2.1 Pengertian Recidive
Yaitu apabila seorang melakukan beberapa perbuatan yang
merupakan beberapa delict yang berdiri sendiri. Recidive atau pengulangan
merupakan suatu hal atau dasar yang memberatkan hukuman. Ini diatur dalam buku
KUHP II pasal 486.Residive atau pengulangan terjadi
apabila seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana
dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau “in kracht
van gewijsde”, kemudian melakukan tindak pidana lagi. Perbedaannya dengan
Concursus Realis ialah pada Residive sudah ada putusan Pengadilan berupa
pemidanaan yang telah MKHT sedangkan pada Concursus Realis terdakwa melakukan
beberapa perbuatan pidana dan antara perbuatan yang satu dengan yang lain belum ada
putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
2.2
Teori Recidive
Teori Recidive (
pengulangan ) di bagi lagi menjadi 3 yaitu :
A.
Recidive Umum
Menurut teori recidive umum
seseorang belum lewat 5 tahun dari ia selesai menjalani hukuman tetapi ia
melakukan tindak pidana lagi (tindak pidana apa saja).
B.
Recidive
Tengah
Teori recidive tengah membagi 3
kelompok tindak pidana seperti yang diatur dalam pasal 486, 487, 488 KUHP.
Yaitu sebagai berikut :
1. Tindak pidana yang mencari untung
dengan tidak halal / perbuatan – perbuatan negative yang dilakukan oleh
seseorang dengan menggunakan tipu daya muslihat. Contoh: pencurian,penipuan,
dan penggelapan (pasal 486).
2. Perbuatan-perbuatan kekerasan yang
dilakukan seseorang terhadap jiwa manusia / badan manusia. Contoh: pembunuhan,
penganiayaan,dsb. (pasal 487).
3. Sejumlah kejahatan – kejahatan yang
terdiri atas berbagai kejahatan yang pada hakikatnya sama sifatnya mengandung
suatu penghinaan (pasal 488).
Jadi
menurut recidive tengah yang melakukan tindak pidana pengulangannya itu dalam
satu golongan, dan KUHP menganut recidive ini.
C. Recidive Khusus
Menurut
teori recidive khusus ialah apabila ia keluar dari menjalani hukuman belum
lewat dari 5 tahun ia melakukan tindak pidana lagi yang pasalnya sama.
2.3 Sistem Recidive
1. Sistem Residive Umum
Menurut
sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan
dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana
yang akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana dan tidak ada
daluwarsa dalam residivenya.
2. Sistem Residive Khusus
Menurut sistem
ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan pidana.Pemberatan
hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak
pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula.
Dalam
KUHP ketentuan mengenai Residive tidak diatur secara umum dalam “Aturan Umum”
Buku I, tetapi diatur secara khusus untuk kelompok tindak pidana tertentu baik
berupa kejahatan dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III.
Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan syarat
tenggang waktu pengulangan yang tertentu.Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke
dalam sistem Residive Khusus, artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada
pengulangan-pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran)
tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu. Dalam Recidive
khusus maka di bagi lagi ke dalam dua bagian yaitu:
A.
Recidive Kejahatan
Dengan dianutnya
sistem Recidive khusus, maka recidive menurut KUHP adalah recidive
“kejahatan-kejahatan tertentu”. Mengenai recidive kejahatan-kejahatan tertentu
ini KUHP membedakan antara :
1. Recidive
terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis”,
2. Recidive
terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam “kelompok sejenis”.
Ad.1
: recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis”diatur
secara tersebar dalam sebelas pasal-pasal tertentu dalam Buku II KUHPyaitu
dalam pasal: 137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2), 208(2), 216(3), 321(2),
393(2) dan 303 bis (2). Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada
pengulangan menjadi alasan pemberatan pidana
Persyaratan
recidive disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan, yang pada
umumnya disyaratkan sebagai berikut :
1. Kejahatan
yang harus diulangi harus sama atau sejenis dengan kejahatan yang terdahulu;
2. Antara
kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi harus sudah ada keputusan
hakim berupa pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
3. Si
pelaku melakukan kejahatan yang bersangkutan pada waktu menjalankan
pencahariannya (khusus untuk pasal 216, 303 bis dan 393 syarat ini tidak ada)
4. Pengulangannya
dilakukan dalam tenggang waktu tertentu yang disebut dalam pasal-pasal
terbseut, yaitu :
a. 2 tahun sejak
adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 137, 144, 208,
216, 303 bis dan 321), atau
b. 5 tahun sejak
adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 155, 157, 161,
163, dan 393).
Dengan
adanya syarat keputusan hakim yang berupa pemidanaan dan mempunyai kekuatan
tetap, maka tidak ada recidive dalam hal :
1. Keputusan
hakim tersebut tidak merupakan pemidanaan, misalnya keputusan yang berupa
“pembebasan dari segala tuduhan” (vrisprajk) dan yang berupa “pelepasan dari
segala tuntutan” (ontslag) berdasar Pasal 191 KUHAP.
2. Keputusan
hakim terbut masih dapat diubah dengan upaya-upaya hukum yang berlaku (misalnya
dengan upaya banding atau kasasi);
3. Keputusan
hakim tersbut berupa penetapan (beschikking) misalnya :
·
Keputusan yang menyatakan tidak
berwenangnya hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan,
·
Keputusan tentang tidak diterimanya
tuntutan jaksa karena terdakwa tidak melakukan kejahatan.
·
Tidak diterimanya perkara karena
penuntutannya sudah daluwarsa.
Pada
syarat keempat diatas ditegaskan bahwa saat pengulangan dihitung sejak adanya
putusan hakim yang berkekuatan tetap.Jadi tidak disyaratkan apakah jenis pidana
yang dijatuhkan oleh hakim sebelumnya dan tidak pula disyaratkan apakah pidana
yang dijatuhkan itu sudah dijalankan atau belum baik seluruhnya atau sebagian.
Mengenai
pemberatan pidana dalam sistem recidive kejahatan yang sejenis ini
berbeda-beda, yaitu :
1. Dapat
diberikan pidana tambahan berupa pelarangan atau pencabutan hak untuk
menjalankan mata pencahariannya (untuk delik-delik yang pengulangannya
dilakukan pada waktu menjalankan mata pencahariannya);
2. Pidananya
dapat ditambah sepertiga (khusus untuk delik dalam pasal 216); pasal 216 ayat 3
hanya menyebut “pidana” saja yang berarti ancaman pidana penjara atau denda
yang disebut dalam pasal 216 ayat 1 dapat ditambah sepertiga.
3. Pidana
penjaranya dapat dilipatkan dua kali, yaitu khusus untuk pasal 393 dari 4 bulan
2 minggu menjadi 9 bulan penjara.
Ad.2
:Recidive terhadap kejahatan-kejahatn tertentu yang masukdalam satu
“kelompok jenis” diatur dalam pasal 486, 487, 488KUHP
Adapun
persayaratan recidive menurut ketentuan pasal-pasal tersebut sebagai berikut:
1.
Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan
kejahatan yang pertama atau terdahulu.
Kelompok
jenis kejahatan yang dimaksud ialah :
·
Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 486
yang pada umumnya kejahatan harta benda dan pemalsuan, misalnya: Pemalsuan mata
uang (244-248), pemalsuan surat (263-264), pencurian (362, 363, 365), pemerasan
(368), pengancaman (369), penggelapan (372, 374, 375) , penipuan (378),
kejahatan jabatan (415, 417, 425, 432), penadahan (480, 481)
·
Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 487
pada umumnya mengenai kejahatan terhadap orang.
·
Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 488
pada umumnya mengenai kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan
penerbitan/percetakan.
Dengan
adanya kelompok jenis kejatan-kejahatan seperti dikemukakan diatas, maka tidak
dapat dikatakan ada recidive apabila seseorang yang melakukan pencurian biasa
(362) kemudian melakukan delik lagi yang berupa penganiayaan (351) ataupun
penghinaan (310) karena masing-masing delik itu masuk dalam kelompok jenis
kejahatan yang berbeda-beda.
Pada
umumnya kejahatan-kejahatan ringan tidak dimasukkan sebagai alasan adanya
recidive, misalnyya pencurian ringan (364) penggelapan ringan (373), penipuan
ringan (379), dan penadahan ringan (482) tidak dimasukkan dalam kelompok pasal
486 KUHP.Begitupula pula penganiayaan ringan ringan (352) tidak dimasukkan pula
dalam kelompok 487 KUHP.Tidak dimasukkannya kejahatan ringan dalam KUHP
sebenarnya dapat dimaklumi, namun anehnya didalam kelompok kejahatan pasal 488
KUHP, penghinaan ringan (315) dimasukkan.
Menarik
pula untuk diperhatikan bahwa didalam Pasal 487 (kelompok jenis kejahatan
pribadi orang) tidak disebutkan delik maker dalam Pasal 104 dan semua delik
kesusilaan (pasal 281-303) misalnya perkosaan (285), perdagangan wanita (297),
pengguguran (299), dan perjudian (303).
Dengan
meninjau pasal-pasal yang disebutkan diatas ternyata bahwa dalam sistem, KUHP
tidak semua kejahatan berat dapat dijadikan sebagai alasan recidive/pengulangan
(alasan pemberatan pidana)
2. Antara
kejahatan yang kemudian (yang diulangi) dengan kejahatan yang pertama atau
terdahulu, harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang
berkekuatan tetap. Dengan adanya syarat kedua ini, maka tidaklah dapat
dikatakan recidive dalam hal putusan hakim tidak berupa pemidanaan atau belum
mempunyai kekuatan hukum tetap atau yang berupa beschikking.
3. Pidana yang
dijatuhkan hakim terdahulu harus berupa pidana penjara. Dengan adanya sayarat
ini maka tidak ada alas an recidive untuk pemberatan pidana apabila pidana yang
pernah dijatuhkan terdahulu berupa pidana kurungan atau pidana denda.
4. Ketika
melakukan pengulangan, tenggang waktunya adalah :
1. Belum
lewat 5 tahun :
a. Sejak
menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan terdahulu,
atau
b. Sejak
pidana penjara tersebut sama sekali dihapuskan
2. Belum
lewat tenggang waktu daluarasa kewenangan menjalankan pidana penjara yang
terdahulu. Misalnya : A pada tahun 1992 dinyatakan bersalah melakukan
pembunuhan (338) dijhatuhi pidana penjara 8 tahun. Ada beberapa kemungkinan
tenggang waktu pengulangan untuk kejahatan yang berikutnya antara lain :
a. Apabila
A menjalani seluruhnya, maka tenggang waktu pengulangannya adalah sebelum lewat
tahun 2005 (perhitungan : 1992 + 8 + 5).
b.
Apabila A setelah menjalani sebagian,
misalnya 2 tahun, mendapat grasi atau pelepasan bersyarat pada tahun 1994, maka
tenggang waktu penggulangannya adalah sebelum lewat 1999 (perhitungan : 1992 +
2 + 5).
c.
Apabila A setelah menjalani sebagian
misalnya 2 tahun pada tahun 1994 melarikan diri, maka tenggang waktu
penggulanganya adalah sebelum lewat tenggang waktu daluarsa kewenangan
menjalankan pidana penjara yang terdahulu. Berdasarkan pasal 85 (2) KUHP
tenggang waktu daluarsanya dihitung sejak terdakwa melarikan diri. Jadi tenggang
waktu recidivenya adalah sebelum lewat tahun 2010 yaitu dihitung mulai tahun
1994 ditambah 16 tahun (tenggang waktu daluarsa kewenangan menjalankan pidana
untuk pasal 338 lihat pasal 84 KUHP)
Dari
contoh ini dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tenggang waktu recidive dapat
lebih dari 5 tahun.
B.
Recidive
Pelanggaran
Dengan
dianutnya sistem recidive khusus, maka recidive pelanggaran menurut KUHP juga
merupakan recidive terhadap pelanggaran-pelanggaran tertentu saja yang disebut
dalam Buku III KUHP.
Ada
14 jenis pelanggaran didalam Buku III KUHP yang apabila diulangi dapat
merupakan alasan untuk adanya pemberatan pidana, yaitu pelanggaran-pelanggaran
terhadap : Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544,
545, 549 KUHP.
Adapun
persyaratan recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing pasal yang
bersangkutan, yang pada umumnya sebagai berikut :
1. Pelanggaran
yang diulangi harus sama atau sejenis dengan pelanggaran yang terdahulu, jadi
baru dapat dikatakan recidive pelanggaran apabila yang bersangkutan melanggar
pasal yang sama.
2. Harus
sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap
untuk pelanggaran yang terdahulu;
3. Tenggang
waktu pengulangannya belum lewat 1 atau 2 tahun sejak adanya putusan pemiudaan
yang berkekuatan tetap.
Berdasarkan
syarat ketiga ini maka perhitungan tenggang waktu pengulangannya tidak tidak
tergantung pada jenis pidana yang pernah dijatuhkan terdahulu dan apakah pidana
tersebut sudah dijalankan atau belum (seluruh atau sebagian).
C. Tujuan Penghukuman
Apabila berbicara mengenai penghukuman, maka pertanyaan yang kerapkali
muncul adalah apakah tujuan hukuman itu dan siapakah yang berhak menjatuhkan \
hukuman.Pada umumnya telah disepakati bahwa yang berhak menghukum (hakpuniendi)
adalah di dalam tangan negara (pemerintah). Pemerintah dalam menjatuhkan
hukuman selalu dihadapkan pada suatu paradoksalitas, yang oleh Hazewinkel-Suringa
dilukiskan sebagai berikut :
Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi
manusia tidak disinggung dan tetap dihormati.Tapi kadang-kadang sebaliknya,
pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan karena menjatuhkan hukuman itu maka
pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara sendiri diserang, misalnya yang
bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan
melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan dipihak
lain pemerintah negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan
dibela itu.
Orang berusaha untuk menunjukkan alasan apakah yang dapat dipakai untuk
membenarkan penghukuman oleh karena menghukum itu dilakukan terhadap
manusia-manusia yang juga mempunyai hak hidup, hak kemerdekaan bahkan mempunyai
hak pembelaan dari negara itu juga yang menghukumnya. Maka oleh karena itu
muncullah berbagai teori hukuman, yang pada garis besarnya dapat dibagai atas
tiga golongan :
a. teori absolut atau teori pembalasan
b. teori relatif atau teori tujuan
c. teori gabungan
a. Teori absolut
Tokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara
lain adalah Kant dan Hegel.Mereka beranggapan bahwa hukuman itu
adalah suatu konsekwensi daripada dilakukannya suatu kejahatan.Sebab melakukan
kejahatan, maka akibatnya harus dihukum.Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan
kejahatan.Semua perbuatan yang temyata berlawanan dengan keadilan, harus
menerima pembalasan.Apakah hukuman itu bermanfaat bagi masyarakat, bukanlah hal
yang menjadi pertimbangan, tapi hukuman harus dijatuhkan. Untuk menghindari
hukuman ganas, maka Leo Polak menentukan tiga syarat yang harus dipenuhi
dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang
bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata
hukum obyektif
2. Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang
sudah terjadi. Hukuman tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi
3. Beratnya hukuman harus seimbang dengan
beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dihukum secara tidak adil.
Gerson W. Bawengan dalam bukunya Pengantar Psychologi Kriminil
menyatakan bahwa ia menolak teori absolut atau teori pembalasan itu yang
dikemukakan dalam bentuk apapun, berdasarkan tiga unsur, yaitu :
1. Tak ada yang absolut didunia ini, kecuali Tuhan Yang Maha Esa.
2. Pembalasan adalah realisasi daripada emosi,
memberikan pemuasan emosionil kepada pemegang kekuasaan dan merangsang ke arah
sifat-sifat 'sadistis', sentimentil. Oleh karena itu kepada para penonjol teori
pembalasan itu, dapatlah diterka bahwa mereka memiliki sifat-sifat sadistis.Dan
kerena itu pula ajaran mereka lebih condong untuk dinamai teori sadisme.
3. Tujuan hukuman dalam teori itu adalah
hukuman itu sendiri. Dengan dernikian teori itu mengalami suatu jalan buntu,
oleh karena tujuannya hanya sampai pada hukuman itu sendiri.adalah suatu tujuan
yang tak bertujuan, sebab dipengaruhi dan disertai nafsu membalas.
b. Teori relatif atau teori tujuan
Para penganjur teori relatif tidak melihat hukuman itu sebagai
pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa hukuman itu sendirilah yanag
menjadi tujuan penghukuman, melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk
mencapai tujuan yang lain daripada penghukuman itu sendiri. Hukuman, dengan
demikian mempunyai tujuan, yaitu untuk melindungi ketertiban.Para pengajar
teori relatif itu menunjukkan tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah
terjadinya pelanggaran hukum.Menghindarkan, agar umumnya orang tidak melakukan
pelanggaran bahkan ditujukan pula bagi terhukum agar tidak mengulangi
pelanggaran.
Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat
prevensi umum dan sifat prevensi khusus. Dengan prevensi umum, orang akan
menahan diri untuk tidak melakukan kejahatan. Dan dengan prevensi khusus para
penganjurnya menitikberatkan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang
yang telah dijatuhi hukuman, tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selanjutnyaa
bagi mereka yang hendak melakukan peianggaran akan mengurungkan maksudnya
sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan.
c. Teori Gabungan
Menurut teori gabungan hukuman hendaknya didasarkan atas tujuan
pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara
kombinasi dengan menitikberatkan pada saiah satu unsurnya tanpa menghilangkan
unsur yang lain maupun pada semua unsur yang telah ada.
D.
Recidive dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia
Recidive yang diberlakukan bagi tindak pidana
psokotropika dalam UU 5tahun 1997 adalah dalam tenggang waktu 2 tahun dan
dengan pemberatanancaman pidana pokok ditambah 1/3. Sedangkan recidive yang diberlakukanbagi
tindak pidana narkotika dalam UU 22 tahun 1997 adalah dalam tenggang5 tahun dan
dengan pemberatan ancaman pidana pokok ditambah 1/3kecuali untuk pidana
mati/seumur hidup/atau pidana penjara 20 tahun.
Dalam
RUU KUHP tahun 2004 dijelaskan bahwa secara umum tenggangwaktu
pengulangan tindak pidana adalah 5 tahun (Pasal 23) sejak:
a.
menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan;
b.
pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
c.
kewajiab menjalani pidan pokok yang dijatuhkan beum kedaluwarsa.
Pemberatan
pidana yang diterapkan adalah penambahan 1/3 dari maksimumancaman pidana
(Pasal 132).
Beberapa
pasal yang mengatur secara khusus pengulangan tindak pidanaadalah Pasal
263, 271, 285, 287, 291, 339, dan 401. Dalam masing-masing
aturan
khusus tersebut, tenggang waktu recidivenya adalah 2 tahun dandengan
pemberatan pidana berupa pencabutan hak menjalankanpencahariannya.
Ramli Ardi Yahya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar