai
tongkat penyangga, pada golongan lainnya anjuang seolah-olah mengapung di
udara. Tidak jauh dari komplek Rumah Gadang tersebut biasanya juga dibangun
sebuah suraukaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan
dan juga sekaligus menjadi tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut yang
belum menikah.
·
Senjata Khas Minangkabau
Kerambit
merupakan jenis senjata asli Minangkabau Sumatera Barat, termasuk senjata khas
andalan yang sangat berbahaya. Dalam bahasa Minangkabau disebut “kurambik”.
Pada masa dulu, permainan senjata kerambit di Minangkabau hanya diwarisi oleh
para Datuk atau kalangan Raja, bukan sembarangan orang boleh menguasai
permainan yg dianggap rahasia dan hanya untuk kalangan tertentu saja.
Dalam kategori senjata genggam paling berbahaya, kerambit menduduki tempat
kedua sebagai senjata maut selepas pistol. Sabitan senjata kerambit bila terkena
tubuh lawan, nampak dari luar macam luka siatan kecik, tapi bisanya yang berada
dalam bahagian badan boleh menyebabkan maut akibat urat2 yang terputus. Kalau
terkena perut, usus akan terpotong atau terkelar di dalam. Terdapat 2 jenis
kerambit, yaitu kerambit jantan dan kerambit betina. Senjata kerambit
jantan bentuknya besar (selalunya diguna oleh kaum lelaki Minang),
sedangkan yang betina bentuknya kecil dengan hujung gagang berlubang
(selalunya diguna oleh kaum wanita Minang). Lubang ini sebagai tempat jari
telunjuk mencakam senjata. Keistimewaan dari senjata ini adalah oleh karena
bentuknya yang bengkok dan tajam, senjata kerambit ini susah dipatahkan.
Kerambit betina mudah disorok dalam tangan atau dalam sanggul rambut tanpa
dilihat oleh pihak lawan.
6.
Sistem
Kemasyarakatan / Kekerabatan
a.
Sistem Organisasi Masyarakat
1.
Sistem Kelarasan Koto Piliang
2.
Sistem Kelarasan Bodi Caniago
3.
Sistem Kelarasan Panjang
Dalam pola
pewarisan adat dan harta, suku Minang menganut pola matrilineal yang mana
hal ini sangatlah berlainan dari mayoritas masyarakat dunia yang menganut pola patrilineal. Terdapat
kontradiksi antara pola matrilineal dengan pola pewarisan yang diajarkan oleh agama Islam yang
menjadi anutan orang Minang. Oleh sebab itu dalam pola pewarisan suku Minang,
dikenalah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi
merupakan harta turun temurun yang diwariskan berdasarkan garis keturunan ibu, sedangkan harta pusaka rendah
merupakan harta pencarian yang diwariskan secara faraidh berdasarkan hukum
Islam.
·
Sistem Kelarasan
Koto Piliang
Sistem adat
ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Ketumanggungan. Ciri yang menonjol dari adat Koto Piliang adalah
otokrasi atau kepemimpinan menurut garis keturunan yang dalam istilah adat
disebut sebagai "menetes dari langit, bertangga naik, berjenjang
turun" Sistem adat ini banyak dianut oleh suku Minang di daerah Tanah Datar dan sekitarnya. Ciri-ciri rumah gadangnya adalah
berlantai dengan ketinggian bertingkat-tingkat.
·
Sistem
Kelarasan Bodi Caniago
Sistem adat
ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang. Sistem adatnya merupakan antitesis
terhadap sistem adat Koto Piliang dengan menganut paham demokrasi yang dalam
istilah adat disebut sebagai "yang membersit dari bumi, duduk sama rendah,
berdiri sama tinggi". Sistem adat ini banyak dianut oleh suku Minang di
daerah Lima Puluh Kota. Cirinya tampak pada lantai rumah gadang yang rata.
·
Sistem
Kelarasan Panjang
Sistem ini
digagas oleh adik laki-laki dari dua tokoh di atas yang bernama Mambang Sutan
Datuk Suri Dirajo nan Bamego-mego. Dalam adatnya dipantangkang pernikahan dalam
negara yang sama. Sistem ini banyak dianut oleh luhak Agam dan
sekitarnya.Namun dewasa ini semua sistem adat di atas
sudah diterapkan secara bersamaan dan tidak dikotomis lagi.
b. Sistem Matrlineal / Matriachat
Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan
ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam
garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen dari perkauman
ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam klen-nya sebagaimana yang
berlaku dalam sistem patrilineal. Oleh karena itu, waris dan pusaka diturunkan
menurut garis ibu pula.
Menurut Muhammad Radjab (1969) sistem matrilineal mempunyai ciri-cirinya
sebagai berikut;
1. Keturunan dihitung menurut garis ibu.
2. Suku terbentuk menurut garis ibu
3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami)
4. Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku
5. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak di tangan “ibu”,
tetapi jarang sekali dipergunakan, sedangkan
6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya
7. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya
8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh
mamak kepada kemenakannya dan dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari
saudara perempuan.
Sistem kekerabatan ini tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai
sekarang. Bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan
sistem adatnya. Terutama dalam mekanisme penerapannya di dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu peranan seorang penghulu ataupun ninik mamak dalam
kaitan bermamak berkemanakan sangatlah penting.
Bahkan peranan penghulu dan ninik mamak itu boleh dikatakan sebagai
faktor penentu dan juga sebagai indikator, apakah mekanisme sistem matrilineal
itu berjalan dengan semestinya atau tidak.
Jadi keberadaan sistem ini tidak hanya terletak pada kedudukan dan
peranan kaum perempuan saja, tetapi punya hubungkait yang sangat kuat dengan
institusi ninik mamaknya di dalam sebuah kaum, suku atau klen.
Sebagai sebuah sistem, matrilineal dijalankan berdasarkan kemampuan dan
berbagai penafsiran oleh pelakunya; ninik-mamak, kaum perempuan dan anak
kemenakan. Akan tetapi sebuah uraian atau perincian yang jelas dari pelaksanaan
dari sistem ini, misalnya ketentuan-ketentuan yang pasti dan jelas tentang
peranan seorang perempuan dan sanksi hukumnya kalau terjadi pelanggaran,
ternyata sampai sekarang belum ada. Artinya tidak dijelaskan secara tegas
tentang hukuman jika seorang Minang tidak menjalankan sistem matrilineal
tersebut.
Sistem itu hanya diajarkan secara turun temurun kemudian disepakati dan
dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya. Namun begitu,
sejauh manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada hakekatnya tetap dan
tidak beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu sendiri. Hal seperti dapat
dianggap sebagai sebuah kekuatan sistem tersebut yang tetap terjaga sampai
sekarang.
Pada dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau
memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga,
melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah
pusaka dan sawah ladang.
Bahkan dengan adanya hukum faraidh dalam pembagian harta menurut
Islam, harta pusaka kaum tetap dilindungi dengan istilah “pusako
tinggi”, sedangkan harta yang boleh dibagi dimasukkan sebagai “pusako
randah”.
Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat,
pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban
puruak atau tempat penyimpanan. Itulah sebabnya dalam penentuan peraturan
dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan
menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan
sebelumnya oleh pihak ninik mamak.
Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah
prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu
begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga.
Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak
untuk mengatur dan mempertahankannya.
Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak. Perempuan
Minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau
menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan
emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem
matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan perempuan.
Para ninik-mamak telah membuatkan suatu “aturan permainan” antara
laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang berimbang antar
sesamanya.
Oleh karena itulah institusi ninik-mamak menjadi penting dan bahkan
sakral bagi kemenakan dan sangat penting dalam menjaga hak dan kewajiban perempuan.
Keadaan seperti ini sudah berlangsung lama, dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, dengan segala plus minusnya.
Keunggulan dari sistem ini adalah, dia tetap bertahan walau sistem
patrilineal juga diperkenalkan oleh Islam sebagai sebuah sistem kekerabatan
yang lain pula. Sistim matrilieal tidak hanya jadi sebuah “aturan” saja, tetapi
telah menjadi semakin kuat menjadi suatu budaya, way of live, kecenderungan
yang paling dalam diri dari setiap orang Minangkabau.
Sampai sekarang, pada setiap individu laki-laki Minang misalnya,
kecenderungan mereka menyerahkan harta pusaka, warisan dari hasil
pencahariannya sendiri, yang seharusnya dibagi menurut hukum faraidh kepada
anak-anaknya, mereka lebih condong untuk menyerahkannya kepada anak
perempuannya.
Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula kepada anak perempuannya pula.
Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato dalam disertasinya menyebutkan bahwa
sistem matrilineal akan semakin menguat dalam diri orang-orang Minang walaupun
mereka telah menetap di kota-kota di luar Minang sekalipun. Sistem matrilineal
tampaknya belum akan meluntur sama sekali, walau kondisi-kondisi sosial lainnya
sudah banyak yang berubah.
Untuk dapat menjalankan sistem itu dengan baik, maka mereka yang akan
menjalankan sistem itu haruslah orang Minangkakabu itu sendiri. Untuk dapat
menentukan seseorang itu orang Minangkabau atau tidak, ada beberapa
ketentuannya, atau syarat-syarat seseorang dapat dikatakan sebagai orang
Minangkabau.
Syarat-syarat seseorang dapat dikatakan orang Minangkabau;
1. Basuku
(bamamak bakamanakan)
2. Barumah
gadang
3. Basasok
bajarami
4. Basawah
baladang
5.
Bapandan pakuburan
6. Batapian tampek mandi
Seseorang yang tidak memenuhi ketentuan tersebut di dalam berkaum
bernagari, dianggap “orang kurang” atau tidak sempurna. Bagi seseorang yang
ingin menjadi orang Minang juga dibuka pintunya dengan memenuhi berbagai
persyaratan pula.
Dalam istilah inggok mancangkam tabang basitumpu. Artinya orang
itu harus masuk ke dalam sebuah kaum atau suku, mengikuti seluruh
aturan-aturannya.
Ada empat aspek penting yang diatur dalam sistem matrilienal;
a. Pengaturan harta pusaka
Harta pusaka yang dalam terminologi Minangkabau disebut harato jo pusako.
Harato adalah sesuatu milik kaum yang tampak dan ujud secara material seperti
sawah, ladang, rumah gadang, ternak dan sebagainya.
Pusako adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi turun temurun baik yang
tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu di Minangkabau dikenal pula
dua kata kembar yang artinya sangat jauh berbeda; sako dan pusako.
1. Sako
Sako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal
yang tidak berbentuk material, seperti gelar penghulu, kebesaran kaum, tuah dan
penghormatan yang diberikan masyarakat kepadanya.
Sako merupakan hak bagi laki-laki di dalam kaumnya. Gelar demikian tidak
dapat diberikan kepada perempuan walau dalam keadaan apapun juga. Pengaturan
pewarisan gelar itu tertakluk kepada sistem kelarasan yang dianut suku atau
kaum itu.
Jika menganut sistim kelarasan Koto Piliang, maka sistem
pewarisan sakonya berdasarkan; patah tumbuah. Artinya, gelar berikutnya
harus diberikan kepada kemenakan langsung dari si penghulu yang memegang gelar
itu. Gelar demikian tidak dapat diwariskan kepada orang lain dengan alasan
papun juga.
Jika tidak ada laki-laki yang akan mewarisi, gelar itu digantuang atau
dilipek atau disimpan sampai nanti kaum itu mempunyai laki-laki
pewaris. Jika menganut sistem kelarasan Bodi Caniago, maka sistem
pewarisan sakonya berdasarkan hilang baganti. Artinya, jika seorang
penghulu pemegang gelar kebesaran itu meninggal, dia dapat diwariskan kepada lelaki
di dalam kaum berdasarkan kesepakatan bersama anggota kaum itu. Pergantian
demikian disebut secara adatnya gadang balega.
Di dalam halnya gelar kehormatan atau gelar kepenghuluan (datuk) dapat
diberikan dalam tiga tingkatan:
a. Gelar yang
diwariskan dari mamak ke kemenakan. Gelar ini merupakan gelar pusaka kaum
sebagaimana yang diterangkan di atas. Gelar ini disebut sebagai gelar yang
mengikuti kepada perkauman yang batali darah.
b. Gelar yang
diberikan oleh pihak keluarga ayah (bako) kepada anak pisangnya, karena
anak pisang tersebut memerlukan gelar itu untuk menaikkan status sosialnya atau
untuk keperluan lainnya. Gelar ini hanya gelar panggilan, tetapi tidak
mempengaruhi konstelasi dan mekanisme kepenghuluan yang telah ada di dalam
kaum. Gelar ini hanya boleh dipakai untuk dirinya sendiri, seumur hidup dan
tidak boleh diwariskan kepada yang lain; anak apalagi kemenakan. Bila si
penerima gelar meninggal, gelar itu akan dijemput kembali oleh bako
dalam sebuah upacara adat. Gelar ini disebut sebagai gelar yang berdasarkan batali
adat.
c. Gelar yang
diberikan oleh raja Pagaruyung kepada seseorang yang dianggap telah berjasa
menurut ukuran-ukuran tertentu. Gelar ini bukan gelar untuk mengfungsinya
sebagai penghulu di dalam kaumnya sendiri, karena gelar penghulu sudah dipakai
oleh pengulu kaum itu, tetapi gelaran itu adalah merupakan balasan terhadap
jasa-jasanya. Gelaran ini disebut secara adat disebabkan karena batali suto.
Gelar ini hanya boleh dipakai seumur hidupnya dan tidak boleh diwariskan. Bila
terjadi sesuatu yang luar biasa, yang dapat merusakkan nama raja, kaum, dan
nagari, maka gelaran itu dapat dicabut kembali.
2. Pusako
Pusako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal
yang berbentuk material, seperti sawah, ladang, rumah gadang dan lainnya. Pusako
dimanfaatkan oleh perempuan di dalam kaumnya. Hasil sawah, ladang menjadi bekal
hidup perempuan dengan anak-anaknya. Rumah gadang menjadi tempat tinggalnya. Laki-laki
berhak mengatur tetapi tidak berhak untuk memiliki. Karena
itu di Minangkabau kata hak milik bukanlah merupakan kata kembar, tetapi
dua kata yang satu sama lain artinya tetapi berada dalam konteks yang sama. Hak
dan milik. Laki-laki punya hak terhadap pusako kaum, tetapi dia bukan pemilik
pusako kaumnya.Dalam pengaturan pewarisan pusako, semua harta yang akan
diwariskan harus ditentukan dulu kedudukannya. Kedudukan
harta pusaka itu terbagi dalam;
a. Pusako tinggi.
Harta pusaka kaum yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis
ibu. Pusaka tinggi hanya boleh digadaikan bila keadaan sangat mendesak sekali
hanya untuk tiga hal saja; pertama, gadih gadang indak balaki, kedua, maik
tabujua tangah rumah, ketiga, rumah gadang katirisan. Selain dari
ketiga hal di atas harta pusaka tidak boleh digadaikan apalagi dijual.
b. Pusako randah.
Harta pusaka yang didapat selama perkawinan antara suami dan istri.
Pusaka ini disebut juga harta bawaan, artinya modal dasarnya berasal dari
masing-masing kaum. Pusako randah diwariskan kepada anak, istri dan saudara
laki-laki berdasarkan hukum faraidh, atau hukum Islam.
Namun dalam berbagai kasus di Minangkabau, umumnya, pusako randah ini
juga diserahkan oleh laki-laki pewaris kepada adik perempuannya. Tidak
dibaginya menurut hukum faraidh tersebut. Inilah mungkin yang dimaksudkan
Tsuyoshi Kato bahwa sistem matrilineal akan menguat dengan adanya keluarga
batih. Karena setiap laki-laki pewaris pusako randah akan selalu menyerahkan
harta itu kepada saudara perempuannya. Selanjutanya saudara perempuan itu
mewariskan pula kepada anak perempuannya. Begitu seterusnya. Akibatnya, pusako
randah pada mulanya, dalam dua atau tiga generasi berikutnya menjadi pusako
tinggi pula.
Peranan laki-laki
Kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam adat Minangkabau berada dalam
posisi seimbang. Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam
perkauman, baik pengaturan pemakaian, pembagian harta pusaka, perempuan sebagai
pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk keperluannya anak beranak.
Peranan laki-laki di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus
dijalankannya dengan seimbang dan sejalan.
1. Sebagai
kemenakan
Di dalam kaumnya, seorang laki-laki bermula sebagai kemenakan (atau dalam
hubungan kekerabatan disebutkan; ketek anak urang, lah gadang kamanakan awak).
Sebagai kemenakan dia harus mematuhi segala aturan yang ada di dalam kaum.
Belajar untuk mengetahui semua aset kaumnya dan semua anggota keluarga kaumnya.
Oleh karena itu, ketika seseorang berstatus menjadi kemenakan, dia selalu
disuruh ke sana ke mari untuk mengetahui segala hal tentang adat dan
perkaumannya.
Dalam kaitan ini, peranan Surau menjadi penting, karena Surau
adalah sarana tempat mempelajari semua hal itu baik dari mamaknya sendiri
maupun dari orang lain yang berada di surau tersebut.
Dalam menentukan status kemenakan sebagai pewaris sako dan pusako, anak
kemenakan dikelompokan menjadi tiga kelompok:
a. Kemenakan di bawah daguak
b. Kemenakan di bawah pusek
c. Kemenakan di bawah lutuik
Kemenakan di bawah daguak adalah penerima langsung waris sako dan pusako
dari mamaknya. Kemenakan di bawah pusek adalah penerima waris apabila kemenakan
di bawah daguak tidak ada (punah). Kemenakan di bawah lutuik, umumnya tidak
diikutkan dalam pewarisan sako dan pusako kaum.
2. Sebagai
mamak
Pada giliran berikutnya, setelah dia dewasa, dia akan menjadi mamak dan
bertanggung jawab kepada kemenakannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, tugas
itu harus dijalaninya. Dia bekerja di sawah kaumnya untuk saudara perempuannya
anak-beranak yang sekaligus itulah pula kemenakannya. Dia mulai ikut mengatur,
walau tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan mamaknya yang lebih tinggi,
yaitu penghulu kaum.
3. Sebagai
penghulu
Selanjutnya, dia akan memegang kendali kaumnya sebagai penghulu. Gelar
kebesaran diberikan kepadanya, dengan sebutan datuk. Seorang penghulu
berkewajiban menjaga keutuhan kaum, mengatur pemakaian harta pusaka. Dia juga
bertindak terhadap hal-hal yang berada di luar kaumnya untuk kepentingan
kaumnya.
Setiap laki-laki terhadap kaumnya selalu diajarkan; kalau tidak dapat
menambah (maksudnya harta pusaka kaum), jangan mengurangi (maksudnya, menjual,
menggadai atau menjadikan milik sendiri).
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa peranan seorang laki-laki di
dalam kaum disimpulkan dalam ajaran adatnya;
Tagak
badunsanak mamaga dunsanak
Tagak basuku mamaga suku
Tagak ba kampuang mamaga kampuang
Tagak ba nagari mamaga nagari
4. Peranan di
luar kaum
Selain berperan di dalam kaum sebagai kemanakan, mamak atau penghulu,
seorang anak lelaki setelah dia kawin dan berumah tangga, dia mempunyai peranan
lain sebagai tamu atau pendatang di dalam kaum isterinya. Artinya di sini, dia
sebagai duta pihak kaumnya di dalam kaum istrinya, dan istri sebagai duta
kaumnya pula di dalam kaum suaminya. Satu sama lain harus menjaga kesimbangan
dalam berbagai hal, termasuk perlakuan-perlakuan terhadap anggota kaum kedua
belah pihak.
Di dalam kaum istrinya, seorang laki-laki adalah sumando
(semenda). Sumando ini di dalam masyarakat Minangkabau dibuatkan pula beberapa
kategori;
a. Sumando
ninik mamak. Artinya, semenda yang dapat ikut memberikan
ketenteraman pada kedua kaum; kaum istrinya dan kaumnya sendiri. Mencarikan
jalan keluar terhadap sesuatu persoalan dengan sebijaksana mungkin. Dia lebih
berperan sebagai seorang yang arif dan bijaksana.
b. Sumando
kacang miang. Artinya, sumando yang membuat kaum istrinya
menjadi gelisah karena dia memunculkan atau mempertajam persoalan-persoalan
yang seharusnya tidak dimunculkan. Sikap seperti ini tidak boleh dipakai.
c. Sumando
lapik buruk. Artinya, sumando yang hanya memikirkan anak
istrinya semata tanpa peduli dengan persoalan-persoalan lainnya. Dikatakan juga
sumando seperti seperti sumando apak paja, yang hanya berfungsi sebagai tampang
atau bibit semata. Sikap seperti ini juga tidak boleh dipakai dan harus
dijauhi.
Sumando tidak punya kekuasan apapun di rumah istrinya, sebagaimana yang
selalu diungkapkan dalam pepatah petitih;
Sadalam-dalam payo
Hinggo dado itiak
Sakuaso-kuaso urang sumando
Hinggo pintu biliak
Sebaliknya,
peranan sumando yang baik dikatakan;
Rancak rumah dek sumando
Elok hukum dek mamaknyo
Kaum
dan Pesukuan
Orang Minangkabau yang berasal dari satu keturunan dalam garis
matrilineal merupakan anggota kaum dari keturunan tersebut. Di dalam sebuah
kaum, unit terkecil disebut samande. Yang berasal dari satu ibu (mande).
Unit yang lebih luas dari samande disebut saparuik. Maksudnya
berasal dari nenek yang sama. Kemudian saniniak maksudnya adalah
keturunan nenek dari nenek. Yang lebih luas dari itu lagi disebut sakaum. Kemudian
dalam bentuknya yang lebih luas, disebut sasuku. Maksudnya, berasal dari
keturunan yang sama sejak dari nenek moyangnya.
Suku artinya seperempat atau kaki. Jadi, pengertian
sasuku dalam sebuah nagari adalah seperempat dari penduduk nagari tersebut.
Karena, dalam sebuah nagari harus ada empat suku besar. Padamulanya suku-suku
itu terdiri dari Koto, Piliang, Bodi dan Caniago. Dalam perkembangannya, karena
bertambahnya populasi masyarakat setiap suku, suku-suku itupun dimekarkan. Koto
dan Piliang berkembang menjadi beberapa suku; Tanjuang, Sikumbang, Kutianyir,
Guci, Payobada, Jambak, Salo, Banuhampu, Damo, Tobo, Galumpang, Dalimo, Pisang,
Pagacancang, Patapang, Melayu, Bendang, Kampai, Panai, Sikujo, Mandahiliang,
Bijo dll.
Bodi dan Caniago berkembang menjadi beberapa suku; Sungai Napa,
Singkuang, Supayang, Lubuk Batang, Panyalai, Mandaliko, Sumagek dll. Dalam
majlis peradatan keempat pimpinan dari suku-suku ini disebut urang nan ampek
suku. Dalam sebuah nagari ada yang tetap dengan memakai ampek suku tapi
ada juga memakai limo suku, maksudnya ada nama suku lain; Malayu
yang dimasukkan ke sana. Sebuah suku dengan suku yang lain, mungkin berdasarkan
sejarah, keturunan atau kepercayaan yang mereka yakini tentang asal sulu
mereka, boleh jadi berasal dari perempuan yang sama.
Suku-suku yang merasa punya kaitan keturunan ini disebut dengan sapayuang.
Dari beberapa payuang yang juga berasal sejarah yang sama, disebut sahindu.
Namun, yang lazim dikenal dalam berbagai aktivitas sosial masyarakat
Minangkabau adalah; sasuku dan sapayuang saja. Sebuah kaum
mempunyai keterkaitan dengan suku-suku lainnya, terutama disebabkan oleh
perkawinan. Oleh karena itu kaum punya struktur yang umumnya dipakai oleh
setiap suku;
(1) struktur di
dalam kaum
Di dalam sebuah kaum, strukturnya sebagai berikut;
a. Mamak yang dipercaya sebagai pimpinan kaum yang
disebut Penghulu bergelar datuk.
b. Mamak-mamak di bawah penghulu yang dipercayai
memimpin setiap rumah gadang, karena di dalam satu kaum kemungkinan rumah
gadangnya banyak. Mamak-mamak yang mempimpin setiap rumah gadang itu disebut;
tungganai.
Seorang laki-laki yang memikul tugas sebagai tungganai rumah pada
beberapa suku tertentu mereka juga diberi gelar datuk. Di bawah tungganai ada
laki-laki dewasa yang telah kawin juga, berstatus sebagai mamak biasa. Di bawah
mamak itulah baru ada kemenakan.
(2) Struktur dalam kaitannya dengan suku lain.
Akibat dari sistem matrilienal yang mengharuskan setiap anggota suku
harus kawin dengan anggota suku lain, maka keterkaitan akibat perkawinan
melahirkan suatu struktur yang lain, struktur yang mengatur hubungan anggota
sebuah suku dengan suku lain yang terikat dalam tali perkawinan tersebut.
a. Induk bako anak pisang
Induak bako anak pisang merupakan dua kata yang berbeda; induak bako
dan anak pisang. Induak bako adalah semua ibu dari keluarga pihak ayah.
Bako adalah semua anggota suku dari kaum pihak ayah. Induak
bako punya peranan dan posisi tersendiri di dalam sebuah kaum pihak si anak.
b. Andan pasumandan
Andan pasumandan juga merupakan dua kata yang berbeda; andan dan pasumandan. Pasumandan adalah pihak keluarga dari suami atau istri. Suami dari rumah
gadang A yang kawin dengan isteri dari rumah gadang B, maka pasumandan bagi
isteri adalah perempuan yang berada dalam kaum suami. Sedangkan andan bagi kaum
rumah gadang A adalah anggota kaum rumah gadang C yang juga terikat perkawinan
dengan salah seorang anggota rumah gadang B.
c. Bundo
Kanduang
Dalam masyarakat Minangkabau dewasa ini kata Bundo Kanduang mempunyai
banyak pengertian pula, antara lain;
a) Bundo kanduang sebagai perempuan utama di dalam kaum, sebagaimana yang
dijelaskan di atas.
b)
Bundo
Kanduang yang ada di dalam cerita rakyat atau kaba Cindua Mato. Bundo Kanduang sebagai raja Minangkabau atau raja
Pagaruyung.
c) Bundo kanduang sebagai ibu kanduang sendiri.
d) Bundo kanduang sebagai sebuah nama organisasi perempuan Minangkabau yang
berdampingan dengan LKAAM.
Bundo kanduang yang dimaksudkan di sini adalah, Bundo Kanduang sebagai
perempuan utama.
Bundo
kanduang sebagai perempuan utama
Apabila ibu atau tingkatan ibu dari mamak yang jadi penghulu masih hidup,
maka dialah yang disebut Bundo Kanduang, atau mandeh atau niniek. Dialah
perempuan utama di dalam kaum itu.
Perempuan yang disebut bundo anduang dalam kaumnya, mempunyai kekuasaan
lebih tinggi dari seorang penghulu karena dia setingkat ibu, atau ibu penghulu
itu betul.
Dia dapat menegur penghulu itu apabila si penghulu melakukan suatu
kekeliruan. Perempuan-perempuan setingkat mande di bawahnya, apabila dia
dianggap lebih pandai, bijak dan baik, diapun sering dijadikan perempuan utama
di dalam kaum. Secara implisit tampaknya, perempuan utama di dalam suatu kaum,
adalah semacam badan pengawasan atau lembaga kontrol dari apa yang dilakukan
seorang penghulu.
c. Perkawinan
Adat perkawian Minangkabau tidak mengenal mas kawin,
yang ada hanya pemberian uang jemputan dari keluarga pihak wanita kepada
keluarga pihak laki-lai. Pada masa lalu setelah upacara perkawinan
dilangsungkan, seringkali pengantin pria mengunjungi istrinya hanya pada malam
hari saja. Statusnya adalah hanya sebagai Urang Sumando (Orang yang Menumpang).
Dari pagi sampai sore hari dia berada dirumah orang tuanya. Hal ini hanya
berlaku apabila status sosialnya lebih tiggi daripada status sosial istrinya,
bahkan dia dapt beristri lebih dari seorang, dengan beristri banyak berarti
uang jemputan yang akan diterimanya pun akan banyak. Kalau sampai terjadi
perceraian, maka bekas suami harus meninggalkan rumah, istri, dan anak-anaknya.
Selanjutnya istri dan anak akan diurus oleh saudara laki-laki dari ibunya.
7.
Sisitem
Mata Pencaharian
Pedagang
Minangkabau merujuk pada profesi sekelompok masyarakat yang berasal dari ranah
Minangkabau. Disamping profesi dokter, guru, dan ulama, menjadi pedagang
merupakan mata pencarian bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau. Biasanya
profesi ini menjadi batu loncatan bagi perantau Minangkabau setibanya di
perantauan.
Pedagang-pedagang
besar Minangkabau telah menjejakan kakinya sejak abad ke-7. Mereka menjadi
pedagang berpengaruh yang beroperasi di pantai barat dan pantai timur Sumatra.
Pedagang Minang banyak menjual hasil bumi seperti lada, yang mereka bawa dari
pedalaman Minangkabau ke Selat Malaka melalui sungai-sungai besar seperti
Kampar, Indragiri, dan Batang Hari. Sejak kemunculan Kerajaan Sriwijaya, banyak
pedagang Minangkabau yang bekerja untuk kerajaan. Di sepanjang pantai barat
Sumatra, para pedagang ini membuka pos-pos perdagangannya di kota-kota utama
dari Aceh hingga Bengkulu, seperti Meulaboh, Barus, Tiku, Pariaman, Padang, dan
Bengkulu.
Peranan
pedagang Minangkabau mulai menurun sejak dikuasainya pantai barat Sumatra oleh
Kesultanan Aceh. Munculnya kaum Paderi di Sumatera Barat pada akhir abad ke-18,
merupakan kebangkitan kembali pedagang Minangkabau yang dirintis oleh para
ulama Wahabi. Pedagang ini kembali mendapatkan ancaman dari Kolonial Hindia
Belanda sejak dibukanya pos perdagangan Belanda di Padang. Perang Paderi yang
berlangsung selama 30 tahun lebih telah meluluhlantakan perdagangan Minangkabau
sekaligus penguasaan wilayah ini dibawah kolonial Hindia-Belanda.
Di
tahun 1950-an, banyak pedagang Minangkabau yang sukses berbisnis diantaranya
Hasyim Ning, Rahman Tamin, Agus Musin Dasaad, dan Sidi Tando. Pada masa Orde
Baru, kebijakan pemerintah yang berpihak kepada pedagang Tionghoa sangat
merugikan pedagang Minangkabau. Kesulitan berusaha dialami oleh pedagang Minang
pada saat itu, terutama masalah pinjaman modal di bank serta pengurusan ijin
usaha. Ini dia beberapa mata pencaharian suku minang :
d.
Jenis
usaha Restoran
Usaha
rumah makan merupakan jenis usaha yang banyak digeluti oleh pedagang Minang.
Jaringan restoran Minang atau yang biasa dikenal dengan restoran Padang
tersebar ke seluruh kota-kota di Indonesia, bahkan hingga ke Malaysia dan
Singapura. Disamping itu terdapat juga usaha restoran yang memiliki ciri khas
dan merek dagang yang dijalani oleh pedagang dari daerah tertentu. Pedagang
asal Kapau, Agam biasanya menjual nasi ramas yang dikenal dengan Nasi Kapau.
Pedagang Pariaman banyak yang menjual Sate Padang. Sedangkan pedagang asal
Kubang, Lima Puluh Kota menjadi penjual martabak, dengan merek dagangnya
Martabak Kubang. Restoran Sederhana yang dirintis oleh Bustamam menjadi
jaringan restoran Padang terbesar dengan lebih dari 60 cabang yang tersebar di
seluruh Indonesia. Di Malaysia, Restoran Sari Ratu yang didirikan oleh Junaidi
bin Jaba, salah satu restoran Padang yang sukses.
e.
Tekstil
Di
pasar tradisional kota-kota besar Indonesia, pedagang Minangkabau banyak yang
menggeluti perdagangan tekstil. Di Jakarta, pedagang Minangkabau mendominasi
pusat-pusat perdagangan tradisional, seperti Pasar Tanah Abang, Pasar Senen,
Pasar Blok M, Pasar Jatinegara, dan Pasar Bendungan Hilir. Dominansi pedagang
tekstil Minangkabau juga terjadi di Medan dan Pekan Baru. Jika di Medan pedagang
Minangkabau mendominasi Pasar Sukaramai, maka di Pekan Baru mereka dominan di
Pasar Pusat dan Pasar Bawah. Di Surabaya, pedagang tekstil asal Minang banyak
dijumpai di Pasar Turi.
f.
Kerajinan
Orang
Minang banyak melakukan perdagangan dari hasil kerajinan. Para pedagang ini
banyak yang menggeluti kerajinan perak, emas, dan sepatu. Kebanyakan dari
mereka berasal dari Silungkang, Sawahlunto dan Pandai Sikek, Tanah Datar.
Disamping juga banyak yang menggeluti usaha jual-beli barang-barang antik,
dimana usaha ini biasanya digeluti oleh pedagang asal Sungai Puar, Agam.
Pedagang barang antik Minangkabau banyak ditemui di Cikini, Jakarta Pusat dan
Ciputat, Tangerang Selatan
d.
Percetakan
Bisnis
percetakan merupakan jenis usaha yang banyak dijalankan oleh pedagang Minang.
Usaha percetakan yang mereka jalani meliputi percetakan undangan dan buku.
Bahkan dari usaha percetakan ini berkembang menjadi usaha penerbitan buku dan
toko buku. Usaha percetakan banyak digeluti oleh pedagang asal Sulit Air,
Solok. Salah satu tokoh sukses yang menggeluti bisnis percetakan ini ialah H.M
Arbie yang berbasis dikota medan
e. Hotel dan Travel
Bisnis
pariwisata terutama jaringan perhotelan dan travel juga banyak digeluti oleh
pengusaha Minangkabau. Di Jakarta, jaringan Hotel Grand Menteng merupakan
jaringan bisnis hotel terbesar milik orang Minang. Di Pekan Baru, disamping
Best Western Hotel milik Basrizal Koto, ada Hotel Pangeran yang dimiliki oleh
Sutan Pangeran. Bisnis travel di geluti oleh pengusaha asal Payakumbuh, Rahimi
Sutan di bawah bendera Natrabu Tour.
f. Pendidikan
Bisnis
pendidikan juga menjadi pilihan bagi orang Minang. Usaha ini biasanya digeluti
oleh para pendidik yang pada mulanya bekerja pada sekolah negeri atau swasta.
Dari pengalaman tersebut, mereka bisa mengembangkan sekolah, universitas, atau
tempat kursus sendiri yang akhirnya berkembang secara profesional. Di Jakarta,
setidaknya terdapat tiga universitas milik orang Minang, yaitu Universitas
Jayabaya, Universitas Persada Indonesia YAI, dan Universitas Borobudur.
g. Media
Bakat menulis dan ilmu jurnalistik yang
dimiliki oleh orang Minang, telah melahirkan beberapa perusahaan media besar di
Indonesia. Antara lain ialah koran Oetoesan Melajoe yang didirikan oleh Sutan
Maharaja pada tahun 1915, majalah Panji Masyarakat yang didirikan oleh Hamka,
koran Pedoman yang didirikan oleh Rosihan Anwar, koran Waspada yang didirikan
oleh Ani Idrus, majalah Kartini yang didirikan oleh Lukman Umar, majalah Femina
yang didirikan oleh putra-putri Sutan Takdir Alisjahbana, dan jaringan televisi
TV One yang didirikan oleh Abdul Latief.
h. Keuangan
h. Keuangan
Bisnis di industri keuangan, seperti
perbankan, sekuritas, dan asuransi juga merupakan pilihan bagi pengusaha
Minang. Bahkan pengusaha Minang, Sutan Sjahsam yang juga adik perdana menteri
pertama Indonesia Sutan Sjahrir, merupakan perintis pasar modal di Indonesia.
Sjahsam juga seorang pialang saham dan mendirikan perusahaan sekuritas,
Perdanas. Disamping Sjahsam, ekonom Syahrir juga aktif dalam bisnis sekuritas
dengan mendirikan perusahaan Syahrir Securities. Di bisnis perbankan, ada
pengusaha Minang lainnya, Anwar Sutan Saidi, yang mendirikan Bank Nasional pada
tahun 1930.
C. Permasalahan suku Minangkabau
Permasalahan
Suku Minangkabau adalah kelompok etnis
yang paling banyak dikaji para peneliti dalam dan luar negeri. Kelompok ini
mendiami daratan tengah pulau Sumatra bagian barat yang sekarang menjadi Provinsi
Sumatra Barat. Pada masyarakat Minangkabau ini terdiri dari banyak suku namun
istilah suku pada masyarakat ini tidak sama dengan “suku bangsa”, suku lebih
setara dengan marga seperti pada orang batak.Dengan banyak kekhasan yang
dimiliki oleh suku Minangkabau seperti system matrilineal dan budaya menjadi
daya tarik tersendiri sehingga banyak ilmuan ingin meneliti dari suku
Minangkabau ini. dan kita ketahui sendiri bahwasannya di suku Minangkabau
adalah mayoraitas penganut agama islam yang kuat, berdasarkan filosofinya yaitu
“Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah” yang memiliki arti yaitu Adat
bersumber Ajaran dan Ajaran Bersumber dari Al-Qur’an, dengan memiliki folosofi
tersebut maka sudah dipastikan suku Minangkabau berazazkan agama islam, namun
ada beberapa permasalahannya yaitu adalah budaya yang bertolak belakang dari
ajaran agama islam yaitu matrilineal yang dimana garis kekerabatan berdasarkan
garis keturunan Ibu, bukan berdasarkan Nasab dari seorang Ayah.
Pada abad ke-13 Islam mulai masuk ke
Minangkabau melalui alur sungai dari pantai Timur Sumatera menusuk ke hulu di
daerah pedalaman Minangkabau dan pada abad ke 16 tepat nya tahun 1581
dibuktikan dengan adanya kerajaan islam yang bernama kerajaan Pagaruyung.
Setelah itu islam semakin berkembang berkat kepulangan 3 syekh asli suku Minangkabau yg telah belajar islam dari
Timur Tengah. Mereka membawa ajaran islam Muhabbi, Salah satu syekh itu bernama
Syekh Burhanuddin. Sejak kepulangan ketiga syekh itu menjadi tonggak pergolakan
antara kaum muda dan kaum tua di suku Minangkabau, dimana Pergolakan ini mempermasalahkan
tentang konteks agama (islam) yang menjadi cikal bakal modernisasi yang
berimplikasi dan berkaitan dengan adat dan budaya suku Minangkabau.
Pertentangan antara paham lama dengan
paham baru merupakan suatu proses yang telah lama berlangsung dalam masyarakat
minangkabau. Perang Padri di Minangkabau pada permulaan abad ke-19 pada mulanya
berupa pertentangan kaum tua dengan kaum muda, yang kemudian menjelma menjadi
persoalan yang serius. Kaum muda adalah orang-orang Minangkabau yang baru
pulang dari Makkah setelah melaksanakan haji
dan membawa ajaran Islam ke Minangkabau. Ketika itu kaum muda di
Minagkabau telah melihat kebiasaan-kebiasaan buruk yang marak dilakukan oleh
kalangan masyarakat di kerajaan pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan buruk yang
dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras,
tembakau, dan juga aspek hukum adat matriakat / matrilineal mengenai warisan,
serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama islam.
Kebiasaan ini semakin meluas dan
mempengaruhi kaum muda. Ternyata dalam melaksanakan misinya golongan muda ini
ditentang oleh golongan tua, yaitu kaum yang sangat menjaga adat Minangkabau
dan tentu saja mereka tidak terima bahwa golongan muda ingin mengubah adat
mereka. Pertentangan antara kedua belah pihak itu pada awalnya akan
diselesaikan secara damai memalui perundingan, tatapi tidak terdapat
persesuaian pendapat. Akhirnya salah satu dari mereka (golongan tua dan
golongan muda) menganjurkan secara kekerasan sehingga terjadilah perang saudara
yang bercorak keagamaan.
Dalam pergolakan ini kaum muda
menginginkan adanya pemurnian agama islam di Minangkabau, namun kaum tua
besikukuh untuk mempertahankan agama islam yang lebih bersifat tradisional
dengan alasan agama islam tradisional klasik yang konservatif memiliki
nilai-nilai yang lebih,seperti tarekhat dan tasyawuf (mensucikan diri) yang
digabungkan dengan adat lama suku Minangkabau. Kaum tua di cap sebagai kelompok
agama yang penuh dengan nilai-nilai bit’ah, tahayul, dan mitos-mitos yang mana
nilai-nilai ini yang ingin ditransformasikan oleh kaum muda, mereka kaum muda
tidak sepaham dengan keislaman suku minangkabau yang masih berbau nilai-nilai
seperti itu, maka kaum muda pun mengadakan gerakan puritanisme (Pemurnian agama
Islam) dengan mendirikan sebuah pesantren untuk mengkampanyekan nilai-nilai
islam yang bersifat lebih modern dengan konteks adat dan budaya suku
Minangkabau.
Pertentangan kaum tua dengan kaum muda
ini juga berlangsung pada ke-20 dengan makin terdesaknya golongan tua. Golongan-golongan
muda yang agresif berhasil memodernisasi sistem sekolah agama yang ada.
Perkenalan yang lebih mendalam dengan agama islam telah menimbulkan suatu
kesadaran pada orang minagkabau untuk lebih mementingkan keislamannya dari pada
keminagkabauannya dan telah menimbulkan suatu kesadaran tentang keganjilan adat
Minagkabau, kalau kedudukan ayah dalam sistem islam dengan jelas memberikan
kekuasaan kepada ayah untuk menjaga keluarga itu. Disamping itu dalam islam
tidak ada halangan untuk menikahi siapa saja asalkan beragama islam dan asalkan
jangan saudara seibu atau saudara seayah dan sebagainya. Dalam sistem
minangkabau pilihan itu terbatas, orang belum tentu dapat menikah dengan
seseorang yang diizinkan menurut agama hanya karena orang itu termasuk ke dalam
suatu kelompok adat yang sama, atau karena orang itu bukan dari desanya sendiri
atau karena orang itu lebih tinggi kelas sosisalnya. Keadaan ini yang
menyebabkan mereka (kaum muda) menentang terhadap sistem adat Minangkabau.
Selain permasalahan tentang agama yang
berkaitan dengan adat dan budaya suku Minangkabau, ada pula permasalahan yang
menimbulkan pro dan kontra dikalangan kaum muda dan kaum tua yaitu mengenai
masalah keperdataan (hak waris), di dalam suku Minangkabau menganut sistem Matrilineal yang mana garis
keturunan ditarik dari garis ibu ke atas, sehingga hak waris hanya dilimpahkan
kepada perempuan dan laki-laki tidak mendapat bagian sedikitpun, sehingga
menimbulkan protes kaum muda.
D.
Solusi
dan Kebijakan
Untuk mengatasi dua (2) permasalahan
yang menimbulkan pergolakan antara kaum muda dan kaum tua tersebut maka kedua
nya mengadakan sebuah perjanjian atau musyawarah untuk menghasilkan mufakat
tepat nya pada abad ke-19 dengan bukti adanya perjanjian Bukik Muarapalam dan
perjanjian Masang, dalam kompromi atau perjanjian ini lebih condong kepada
pendapat kaum muda sehingga kaum muda lah yang memenangkan perjanjian Bukik
Muarapalam dan Perjanjian Masang, dimana isi perjanjian ini menyebutkan bahwa
kaum tua menerima nilai-nilai agama islam yang modern namun tidak meninggalkan
nilai-nilai adat dan budaya suku Minangkabau, jadi agama dan adat serta budaya
saling menyuburkan satu sama lain dengan istilah suku Minangkabau “Adat basani
sara, sara Basani Kitabullah.Yang kedua isi perjanjian Bukik Muarapalam dan
perjanjian Masang tentang masalah keperdataan atau hak waris adalah tentang hak
waris ini dibagi menjadi dua (2) bagian yaitu ;
a.
Harta
Pusaka tinggi
Harta pusaka tinggi adalah harta yang
diwarisi secara turun temurun dari beberapa generasi menurut garis keturunan
ibu. Harta pusaka tinggi ini berupa material seperti sawah ladang, kebun dan
lain-lain disebut juga pusako. Disamping itu ada pula harta pusaka tinggi yang
berupa moril yaitu gelar pusaka kaum yang diwarisi secara turun temurun yang
disebut dalam adat sako. Harta pusaka tinggi ini pun tidak boleh diperjual
belikan, hanya boleh digadai tapi dengan 4 syarat, syarat itu terdiri dari : 1.
“Karena Mayit Terbujur Ditengah Rumah” artinya jika dikeluarga ibu dirumah gadang
tidak ada dana untuk menguburkan si mayit maka boleh digadai, 2. “Apabila
Seorang Perempuan Sudah Lama Tidak Menikah dan Tidak Ada Dana” maka boleh
digadai, 3. “Untuk Mengangkat Penghulu” atau Ketua Adat yang Bergelar Datuk
Sebagai Kepala Suku Karena Tidak mempunya dana Untuk Kegiatan makan-makan,
bantai kerbau atau sapi maka boleh di gadai, 4. “Jika Keluarga Ibu Sedang
Membangun Rumah Gadang” tetapi tidak memiliki dana karena sudah lama
terbengkalai, karena rumah disuku Minangkabau merupakan simbol prestis atau
simbol harga diri.
b.
Harta
Pusaka Rendah
Mengenai harta pusaka rendah ada
perbedaan pendapat dan hal ini bisa mengundang permasalahan dalam pewarisan.
Harta pusaka rendah adalah segala harta yang didapat dari hasil usaha pekerjaan
dan pencaharian sendiri. Harta ini boleh dijual dan digadaikan menurut
keperluan dengan sepakat ahli waris.
2.
Solusi
Menurut Kelompok
Solusi dari masalah kaum tua dan kaum
muda menurut kelompok kami adalah agama dan adat adalah dua hal yang tidak
bijak untuk dipertentangkan, karena agama islam itu sendiri sudah membawa unsur kebudayaan dari mana
agama itu berasal dan tumbuh, sehingga budaya baru yang dibawa oleh agama itu
jika dibawa ke suatu tempat yang sudah memiliki budaya yang solid kemudian
dipaksa untuk mengubah/menggantikan budaya lama yang sudah mengakar tersebut ke
dalam masyarakat minangkabau dengan pendekatan pemaksaan maka akan memunculkan
pertentangan yang berujung dengan konflik. Mungkin jika pada awalnya dialog
antara kaum adat dengan kaum padri dapat berjalan dengan tanpa mengedepankan
tujuan meghilangkan salah satunya maka konflik antara mereka tidak akan
terjadi.
Adat yang sudah ada sejak dulu
seharusnya dapat dipertahankan dan tidak diganti dengan budaya-budaya islam itu
sendiri. Tiap tiap daerah di Indonesia memiliki karakteristiknya
sendiri-sendiri begitu juga dengan
minangkabau, suku minangkabau pada awalnya sudah memiliki adatnya sendiri tentu
adat tersebut sehurusnya tidak dapat diganggu-gugat oleh apapun. Agama dan adat
seharusnya berjalan seiringan dengan tidak mengganti atau mengubah adat
Minangkabau. Konflik antara kaum adat dengan kaum padri harus diselesaikan
secara dingin oleh masing masing golongan,dengan membuat kesepakatan yang
tertulis dan saling menguntungkan.
Golongan muda tidak boleh serta merta
mengubah kebudayaan Minangkabau hanya karena dianggap bersebrangan dengan
syariat. Kebudayaan Minangkabau seperti pewarisan Pusako yang mengambil garis
keturunan perempuan bukan tanpa makna atau miskin filosofi. Golongan tua
menganggap bahwa perempuan lebih bisa menjaga harta warisan/pusako, kemudian
perempuan juga lebih dihormati dari pada laki-laki karena surga terletak di
telapak kaki ibu oleh karena itu perempuan jarang terkena konflik ,
3.
Solusi
berdasarkan teori
Teori
konflik sosial
Lewis Coser dalam bukunya “The Fungtions
of Social Conflict” mengemukakan bahwa tidak ada teori konflik sosial yang
mampu merangkum seluruh fenomena, coser mulai dengan mendifinisikan konflik
sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status
yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir
atau dilangsungkan atau dieliminasi saingan-sainganya. Teori ini berkaitan
dengan konflik yang terjadi antara kaum tua dengan kaum muda. Karena kaum muda
yang terbilang minoritas,berusaha memodernisasi/mereformasi adat Miangkabau
yang sudah lama mengakar dengan ajaran islam yang berasal dari timur tengah,
dimana golongan muda berusaha mempurifikasi ajaran islam. Purifikasi ajaran
islam bisa dikatakan sebuah perjuangan untuk mendapatkan pengakuan terhadap
status mereka,kemudian mereka berusaha mengeliminasi nilai-nilai yang dianggap
sumber konflik yaitu memurnikan ajaran islam dan meninggalkan kebudayaan
minangkabau yang notabene bertentangan dengan paham mereka. Kebudayaan minangkabaupun
tergerus oleh ajaran agama islam yang mereka tanamkan.
Perthatian Coser berkaitan dengan fungsi
bukan dengan disfungsinya kelompok sosial. Dengan demikian kita dapat
menyatakan bahwa konsekuensi konflik sosial tersebut akan mengarah pada
peningkatan bukan pada kemerosotan, adaptasi atau penyesuaian baik dalam
hubungan sosial yang spesifik maupun pada kelompok secara keseluruhan. Ketika
konflik golongan tua dengan golongan muda di Minangkabau bergejolak ada sebuah
konsekuensi yang mengarah pada peningkatan pemikiran masing-masing golongan
untuk bisa beradaptasi dengan baik dengan kolompoknya sendiri maupun dengan
kelompok lawan kemudian dengan terjadinya konflik tersebut masing-masing
golongan dapat menumbuhkan kekompakan dan persatuan dari golongan masing-masing.
Ramli Ardi Yahya