Pelajar Jaya ! Indonesia Jaya!

Pelajar Jaya ! Indonesia Jaya!

Selasa, 11 November 2014

Ilmu dan Kebudayaan dalam Perspektif Timur



3.1 Definisi Ilmu
Ilmu (atau ilmu pengetahuan) adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.

3.2 Sumber Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Timur
            Pengetahuan Dalam Presfektif Masyarakat Relegius bahwa Ilmu pengetahun berasal dari Allah melalui panca indera (empiris) dan akal (rasionalis). Ia diperoleh dari “berita Agung ” yang benar, absolute, dari sumber otoritas tertinggi dan intiusi yang terformulasi dalam wahyu, sabda/hadits, akal dan pengalaman-pengalaman intuisi.
            Masyarakat relegius mengkombinasikan metodologi rasionalisme dan empirisme dengan tambahan wahyu. Pemahaman keilmuan dari sisi masyarakat religius tidak mesti rasional dan empiris tetapi ada sisi-sisi realitas metafisis. Hal ini disebabkan karena sumber ilmu pengetahuan yang berbeda. Kaum rasionalis bersumber dari akal dan ide dalam membahas ilmu pengetahuan.
            Kaum empirisme bersumber pada pengalaman empiris-realistis sedangkan kaum relegius menambahkan bahwa sumber ilmu pengetahuan bisa diperoleh dari wahyu dan intuisi (Ilham, firasat dan wangsit ).
            Dari perbedaan sumber ilmu pengatahuan ini pun akhirnya akan memperoleh produk pemikiran yang berbeda. Bila ilmu pengetahuan positivisme harus sistematis dan terukur berdasarkan empiris dan rasional, tetapi kebenaran intuisi “wahyu” tidak harus dibuktikan dengan realitas empiris. Kebenaran pengetahuan yang bersifat intuisi “boleh” dibuktikan dengan metodologi “iman”.
            Sebenarnya “Wahyu dan Intuisi” bisa dibuktikan dengan rasionalitas dan empiris namun karena keterbatasan akal pikiran manusia, kadang-kadang kebenaran itu muncul setelah melampaui ruang dan waktu. Karena orang agamawan melihat bahwa kebenaran itu ada yang bersifat fisik material dan psikis-spritual .Mungkin pada saat ini belum diketemukan sisi-sisi kebenaran dokrin agama karena ” akalnya belum taslim” namun pada saat yang akan datang dengan sarana ilmu pengetahuan, kebenaran itu terkorelasi dengan konsep-konsep relegius yang tertulis dalam kitab suci. Kitab suci yang bertahan dan keorsinilannya bisa dipertanggungjawabkan manakala bersesuaian dengan penemuan-penemuan ilmiyah oleh para saintifik modern.
            Bagi agamawan (semua agama samawi) ada tiga hal yang sangat fundamental dalam kehidupan beragama.Pertama siapakah yang menciptakan (percaya pada Tuhan). Kedua tujuan akhir kehidupan manusia kemana (orientasi akherat). Ketiga darimana mendapatkan informasi, mencari petunjuk tersebut tentang Tuhan ( percaya pada nabi dan rasul)
Masyarakat relegius memandang ilmu pengetahun dan agama merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Walaupun di sisi lain seolah dipaksakan sebagai dogma atau dokrin namun keyakinan membawa kaum beragama dianggap sebagai suatu kebenaran pengetahuan. Berbeda dengan atheis (materialis-sekuler) yang menggap pengetahuan ilmiyah merupakan suatu hal dan kepercayaan-kepercayaan agama merupakan hal lain. Orang atheis menyebutkan hal-hal yang bersifat supranatural akan tampak sebagai sebagai satu anakronisme .
            Cara memperoleh ilmu pengetahuan dalam prespektif agamawan yaitu berasal dari wahyu-intuisi melalui proses kerja panca indera dan akal, atau sebaliknya melalui penemuan-penemuan empiris-rasional lalu dipadukan, diklarifikasikan dengan wahyu sebagai sumber pengetahuan tertinggi. Kepercayaan kepada Tuhan merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi menjadi perantara dan merupakan dasar penyusunan pengetahuan ini. Sehingga tolak ukur dari pengetahuan dalam pandangan relegius adalah “believe or not believe”. Dengan demikian pandangan relegius dimulai dari rasa percaya kemudian melalui proses pengkajian keilmuan pada akhirnya akan menemukan pengetahuan yang semakin percaya atau semakin menurun. Berbeda dengan kajian ilmu sains yang berawal dari ketidakpercayaan, keraguan dan kekosongan setelah melalui proses kajian ilmiyah baru bisa diyakinkan atau tetap berada dalam pendirian semula.
            Pengetahuan (persepsi) itu secara garis besat terbagi menjadi dua yaitu “konsepsi” (at-tashawwur) atau pengetahuan yang sangat sederhana, pengetahuan yang tanpa penilaian, penangkapan sesuatu tanpa menilai obyek tersebut dan kedua “tashdiq” (assent atau pembenaran) yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian dan penjelasan).18 Bagi kaum teologis manusia memiliki dua sisi, pertama sisi material yang terjelma dalam komposisi organiknya. Kedua adalah sisi spritual atau nonmateri yang merupakan pentas aktivitas akal dan mental. Dua sisi ini saling mempengaruhi termasuk didalamnya juga mengenai persoalan pengetahaun. Materi dan spritual tidak ada jurang pemisah yang selama ini digaungkan oleh kaum meterialis tetapi keduanya memiliki hubungan. Meskipun nonmaterial, ia memiliki hubungan material.
            Sejarah pemikiran Islam mencatat terdapat tiga cara memperoleh ilmu pengetahuan, pertama metode bayani, yaitu cara memperoleh pengetahuan terhadap bathin teks baik Al-Qur’an maupun hadits. Metode ini lebih mementingkan otoritas teks sedangkan fungsi akal adalah sebagai pengawal terhadap pemahaman yang eksoterik.Kedua metode irfani, yaitu model berfikir berdasarkan pengalaman langsung terhadap realitas spiritual. Irfan diperoleh melalui penyingkapan sinar hakekat (Kasyaf) setelah melalui berbagai riyadloh yang dilakukan atas dasar cinta. Ketiga metode burhani, yaitu pendekatan yang lebih menekankan pada kekuatan rasio-akal dengan menggunakan dalil-dalil logika .
            Masyarakat relegius, agamawan atau mistikiawan memandang ilmu pengetahuan sebagai salah satu bidang kehidupan yang sangat fundamental di samping persoalan hubungan antara manusia dengan Tuhan (vertical). Oleh karena itu ilmu pengetahuan-science tidak bisa dipisahkan dari agama. Ilmu pengetahuan bersumber dari “Sang Causa Prima” demikian juga agama muaranya akan kepada “Sang Pencipta”atau akan menuju ma’rifatullah, pengetahuan hakiki tentang Tuhan.
            Pemisahan agama dengan ilmu pengatahuan menyebabkan ilmu dan teknologi kering akan nilai (value free). Sedangkan memisahkan agama dari ilmu pengetahuan akan menemukan agama sebatas coretan-coretan, teks-teks dan nash-nas yang tidak berdimensi “kemaslahatan”. Ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi nilai-nilai moral-agama melahirkan ilmu yang materialistic bahkan ateis. Ini terbukti dengan perkembangan science dan teknologi abad ini yang berdampak pada “dehumanisasi” menjauhkan manusia dari unsur kemanusiaannya, disharmoni, disfungsi, disalokasi, krisis global dan krisis multidimensional. Di sisi lain manakala kecenderungan manusia hanya pada norma agama tanpa mempedulikan saintifik maka akan terjerumus pada sikap “pantheisme”, dunia bagaikan selebar sajadah.
            Ilmu pengetahuan bersumber dari Tuhan (Theocentris), dikaji melalui panca indra dan akal. Fikir dan dzikir merupakan keniscayaan dalam memperoleh ilmu pengetahaun. Pengkajian ayat Tuhan baik kitab suci (sacral-transenden) maupun alam semesta (kauniyah-cosmos) dipadukan dengan metodologi yang rasionalis-empiris dan teologis-spritualis. Sehingga pencarian dan penemuannya lebih komprehensif dan menyentuh kebutuhan manusia yang material dan immaterial, terpenuhinya kebutuhan fisik-material dan psikis-spritual.

3.3 Definisi Kebudayaan
Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang. Menurut The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seniagama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia.
Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
3.4 Budaya dalam Perspektif Timur
Ajaran-ajaran Islam yang penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentunya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun bentuk kegiatan yang dilakukan manusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam ajaran Islam ini. Kebudayaan adalah salah satu dari sisi pentig dari kehidupan manusia, dan Islampun telah mengatur dan memberikan batasan-batasannya.
Melalui pendefinisian kebudayaan seperti itu, akan memungkinkan agama dapat dikaji, sebab agama bukanlah wujud dari gagasan atau produk pemikiran manusia atau kelakuan atau hasil kelakuan. Definisi kebudayaan sebagai kelakuan dan hasil kelakuan adalah produk kebudayaan. Agama bukan semata-mata produk kelakuan atau hasil kelakuan. Pengertian strukturalisme mengenai kebudayaan juga kurang tepat untuk melihat agama, sebab agama bukan hanya sebagai produk kognitif. Oleh karena itu, digunakanlah pandangan atau perspektif yang melihat agama sebagai system kebudayaan.
Menanggapi terhadap agama sebagai system kebudayaan, Suparlan menyatakan bahwa pada hakikatnya agama adalah sama dengan kebudayaan, yaitu suatu system symbol atau suatu system pengetahuan yang menciptakan, menggolong-golongkan, meramu atau merangkaikan dan menggunakan symbol untuk berkomunikasi dan untuk menghadapi lingkungannya. Namun demikian, ada perbedaannya bahwa symbol di dalam agama adalah symbol suci.
Symbol suci di dalam agama tersebut, biasanya mengejawantah di dalam tradisi masyarakat yang disebut sebagai tradisi keagamaan. Yang dimaksud dengan tradisi keagamaan ialah kumpulan atau hasil perkembangan sepanjang sejarah: ada unsure baru yang masuk, ada yang ditinggalkan juga. Hampir sama dengan pendapat Steenbrink yang mengedepankan dimensi historis maka menurut konsepsi Fazlurrahman bahwa tradisi islam bisa terdiri dari element yang tidak Islami dan tidak didapatkan dasarnya di dalam Al-Quran dan Sunnah. Jadi, perlu dibedakan antara islam itu sendiri dengan sejarah islam yang termuat di dalam teks Al-Quran dan Al-Hadith adalah ajaran yang merupakan sumber asasi, dan ketika sumber itu digunakan atau diamalkan disuatu wilayah sebagai pedoman kehidupan maka bersamaan dengan itu, tradisi setempat juga bisa saja mewarnai penafsiran masyarakat lokalnya. Karena penafsiran itu berasentuhan dengan teks suci, maka symbol yang diwujudkannya juga merupakan sesuatu yang sakral.
Setiap tradisi keagamaan memuat symbol-simbol suci yang dengannya orang melakukan serangkaian tindakan untuk menumpahkan keyakinan dalam bentuk ritual, penghormatan, dan penghambaan. Salah satu contoh ialah melakukan acara lingkaran hidup dan upacara intensifikasi, baik yang memiliki sumber asasi di dalam ajaran agama atau yang dianggap tidak memiliki sumber asasi didalam ajaran agama. Tradisi keagamaan yang bersumber dari ajaran agama disebut Islam Offisial atau Islam murni, sedangkan yang dianggap tidak memiliki sumber asasi di dalam ajaran agama disebut sebagai Islam Popular atau Islam Rakyat (Syam.2005:17)
Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara agama ( termasuk Islam ) dengan budaya, kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : mengapa manusia cenderung memelihara kebudayaan, dari manakah desakan yang menggerakkan manusia untuk berkarya, berpikir dan bertindak ? Apakah yang mendorong mereka untuk selalu merubah alam dan lingkungan ini menjadi lebih baik ?
Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya merupakan dinamik ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses realisasidiri dari roh ilahi. Sebaliknya sebagian ahli, seperti Pater Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan” menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama merupakan salah satu unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada.
Di sinilah, bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah laku keagamaan, masih menurut ahli antropogi, bukanlah diatur oleh ayat- ayat dari kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci tersebut.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang berbeda di dalam memandang hubungan antara agama dan kebudayaan. Kelompok pertama menganggap bahwa Agama merupakan sumber kebudayaaan atau dengan kata lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri. Pendapat ini diwakili oleh Hegel. Kelompok kedua, yang di wakili oleh Pater Jan Bakker, menganggap bahwa kebudayaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. Dan kelompok ketiga, yeng menganggap bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri.
Selain menciptakan manusia, Allah swt juga menciptakan makhluk yang bernama Malaikat, yang hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur cahaya. Dan juga menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya bisa berbuat jahat , karena diciptkan dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas, merupakan gabungan dari unsur dua makhluk tersebut.
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa manusia ini mempunyai dua pembisik ; pembisik dari malaikat , sebagi aplikasi dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, dan pembisik dari syetan, sebagai aplikasi dari unsur tanah. Kedua unsur yang terdapat dalam tubuh manusia tersebut, saling bertentangan dan tarik menarik. Ketika manusia melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlah yang menang, sebaliknya ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat dan membuat kerusakan di muka bumi ini, maka unsur syetanlah yang menang. Oleh karena itu, selain memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran, penglihatan dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusia mampu menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadat dan berbuat baik di muka bumi ini.
Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk selalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “ berbudaya “. Dan dalam satu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teori seperti ini, nampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas.
Islam, sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.



Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :
Pertama : Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam. Dalam kaidah fiqh disebutkan : “ al adatu muhakkamatun “ artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syareat, seperti ; kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itu syah-syah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo.
Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah harian yang menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil “ al adatu muhakkamatun “ karena nikah antar agama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.
Kedua : Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam , kemudian di “ rekonstruksi” sehingga menjadi Islami.Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk meronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “ Ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Ketiga: Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam. Seperti, budaya “ ngaben“ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar , karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja, untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka mempunyai budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan selatan ( Samudra Hindia ).
Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal dunia.


Ramli Ardi Yahya

Recidive (Pengulangan Tindak Pidana)



2.1  Pengertian Recidive
Yaitu apabila seorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delict yang berdiri sendiri. Recidive atau pengulangan merupakan suatu hal atau dasar yang memberatkan hukuman. Ini diatur dalam buku KUHP II pasal 486.Residive atau pengulangan terjadi apabila seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau “in kracht van gewijsde”, kemudian melakukan tindak pidana lagi. Perbedaannya dengan Concursus Realis ialah pada Residive sudah ada putusan Pengadilan berupa pemidanaan yang telah MKHT sedangkan pada Concursus Realis terdakwa melakukan beberapa perbuatan pidana dan antara perbuatan yang satu dengan yang lain belum ada putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
2.2 Teori Recidive
Teori Recidive ( pengulangan ) di bagi lagi menjadi 3 yaitu :
A.    Recidive Umum
Menurut teori recidive umum seseorang belum lewat 5 tahun dari ia selesai menjalani hukuman tetapi ia melakukan tindak pidana lagi (tindak pidana apa saja).

B.     Recidive Tengah
Teori recidive tengah membagi 3 kelompok tindak pidana seperti yang diatur dalam pasal 486, 487, 488 KUHP. Yaitu sebagai berikut :

1.      Tindak pidana yang mencari untung dengan tidak halal / perbuatan – perbuatan negative yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan tipu daya muslihat. Contoh: pencurian,penipuan, dan penggelapan (pasal 486).

2.      Perbuatan-perbuatan kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap jiwa manusia / badan manusia. Contoh: pembunuhan, penganiayaan,dsb. (pasal 487).

3.      Sejumlah kejahatan – kejahatan yang terdiri atas berbagai kejahatan yang pada hakikatnya sama sifatnya mengandung suatu penghinaan (pasal 488).

Jadi menurut recidive tengah yang melakukan tindak pidana pengulangannya itu dalam satu golongan, dan KUHP menganut recidive ini.

C. Recidive Khusus

Menurut teori recidive khusus ialah apabila ia keluar dari menjalani hukuman belum lewat dari 5 tahun ia melakukan tindak pidana lagi yang pasalnya sama.

2.3 Sistem Recidive
1. Sistem Residive Umum
Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana dan tidak ada daluwarsa dalam residivenya.
2. Sistem Residive Khusus
Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan pidana.Pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula.
Dalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak diatur secara umum dalam “Aturan Umum” Buku I, tetapi diatur secara khusus untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III.
Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan syarat tenggang waktu pengulangan yang tertentu.Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke dalam sistem Residive Khusus, artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan-pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu. Dalam Recidive khusus maka di bagi lagi ke dalam dua bagian yaitu:
A.    Recidive Kejahatan
Dengan dianutnya sistem Recidive khusus, maka recidive menurut KUHP adalah recidive “kejahatan-kejahatan tertentu”. Mengenai recidive kejahatan-kejahatan tertentu ini KUHP membedakan antara :
1.      Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis”,
2.      Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam “kelompok sejenis”.
Ad.1 : recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis”diatur secara tersebar dalam sebelas pasal-pasal tertentu dalam Buku II KUHPyaitu dalam pasal: 137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2), 208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2). Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi alasan pemberatan pidana
Persyaratan recidive disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan, yang pada umumnya disyaratkan sebagai berikut :
1.      Kejahatan yang harus diulangi harus sama atau sejenis dengan kejahatan yang terdahulu;
2.      Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi harus sudah ada keputusan hakim berupa pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
3.      Si pelaku melakukan kejahatan yang bersangkutan pada waktu menjalankan pencahariannya (khusus untuk pasal 216, 303 bis dan 393 syarat ini tidak ada)
4.      Pengulangannya dilakukan dalam tenggang waktu tertentu yang disebut dalam pasal-pasal terbseut, yaitu :
a. 2 tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321), atau
b. 5 tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 155, 157, 161, 163, dan 393).
Dengan adanya syarat keputusan hakim yang berupa pemidanaan dan mempunyai kekuatan tetap, maka tidak ada recidive dalam hal :
1.      Keputusan hakim tersebut tidak merupakan pemidanaan, misalnya keputusan yang berupa “pembebasan dari segala tuduhan” (vrisprajk) dan yang berupa “pelepasan dari segala tuntutan” (ontslag) berdasar Pasal 191 KUHAP.
2.      Keputusan hakim terbut masih dapat diubah dengan upaya-upaya hukum yang berlaku (misalnya dengan upaya banding atau kasasi);
3.      Keputusan hakim tersbut berupa penetapan (beschikking) misalnya :
·         Keputusan yang menyatakan tidak berwenangnya hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan,
·         Keputusan tentang tidak diterimanya tuntutan jaksa karena terdakwa tidak melakukan kejahatan.
·         Tidak diterimanya perkara karena penuntutannya sudah daluwarsa.
Pada syarat keempat diatas ditegaskan bahwa saat pengulangan dihitung sejak adanya putusan hakim yang berkekuatan tetap.Jadi tidak disyaratkan apakah jenis pidana yang dijatuhkan oleh hakim sebelumnya dan tidak pula disyaratkan apakah pidana yang dijatuhkan itu sudah dijalankan atau belum baik seluruhnya atau sebagian.
Mengenai pemberatan pidana dalam sistem recidive kejahatan yang sejenis ini berbeda-beda, yaitu :
1.      Dapat diberikan pidana tambahan berupa pelarangan atau pencabutan hak untuk menjalankan mata pencahariannya (untuk delik-delik yang pengulangannya dilakukan pada waktu menjalankan mata pencahariannya);
2.      Pidananya dapat ditambah sepertiga (khusus untuk delik dalam pasal 216); pasal 216 ayat 3 hanya menyebut “pidana” saja yang berarti ancaman pidana penjara atau denda yang disebut dalam pasal 216 ayat 1 dapat ditambah sepertiga.
3.      Pidana penjaranya dapat dilipatkan dua kali, yaitu khusus untuk pasal 393 dari 4 bulan 2 minggu menjadi 9 bulan penjara.
Ad.2 :Recidive terhadap kejahatan-kejahatn tertentu yang masukdalam satu “kelompok jenis” diatur dalam pasal 486, 487, 488KUHP
Adapun persayaratan recidive menurut ketentuan pasal-pasal tersebut sebagai berikut:
1. Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan yang pertama atau terdahulu.
Kelompok jenis kejahatan yang dimaksud ialah :
·         Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 486 yang pada umumnya kejahatan harta benda dan pemalsuan, misalnya: Pemalsuan mata uang (244-248), pemalsuan surat (263-264), pencurian (362, 363, 365), pemerasan (368), pengancaman (369), penggelapan (372, 374, 375) , penipuan (378), kejahatan jabatan (415, 417, 425, 432), penadahan (480, 481)
·         Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 487 pada umumnya mengenai kejahatan terhadap orang.
·         Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 488 pada umumnya mengenai kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan penerbitan/percetakan.
Dengan adanya kelompok jenis kejatan-kejahatan seperti dikemukakan diatas, maka tidak dapat dikatakan ada recidive apabila seseorang yang melakukan pencurian biasa (362) kemudian melakukan delik lagi yang berupa penganiayaan (351) ataupun penghinaan (310) karena masing-masing delik itu masuk dalam kelompok jenis kejahatan yang berbeda-beda.
Pada umumnya kejahatan-kejahatan ringan tidak dimasukkan sebagai alasan adanya recidive, misalnyya pencurian ringan (364) penggelapan ringan (373), penipuan ringan (379), dan penadahan ringan (482) tidak dimasukkan dalam kelompok pasal 486 KUHP.Begitupula pula penganiayaan ringan ringan (352) tidak dimasukkan pula dalam kelompok 487 KUHP.Tidak dimasukkannya kejahatan ringan dalam KUHP sebenarnya dapat dimaklumi, namun anehnya didalam kelompok kejahatan pasal 488 KUHP, penghinaan ringan (315) dimasukkan.
Menarik pula untuk diperhatikan bahwa didalam Pasal 487 (kelompok jenis kejahatan pribadi orang) tidak disebutkan delik maker dalam Pasal 104 dan semua delik kesusilaan (pasal 281-303) misalnya perkosaan (285), perdagangan wanita (297), pengguguran (299), dan perjudian (303).
Dengan meninjau pasal-pasal yang disebutkan diatas ternyata bahwa dalam sistem, KUHP tidak semua kejahatan berat dapat dijadikan sebagai alasan recidive/pengulangan (alasan pemberatan pidana)
2. Antara kejahatan yang kemudian (yang diulangi) dengan kejahatan yang pertama atau terdahulu, harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang berkekuatan tetap. Dengan adanya syarat kedua ini, maka tidaklah dapat dikatakan recidive dalam hal putusan hakim tidak berupa pemidanaan atau belum mempunyai kekuatan hukum tetap atau yang berupa beschikking.
3. Pidana yang dijatuhkan hakim terdahulu harus berupa pidana penjara. Dengan adanya sayarat ini maka tidak ada alas an recidive untuk pemberatan pidana apabila pidana yang pernah dijatuhkan terdahulu berupa pidana kurungan atau pidana denda.
4. Ketika melakukan pengulangan, tenggang waktunya adalah :
1.      Belum lewat 5 tahun :
a.       Sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan terdahulu, atau
b.      Sejak pidana penjara tersebut sama sekali dihapuskan

2.      Belum lewat tenggang waktu daluarasa kewenangan menjalankan pidana penjara yang terdahulu. Misalnya : A pada tahun 1992 dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan (338) dijhatuhi pidana penjara 8 tahun. Ada beberapa kemungkinan tenggang waktu pengulangan untuk kejahatan yang berikutnya antara lain :

a.       Apabila A menjalani seluruhnya, maka tenggang waktu pengulangannya adalah sebelum lewat tahun 2005 (perhitungan : 1992 + 8 + 5).
b.      Apabila A setelah menjalani sebagian, misalnya 2 tahun, mendapat grasi atau pelepasan bersyarat pada tahun 1994, maka tenggang waktu penggulangannya adalah sebelum lewat 1999 (perhitungan : 1992 + 2 + 5).
c.       Apabila A setelah menjalani sebagian misalnya 2 tahun pada tahun 1994 melarikan diri, maka tenggang waktu penggulanganya adalah sebelum lewat tenggang waktu daluarsa kewenangan menjalankan pidana penjara yang terdahulu. Berdasarkan pasal 85 (2) KUHP tenggang waktu daluarsanya dihitung sejak terdakwa melarikan diri. Jadi tenggang waktu recidivenya adalah sebelum lewat tahun 2010 yaitu dihitung mulai tahun 1994 ditambah 16 tahun (tenggang waktu daluarsa kewenangan menjalankan pidana untuk pasal 338 lihat pasal 84 KUHP)
Dari contoh ini dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tenggang waktu recidive dapat lebih dari 5 tahun.
B.     Recidive Pelanggaran
Dengan dianutnya sistem recidive khusus, maka recidive pelanggaran menurut KUHP juga merupakan recidive terhadap pelanggaran-pelanggaran tertentu saja yang disebut dalam Buku III KUHP.
Ada 14 jenis pelanggaran didalam Buku III KUHP yang apabila diulangi dapat merupakan alasan untuk adanya pemberatan pidana, yaitu pelanggaran-pelanggaran terhadap : Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP.
Adapun persyaratan recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan, yang pada umumnya sebagai berikut :
1.  Pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis dengan pelanggaran yang terdahulu, jadi baru dapat dikatakan recidive pelanggaran apabila yang bersangkutan melanggar pasal yang sama.
2.  Harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap untuk pelanggaran yang terdahulu;
3.  Tenggang waktu pengulangannya belum lewat 1 atau 2 tahun sejak adanya putusan pemiudaan yang berkekuatan tetap.
Berdasarkan syarat ketiga ini maka perhitungan tenggang waktu pengulangannya tidak tidak tergantung pada jenis pidana yang pernah dijatuhkan terdahulu dan apakah pidana tersebut sudah dijalankan atau belum (seluruh atau sebagian).
C.     Tujuan Penghukuman
Apabila berbicara mengenai penghukuman, maka pertanyaan yang kerapkali muncul adalah apakah tujuan hukuman itu dan siapakah yang berhak menjatuhkan \ hukuman.Pada umumnya telah disepakati bahwa yang berhak menghukum (hakpuniendi) adalah di dalam tangan negara (pemerintah). Pemerintah dalam menjatuhkan hukuman selalu dihadapkan pada suatu paradoksalitas, yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut :
Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati.Tapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan karena menjatuhkan hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara sendiri diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan dipihak lain pemerintah negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.
Orang berusaha untuk menunjukkan alasan apakah yang dapat dipakai untuk membenarkan penghukuman oleh karena menghukum itu dilakukan terhadap manusia-manusia yang juga mempunyai hak hidup, hak kemerdekaan bahkan mempunyai hak pembelaan dari negara itu juga yang menghukumnya. Maka oleh karena itu muncullah berbagai teori hukuman, yang pada garis besarnya dapat dibagai atas tiga golongan :
a. teori absolut atau teori pembalasan
b. teori relatif atau teori tujuan
c. teori gabungan
a. Teori absolut
Tokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah Kant dan Hegel.Mereka beranggapan bahwa hukuman itu adalah suatu konsekwensi daripada dilakukannya suatu kejahatan.Sebab melakukan kejahatan, maka akibatnya harus dihukum.Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan.Semua perbuatan yang temyata berlawanan dengan keadilan, harus menerima pembalasan.Apakah hukuman itu bermanfaat bagi masyarakat, bukanlah hal yang menjadi pertimbangan, tapi hukuman harus dijatuhkan. Untuk menghindari hukuman ganas, maka Leo Polak menentukan tiga syarat yang harus dipenuhi dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang
bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif
2. Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi
3.  Beratnya hukuman harus seimbang dengan beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dihukum secara tidak adil.
Gerson W. Bawengan dalam bukunya Pengantar Psychologi Kriminil menyatakan bahwa ia menolak teori absolut atau teori pembalasan itu yang dikemukakan dalam bentuk apapun, berdasarkan tiga unsur, yaitu :
1. Tak ada yang absolut didunia ini, kecuali Tuhan Yang Maha Esa.
2.  Pembalasan adalah realisasi daripada emosi, memberikan pemuasan emosionil kepada pemegang kekuasaan dan merangsang ke arah sifat-sifat 'sadistis', sentimentil. Oleh karena itu kepada para penonjol teori pembalasan itu, dapatlah diterka bahwa mereka memiliki sifat-sifat sadistis.Dan kerena itu pula ajaran mereka lebih condong untuk dinamai teori sadisme.
3. Tujuan hukuman dalam teori itu adalah hukuman itu sendiri. Dengan dernikian teori itu mengalami suatu jalan buntu, oleh karena tujuannya hanya sampai pada hukuman itu sendiri.adalah suatu tujuan yang tak bertujuan, sebab dipengaruhi dan disertai nafsu membalas.

b. Teori relatif atau teori tujuan
Para penganjur teori relatif tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa hukuman itu sendirilah yanag menjadi tujuan penghukuman, melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang lain daripada penghukuman itu sendiri. Hukuman, dengan demikian mempunyai tujuan, yaitu untuk melindungi ketertiban.Para pengajar teori relatif itu menunjukkan tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum.Menghindarkan, agar umumnya orang tidak melakukan pelanggaran bahkan ditujukan pula bagi terhukum agar tidak mengulangi pelanggaran.
Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat prevensi umum dan sifat prevensi khusus. Dengan prevensi umum, orang akan menahan diri untuk tidak melakukan kejahatan. Dan dengan prevensi khusus para penganjurnya menitikberatkan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang yang telah dijatuhi hukuman, tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selanjutnyaa bagi mereka yang hendak melakukan peianggaran akan mengurungkan maksudnya sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan.
c. Teori Gabungan
Menurut teori gabungan hukuman hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada saiah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang telah ada.
D.    Recidive dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

Recidive yang diberlakukan bagi tindak pidana psokotropika dalam UU 5tahun 1997 adalah dalam tenggang waktu 2 tahun dan dengan pemberatanancaman pidana pokok ditambah 1/3. Sedangkan recidive yang diberlakukanbagi tindak pidana narkotika dalam UU 22 tahun 1997 adalah dalam tenggang5 tahun dan dengan pemberatan ancaman pidana pokok ditambah 1/3kecuali untuk pidana mati/seumur hidup/atau pidana penjara 20 tahun.
Dalam RUU KUHP tahun 2004 dijelaskan bahwa secara umum tenggangwaktu pengulangan tindak pidana adalah 5 tahun (Pasal 23) sejak:
a. menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan;
b. pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
c. kewajiab menjalani pidan pokok yang dijatuhkan beum kedaluwarsa.
Pemberatan pidana yang diterapkan adalah penambahan 1/3 dari maksimumancaman pidana (Pasal 132).
Beberapa pasal yang mengatur secara khusus pengulangan tindak pidanaadalah Pasal 263, 271, 285, 287, 291, 339, dan 401. Dalam masing-masing
aturan khusus tersebut, tenggang waktu recidivenya adalah 2 tahun dandengan pemberatan pidana berupa pencabutan hak menjalankanpencahariannya.

Ramli Ardi Yahya