3.1
Definisi Ilmu
Ilmu (atau ilmu
pengetahuan) adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan
dan meningkatkan pemahaman manusia dari
berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar
dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan
membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari
keterbatasannya.
Ilmu
bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan
berdasarkan teori-teori
yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang
diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu
terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang
dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.
3.2
Sumber Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Timur
Pengetahuan Dalam Presfektif
Masyarakat Relegius bahwa Ilmu pengetahun berasal dari Allah melalui panca
indera (empiris) dan akal (rasionalis). Ia diperoleh dari “berita Agung ” yang
benar, absolute, dari sumber otoritas tertinggi dan intiusi yang terformulasi
dalam wahyu, sabda/hadits, akal dan pengalaman-pengalaman intuisi.
Masyarakat relegius mengkombinasikan
metodologi rasionalisme dan empirisme dengan tambahan wahyu. Pemahaman keilmuan
dari sisi masyarakat religius tidak mesti rasional dan empiris tetapi ada
sisi-sisi realitas metafisis. Hal ini disebabkan karena sumber ilmu pengetahuan
yang berbeda. Kaum rasionalis bersumber dari akal dan ide dalam membahas ilmu
pengetahuan.
Kaum empirisme bersumber pada pengalaman
empiris-realistis sedangkan kaum relegius menambahkan bahwa sumber ilmu
pengetahuan bisa diperoleh dari wahyu dan intuisi (Ilham, firasat dan wangsit
).
Dari perbedaan sumber ilmu
pengatahuan ini pun akhirnya akan memperoleh produk pemikiran yang berbeda.
Bila ilmu pengetahuan positivisme harus sistematis dan terukur berdasarkan
empiris dan rasional, tetapi kebenaran intuisi “wahyu” tidak harus dibuktikan
dengan realitas empiris. Kebenaran pengetahuan yang bersifat intuisi “boleh”
dibuktikan dengan metodologi “iman”.
Sebenarnya “Wahyu dan Intuisi” bisa
dibuktikan dengan rasionalitas dan empiris namun karena keterbatasan akal
pikiran manusia, kadang-kadang kebenaran itu muncul setelah melampaui ruang dan
waktu. Karena orang agamawan melihat bahwa kebenaran itu ada yang bersifat
fisik material dan psikis-spritual .Mungkin pada saat ini belum diketemukan
sisi-sisi kebenaran dokrin agama karena ” akalnya belum taslim” namun pada saat
yang akan datang dengan sarana ilmu pengetahuan, kebenaran itu terkorelasi
dengan konsep-konsep relegius yang tertulis dalam kitab suci. Kitab suci yang
bertahan dan keorsinilannya bisa dipertanggungjawabkan manakala bersesuaian
dengan penemuan-penemuan ilmiyah oleh para saintifik modern.
Bagi agamawan (semua agama samawi)
ada tiga hal yang sangat fundamental dalam kehidupan beragama.Pertama siapakah
yang menciptakan (percaya pada Tuhan). Kedua tujuan akhir kehidupan manusia
kemana (orientasi akherat). Ketiga darimana mendapatkan informasi, mencari
petunjuk tersebut tentang Tuhan ( percaya pada nabi dan rasul)
Masyarakat relegius memandang ilmu pengetahun dan agama merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Walaupun di sisi lain seolah dipaksakan sebagai dogma atau dokrin namun keyakinan membawa kaum beragama dianggap sebagai suatu kebenaran pengetahuan. Berbeda dengan atheis (materialis-sekuler) yang menggap pengetahuan ilmiyah merupakan suatu hal dan kepercayaan-kepercayaan agama merupakan hal lain. Orang atheis menyebutkan hal-hal yang bersifat supranatural akan tampak sebagai sebagai satu anakronisme .
Masyarakat relegius memandang ilmu pengetahun dan agama merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Walaupun di sisi lain seolah dipaksakan sebagai dogma atau dokrin namun keyakinan membawa kaum beragama dianggap sebagai suatu kebenaran pengetahuan. Berbeda dengan atheis (materialis-sekuler) yang menggap pengetahuan ilmiyah merupakan suatu hal dan kepercayaan-kepercayaan agama merupakan hal lain. Orang atheis menyebutkan hal-hal yang bersifat supranatural akan tampak sebagai sebagai satu anakronisme .
Cara memperoleh ilmu pengetahuan
dalam prespektif agamawan yaitu berasal dari wahyu-intuisi melalui proses kerja
panca indera dan akal, atau sebaliknya melalui penemuan-penemuan
empiris-rasional lalu dipadukan, diklarifikasikan dengan wahyu sebagai sumber
pengetahuan tertinggi. Kepercayaan kepada Tuhan merupakan sumber pengetahuan,
kepercayaan kepada nabi menjadi perantara dan merupakan dasar penyusunan
pengetahuan ini. Sehingga tolak ukur dari pengetahuan dalam pandangan relegius
adalah “believe or not believe”. Dengan demikian pandangan relegius dimulai
dari rasa percaya kemudian melalui proses pengkajian keilmuan pada akhirnya
akan menemukan pengetahuan yang semakin percaya atau semakin menurun. Berbeda
dengan kajian ilmu sains yang berawal dari ketidakpercayaan, keraguan dan
kekosongan setelah melalui proses kajian ilmiyah baru bisa diyakinkan atau
tetap berada dalam pendirian semula.
Pengetahuan (persepsi) itu secara
garis besat terbagi menjadi dua yaitu “konsepsi” (at-tashawwur) atau
pengetahuan yang sangat sederhana, pengetahuan yang tanpa penilaian,
penangkapan sesuatu tanpa menilai obyek tersebut dan kedua “tashdiq” (assent
atau pembenaran) yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian dan
penjelasan).18 Bagi kaum teologis manusia memiliki dua sisi, pertama sisi
material yang terjelma dalam komposisi organiknya. Kedua adalah sisi spritual
atau nonmateri yang merupakan pentas aktivitas akal dan mental. Dua sisi ini
saling mempengaruhi termasuk didalamnya juga mengenai persoalan pengetahaun.
Materi dan spritual tidak ada jurang pemisah yang selama ini digaungkan oleh
kaum meterialis tetapi keduanya memiliki hubungan. Meskipun nonmaterial, ia
memiliki hubungan material.
Sejarah pemikiran Islam mencatat
terdapat tiga cara memperoleh ilmu pengetahuan, pertama metode bayani, yaitu
cara memperoleh pengetahuan terhadap bathin teks baik Al-Qur’an maupun hadits.
Metode ini lebih mementingkan otoritas teks sedangkan fungsi akal adalah
sebagai pengawal terhadap pemahaman yang eksoterik.Kedua metode irfani, yaitu
model berfikir berdasarkan pengalaman langsung terhadap realitas spiritual.
Irfan diperoleh melalui penyingkapan sinar hakekat (Kasyaf) setelah melalui
berbagai riyadloh yang dilakukan atas dasar cinta. Ketiga metode burhani, yaitu
pendekatan yang lebih menekankan pada kekuatan rasio-akal dengan menggunakan
dalil-dalil logika .
Masyarakat relegius, agamawan atau
mistikiawan memandang ilmu pengetahuan sebagai salah satu bidang kehidupan yang
sangat fundamental di samping persoalan hubungan antara manusia dengan Tuhan
(vertical). Oleh karena itu ilmu pengetahuan-science tidak bisa dipisahkan dari
agama. Ilmu pengetahuan bersumber dari “Sang Causa Prima” demikian juga agama
muaranya akan kepada “Sang Pencipta”atau akan menuju ma’rifatullah, pengetahuan
hakiki tentang Tuhan.
Pemisahan agama dengan ilmu
pengatahuan menyebabkan ilmu dan teknologi kering akan nilai (value free).
Sedangkan memisahkan agama dari ilmu pengetahuan akan menemukan agama sebatas
coretan-coretan, teks-teks dan nash-nas yang tidak berdimensi “kemaslahatan”.
Ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi nilai-nilai moral-agama melahirkan ilmu
yang materialistic bahkan ateis. Ini terbukti dengan perkembangan science dan
teknologi abad ini yang berdampak pada “dehumanisasi” menjauhkan manusia dari
unsur kemanusiaannya, disharmoni, disfungsi, disalokasi, krisis global dan
krisis multidimensional. Di sisi lain manakala kecenderungan manusia hanya pada
norma agama tanpa mempedulikan saintifik maka akan terjerumus pada sikap
“pantheisme”, dunia bagaikan selebar sajadah.
Ilmu pengetahuan bersumber dari
Tuhan (Theocentris), dikaji melalui panca indra dan akal. Fikir dan dzikir
merupakan keniscayaan dalam memperoleh ilmu pengetahaun. Pengkajian ayat Tuhan
baik kitab suci (sacral-transenden) maupun alam semesta (kauniyah-cosmos)
dipadukan dengan metodologi yang rasionalis-empiris dan teologis-spritualis.
Sehingga pencarian dan penemuannya lebih komprehensif dan menyentuh kebutuhan
manusia yang material dan immaterial, terpenuhinya kebutuhan fisik-material dan
psikis-spritual.
3.3 Definisi Kebudayaan
Budaya secara harfiah berasal dari
Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah,
memelihara ladang. Menurut The American Herritage Dictionary mengartikan
kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan
melalui kehidupan sosial, seniagama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan
pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia.
Menurut Koentjaraningrat budaya
adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.
Budaya atau kebudayaan berasal
dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari
buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi
dan akal manusia. Dalam bahasa
Inggris,
kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau
mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata
culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa
Indonesia.
3.4 Budaya dalam Perspektif Timur
Ajaran-ajaran Islam yang penuh
dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentunya mencakup segala aspek kehidupan
manusia. Tidak ada satupun bentuk kegiatan yang dilakukan manusia, kecuali
Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam ajaran Islam ini. Kebudayaan
adalah salah satu dari sisi pentig dari kehidupan manusia, dan Islampun telah
mengatur dan memberikan batasan-batasannya.
Melalui pendefinisian kebudayaan
seperti itu, akan memungkinkan agama dapat dikaji, sebab agama bukanlah wujud
dari gagasan atau produk pemikiran manusia atau kelakuan atau hasil kelakuan.
Definisi kebudayaan sebagai kelakuan dan hasil kelakuan adalah produk
kebudayaan. Agama bukan semata-mata produk kelakuan atau hasil kelakuan.
Pengertian strukturalisme mengenai kebudayaan juga kurang tepat untuk melihat
agama, sebab agama bukan hanya sebagai produk kognitif. Oleh karena itu,
digunakanlah pandangan atau perspektif yang melihat agama sebagai system
kebudayaan.
Menanggapi terhadap agama sebagai
system kebudayaan, Suparlan menyatakan bahwa pada hakikatnya agama adalah sama
dengan kebudayaan, yaitu suatu system symbol atau suatu system pengetahuan yang
menciptakan, menggolong-golongkan, meramu atau merangkaikan dan menggunakan
symbol untuk berkomunikasi dan untuk menghadapi lingkungannya. Namun demikian,
ada perbedaannya bahwa symbol di dalam agama adalah symbol suci.
Symbol suci di dalam agama tersebut,
biasanya mengejawantah di dalam tradisi masyarakat yang disebut sebagai tradisi
keagamaan. Yang dimaksud dengan tradisi keagamaan ialah kumpulan atau hasil
perkembangan sepanjang sejarah: ada unsure baru yang masuk, ada yang
ditinggalkan juga. Hampir sama dengan pendapat Steenbrink yang mengedepankan
dimensi historis maka menurut konsepsi Fazlurrahman bahwa tradisi islam bisa
terdiri dari element yang tidak Islami dan tidak didapatkan dasarnya di dalam
Al-Quran dan Sunnah. Jadi, perlu dibedakan antara islam itu sendiri dengan
sejarah islam yang termuat di dalam teks Al-Quran dan Al-Hadith adalah ajaran
yang merupakan sumber asasi, dan ketika sumber itu digunakan atau diamalkan
disuatu wilayah sebagai pedoman kehidupan maka bersamaan dengan itu, tradisi
setempat juga bisa saja mewarnai penafsiran masyarakat lokalnya. Karena
penafsiran itu berasentuhan dengan teks suci, maka symbol yang diwujudkannya
juga merupakan sesuatu yang sakral.
Setiap tradisi keagamaan memuat
symbol-simbol suci yang dengannya orang melakukan serangkaian tindakan untuk
menumpahkan keyakinan dalam bentuk ritual, penghormatan, dan penghambaan. Salah
satu contoh ialah melakukan acara lingkaran hidup dan upacara intensifikasi,
baik yang memiliki sumber asasi di dalam ajaran agama atau yang dianggap tidak
memiliki sumber asasi didalam ajaran agama. Tradisi keagamaan yang bersumber
dari ajaran agama disebut Islam Offisial atau Islam murni, sedangkan yang
dianggap tidak memiliki sumber asasi di dalam ajaran agama disebut sebagai
Islam Popular atau Islam Rakyat (Syam.2005:17)
Untuk mengetahui sejauh mana
hubungan antara agama ( termasuk Islam ) dengan budaya, kita perlu menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : mengapa manusia cenderung memelihara
kebudayaan, dari manakah desakan yang menggerakkan manusia untuk berkarya,
berpikir dan bertindak ? Apakah yang mendorong mereka untuk selalu merubah alam
dan lingkungan ini menjadi lebih baik ?
Sebagian ahli kebudayaan memandang
bahwa kecenderungan untuk berbudaya merupakan dinamik ilahi. Bahkan
menurut Hegel, keseluruhan karya sadar insani yang berupa
ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses
realisasidiri dari roh ilahi. Sebaliknya sebagian ahli, seperti Pater
Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan” menyatakan bahwa tidak ada
hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa agama merupakan
keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi.
Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang
kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan.
Adapun menurut para ahli Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs.
Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama merupakan salah satu unsur kebudayaan. Hal
itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia mempunyai
akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan
berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas
dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing
agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan
kemampuan yang ada.
Di sinilah, bahwa agama telah
menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah laku keagamaan, masih
menurut ahli antropogi, bukanlah diatur oleh ayat- ayat dari kitab suci,
melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci tersebut.
Dari keterangan di atas, dapat
disimpulkan bahwa para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang berbeda di dalam
memandang hubungan antara agama dan kebudayaan. Kelompok pertama menganggap
bahwa Agama merupakan sumber kebudayaaan atau dengan kata lain bahwa kebudayaan
merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri. Pendapat ini diwakili oleh Hegel.
Kelompok kedua, yang di wakili oleh Pater Jan Bakker, menganggap
bahwa kebudayaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. Dan kelompok
ketiga, yeng menganggap bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan itu
sendiri.
Selain menciptakan manusia, Allah
swt juga menciptakan makhluk yang bernama Malaikat, yang hanya mampu
mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur cahaya. Dan juga
menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya bisa berbuat jahat , karena diciptkan
dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas, merupakan gabungan
dari unsur dua makhluk tersebut.
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa
manusia ini mempunyai dua pembisik ; pembisik dari malaikat , sebagi aplikasi
dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, dan pembisik dari syetan, sebagai aplikasi
dari unsur tanah. Kedua unsur yang terdapat dalam tubuh manusia tersebut,
saling bertentangan dan tarik menarik. Ketika manusia melakukan kebajikan dan
perbuatan baik, maka unsur malaikatlah yang menang, sebaliknya ketika manusia
berbuat asusila, bermaksiat dan membuat kerusakan di muka bumi ini, maka unsur
syetanlah yang menang. Oleh karena itu, selain memberikan bekal, kemauan dan
kemampuan yang berupa pendengaran, penglihatan dan hati, Allah juga memberikan
petunjuk dan pedoman, agar manusia mampu menggunakan kenikmatan tersebut untuk
beribadat dan berbuat baik di muka bumi ini.
Allah telah memberikan kepada
manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan
suatu kebudayaan. Di sini, Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya
manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu
sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan
membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai
positif dan mengangkat harkat manusia. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk
selalu beramal dan berkarya, untuk selalu menggunakan pikiran yang diberikan
Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi
kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong
manusia untuk “ berbudaya “. Dan dalam satu waktu Islamlah yang meletakkan
kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa dikatakan bahwa
kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teori seperti ini, nampaknya lebih
dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas.
Islam, sebagaimana telah diterangkan
di atas, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada
kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk
menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam
waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan
terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam
kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang
berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta
mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi
Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan
perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam
penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke
arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru
dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan
bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.
Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :
Pertama : Kebudayaan yang tidak
bertentangan dengan Islam. Dalam kaidah fiqh disebutkan : “ al adatu
muhakkamatun “ artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu
masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di
dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya
berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syareat, seperti ; kadar
besar kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya,
keluarga wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas.
Dalam Islam budaya itu syah-syah saja, karena Islam tidak menentukan besar
kecilnya mahar yang harus diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan
Masjid, dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang
berbentuk Joglo.
Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan
ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan
suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Sebagai contoh adalah apa
yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah harian yang
menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil
“ al adatu muhakkamatun “ karena nikah antar agama sudah
menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas.
Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang
wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.
Kedua : Kebudayaan yang sebagian
unsurnya bertentangan dengan Islam , kemudian di “ rekonstruksi” sehingga
menjadi Islami.Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang
melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam ,
seperti lafadh “talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di
Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk meronstruksi budaya tersebut,
menjadi bentuk “ Ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain
adalah kebudayaan Arab untuk melantukan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam
kebudayaan tersebut tetap dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar
sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Ketiga: Kebudayaan yang bertentangan
dengan Islam. Seperti, budaya “ ngaben“ yang dilakukan oleh masyarakat Bali.
Yaitu upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah
dan gegap gempita, dan secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk
penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya.
Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga
dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah
upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman
jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba
masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini
berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan
makanan dan minuman dalam jumlah yang besar , karena disaksikan oleh para
penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja, untuk
memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya
tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain
lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka mempunyai
budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada
Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang
menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan selatan ( Samudra Hindia
).
Hal-hal di atas merupakan sebagian
contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam
tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti itu
merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan,
serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya
justru merupakan kebudayaan yang menurunkan derajat kemanusiaan. Karena
mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak
bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal dunia.
Ramli Ardi Yahya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar