Pelajar Jaya ! Indonesia Jaya!

Pelajar Jaya ! Indonesia Jaya!

Selasa, 11 November 2014

Recidive (Pengulangan Tindak Pidana)



2.1  Pengertian Recidive
Yaitu apabila seorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delict yang berdiri sendiri. Recidive atau pengulangan merupakan suatu hal atau dasar yang memberatkan hukuman. Ini diatur dalam buku KUHP II pasal 486.Residive atau pengulangan terjadi apabila seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau “in kracht van gewijsde”, kemudian melakukan tindak pidana lagi. Perbedaannya dengan Concursus Realis ialah pada Residive sudah ada putusan Pengadilan berupa pemidanaan yang telah MKHT sedangkan pada Concursus Realis terdakwa melakukan beberapa perbuatan pidana dan antara perbuatan yang satu dengan yang lain belum ada putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
2.2 Teori Recidive
Teori Recidive ( pengulangan ) di bagi lagi menjadi 3 yaitu :
A.    Recidive Umum
Menurut teori recidive umum seseorang belum lewat 5 tahun dari ia selesai menjalani hukuman tetapi ia melakukan tindak pidana lagi (tindak pidana apa saja).

B.     Recidive Tengah
Teori recidive tengah membagi 3 kelompok tindak pidana seperti yang diatur dalam pasal 486, 487, 488 KUHP. Yaitu sebagai berikut :

1.      Tindak pidana yang mencari untung dengan tidak halal / perbuatan – perbuatan negative yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan tipu daya muslihat. Contoh: pencurian,penipuan, dan penggelapan (pasal 486).

2.      Perbuatan-perbuatan kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap jiwa manusia / badan manusia. Contoh: pembunuhan, penganiayaan,dsb. (pasal 487).

3.      Sejumlah kejahatan – kejahatan yang terdiri atas berbagai kejahatan yang pada hakikatnya sama sifatnya mengandung suatu penghinaan (pasal 488).

Jadi menurut recidive tengah yang melakukan tindak pidana pengulangannya itu dalam satu golongan, dan KUHP menganut recidive ini.

C. Recidive Khusus

Menurut teori recidive khusus ialah apabila ia keluar dari menjalani hukuman belum lewat dari 5 tahun ia melakukan tindak pidana lagi yang pasalnya sama.

2.3 Sistem Recidive
1. Sistem Residive Umum
Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana dan tidak ada daluwarsa dalam residivenya.
2. Sistem Residive Khusus
Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan pidana.Pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula.
Dalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak diatur secara umum dalam “Aturan Umum” Buku I, tetapi diatur secara khusus untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III.
Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan syarat tenggang waktu pengulangan yang tertentu.Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke dalam sistem Residive Khusus, artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan-pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu. Dalam Recidive khusus maka di bagi lagi ke dalam dua bagian yaitu:
A.    Recidive Kejahatan
Dengan dianutnya sistem Recidive khusus, maka recidive menurut KUHP adalah recidive “kejahatan-kejahatan tertentu”. Mengenai recidive kejahatan-kejahatan tertentu ini KUHP membedakan antara :
1.      Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis”,
2.      Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam “kelompok sejenis”.
Ad.1 : recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis”diatur secara tersebar dalam sebelas pasal-pasal tertentu dalam Buku II KUHPyaitu dalam pasal: 137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2), 208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2). Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi alasan pemberatan pidana
Persyaratan recidive disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan, yang pada umumnya disyaratkan sebagai berikut :
1.      Kejahatan yang harus diulangi harus sama atau sejenis dengan kejahatan yang terdahulu;
2.      Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi harus sudah ada keputusan hakim berupa pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
3.      Si pelaku melakukan kejahatan yang bersangkutan pada waktu menjalankan pencahariannya (khusus untuk pasal 216, 303 bis dan 393 syarat ini tidak ada)
4.      Pengulangannya dilakukan dalam tenggang waktu tertentu yang disebut dalam pasal-pasal terbseut, yaitu :
a. 2 tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321), atau
b. 5 tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 155, 157, 161, 163, dan 393).
Dengan adanya syarat keputusan hakim yang berupa pemidanaan dan mempunyai kekuatan tetap, maka tidak ada recidive dalam hal :
1.      Keputusan hakim tersebut tidak merupakan pemidanaan, misalnya keputusan yang berupa “pembebasan dari segala tuduhan” (vrisprajk) dan yang berupa “pelepasan dari segala tuntutan” (ontslag) berdasar Pasal 191 KUHAP.
2.      Keputusan hakim terbut masih dapat diubah dengan upaya-upaya hukum yang berlaku (misalnya dengan upaya banding atau kasasi);
3.      Keputusan hakim tersbut berupa penetapan (beschikking) misalnya :
·         Keputusan yang menyatakan tidak berwenangnya hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan,
·         Keputusan tentang tidak diterimanya tuntutan jaksa karena terdakwa tidak melakukan kejahatan.
·         Tidak diterimanya perkara karena penuntutannya sudah daluwarsa.
Pada syarat keempat diatas ditegaskan bahwa saat pengulangan dihitung sejak adanya putusan hakim yang berkekuatan tetap.Jadi tidak disyaratkan apakah jenis pidana yang dijatuhkan oleh hakim sebelumnya dan tidak pula disyaratkan apakah pidana yang dijatuhkan itu sudah dijalankan atau belum baik seluruhnya atau sebagian.
Mengenai pemberatan pidana dalam sistem recidive kejahatan yang sejenis ini berbeda-beda, yaitu :
1.      Dapat diberikan pidana tambahan berupa pelarangan atau pencabutan hak untuk menjalankan mata pencahariannya (untuk delik-delik yang pengulangannya dilakukan pada waktu menjalankan mata pencahariannya);
2.      Pidananya dapat ditambah sepertiga (khusus untuk delik dalam pasal 216); pasal 216 ayat 3 hanya menyebut “pidana” saja yang berarti ancaman pidana penjara atau denda yang disebut dalam pasal 216 ayat 1 dapat ditambah sepertiga.
3.      Pidana penjaranya dapat dilipatkan dua kali, yaitu khusus untuk pasal 393 dari 4 bulan 2 minggu menjadi 9 bulan penjara.
Ad.2 :Recidive terhadap kejahatan-kejahatn tertentu yang masukdalam satu “kelompok jenis” diatur dalam pasal 486, 487, 488KUHP
Adapun persayaratan recidive menurut ketentuan pasal-pasal tersebut sebagai berikut:
1. Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan yang pertama atau terdahulu.
Kelompok jenis kejahatan yang dimaksud ialah :
·         Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 486 yang pada umumnya kejahatan harta benda dan pemalsuan, misalnya: Pemalsuan mata uang (244-248), pemalsuan surat (263-264), pencurian (362, 363, 365), pemerasan (368), pengancaman (369), penggelapan (372, 374, 375) , penipuan (378), kejahatan jabatan (415, 417, 425, 432), penadahan (480, 481)
·         Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 487 pada umumnya mengenai kejahatan terhadap orang.
·         Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 488 pada umumnya mengenai kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan penerbitan/percetakan.
Dengan adanya kelompok jenis kejatan-kejahatan seperti dikemukakan diatas, maka tidak dapat dikatakan ada recidive apabila seseorang yang melakukan pencurian biasa (362) kemudian melakukan delik lagi yang berupa penganiayaan (351) ataupun penghinaan (310) karena masing-masing delik itu masuk dalam kelompok jenis kejahatan yang berbeda-beda.
Pada umumnya kejahatan-kejahatan ringan tidak dimasukkan sebagai alasan adanya recidive, misalnyya pencurian ringan (364) penggelapan ringan (373), penipuan ringan (379), dan penadahan ringan (482) tidak dimasukkan dalam kelompok pasal 486 KUHP.Begitupula pula penganiayaan ringan ringan (352) tidak dimasukkan pula dalam kelompok 487 KUHP.Tidak dimasukkannya kejahatan ringan dalam KUHP sebenarnya dapat dimaklumi, namun anehnya didalam kelompok kejahatan pasal 488 KUHP, penghinaan ringan (315) dimasukkan.
Menarik pula untuk diperhatikan bahwa didalam Pasal 487 (kelompok jenis kejahatan pribadi orang) tidak disebutkan delik maker dalam Pasal 104 dan semua delik kesusilaan (pasal 281-303) misalnya perkosaan (285), perdagangan wanita (297), pengguguran (299), dan perjudian (303).
Dengan meninjau pasal-pasal yang disebutkan diatas ternyata bahwa dalam sistem, KUHP tidak semua kejahatan berat dapat dijadikan sebagai alasan recidive/pengulangan (alasan pemberatan pidana)
2. Antara kejahatan yang kemudian (yang diulangi) dengan kejahatan yang pertama atau terdahulu, harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang berkekuatan tetap. Dengan adanya syarat kedua ini, maka tidaklah dapat dikatakan recidive dalam hal putusan hakim tidak berupa pemidanaan atau belum mempunyai kekuatan hukum tetap atau yang berupa beschikking.
3. Pidana yang dijatuhkan hakim terdahulu harus berupa pidana penjara. Dengan adanya sayarat ini maka tidak ada alas an recidive untuk pemberatan pidana apabila pidana yang pernah dijatuhkan terdahulu berupa pidana kurungan atau pidana denda.
4. Ketika melakukan pengulangan, tenggang waktunya adalah :
1.      Belum lewat 5 tahun :
a.       Sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan terdahulu, atau
b.      Sejak pidana penjara tersebut sama sekali dihapuskan

2.      Belum lewat tenggang waktu daluarasa kewenangan menjalankan pidana penjara yang terdahulu. Misalnya : A pada tahun 1992 dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan (338) dijhatuhi pidana penjara 8 tahun. Ada beberapa kemungkinan tenggang waktu pengulangan untuk kejahatan yang berikutnya antara lain :

a.       Apabila A menjalani seluruhnya, maka tenggang waktu pengulangannya adalah sebelum lewat tahun 2005 (perhitungan : 1992 + 8 + 5).
b.      Apabila A setelah menjalani sebagian, misalnya 2 tahun, mendapat grasi atau pelepasan bersyarat pada tahun 1994, maka tenggang waktu penggulangannya adalah sebelum lewat 1999 (perhitungan : 1992 + 2 + 5).
c.       Apabila A setelah menjalani sebagian misalnya 2 tahun pada tahun 1994 melarikan diri, maka tenggang waktu penggulanganya adalah sebelum lewat tenggang waktu daluarsa kewenangan menjalankan pidana penjara yang terdahulu. Berdasarkan pasal 85 (2) KUHP tenggang waktu daluarsanya dihitung sejak terdakwa melarikan diri. Jadi tenggang waktu recidivenya adalah sebelum lewat tahun 2010 yaitu dihitung mulai tahun 1994 ditambah 16 tahun (tenggang waktu daluarsa kewenangan menjalankan pidana untuk pasal 338 lihat pasal 84 KUHP)
Dari contoh ini dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tenggang waktu recidive dapat lebih dari 5 tahun.
B.     Recidive Pelanggaran
Dengan dianutnya sistem recidive khusus, maka recidive pelanggaran menurut KUHP juga merupakan recidive terhadap pelanggaran-pelanggaran tertentu saja yang disebut dalam Buku III KUHP.
Ada 14 jenis pelanggaran didalam Buku III KUHP yang apabila diulangi dapat merupakan alasan untuk adanya pemberatan pidana, yaitu pelanggaran-pelanggaran terhadap : Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP.
Adapun persyaratan recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan, yang pada umumnya sebagai berikut :
1.  Pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis dengan pelanggaran yang terdahulu, jadi baru dapat dikatakan recidive pelanggaran apabila yang bersangkutan melanggar pasal yang sama.
2.  Harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap untuk pelanggaran yang terdahulu;
3.  Tenggang waktu pengulangannya belum lewat 1 atau 2 tahun sejak adanya putusan pemiudaan yang berkekuatan tetap.
Berdasarkan syarat ketiga ini maka perhitungan tenggang waktu pengulangannya tidak tidak tergantung pada jenis pidana yang pernah dijatuhkan terdahulu dan apakah pidana tersebut sudah dijalankan atau belum (seluruh atau sebagian).
C.     Tujuan Penghukuman
Apabila berbicara mengenai penghukuman, maka pertanyaan yang kerapkali muncul adalah apakah tujuan hukuman itu dan siapakah yang berhak menjatuhkan \ hukuman.Pada umumnya telah disepakati bahwa yang berhak menghukum (hakpuniendi) adalah di dalam tangan negara (pemerintah). Pemerintah dalam menjatuhkan hukuman selalu dihadapkan pada suatu paradoksalitas, yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut :
Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati.Tapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan karena menjatuhkan hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara sendiri diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan dipihak lain pemerintah negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.
Orang berusaha untuk menunjukkan alasan apakah yang dapat dipakai untuk membenarkan penghukuman oleh karena menghukum itu dilakukan terhadap manusia-manusia yang juga mempunyai hak hidup, hak kemerdekaan bahkan mempunyai hak pembelaan dari negara itu juga yang menghukumnya. Maka oleh karena itu muncullah berbagai teori hukuman, yang pada garis besarnya dapat dibagai atas tiga golongan :
a. teori absolut atau teori pembalasan
b. teori relatif atau teori tujuan
c. teori gabungan
a. Teori absolut
Tokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah Kant dan Hegel.Mereka beranggapan bahwa hukuman itu adalah suatu konsekwensi daripada dilakukannya suatu kejahatan.Sebab melakukan kejahatan, maka akibatnya harus dihukum.Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan.Semua perbuatan yang temyata berlawanan dengan keadilan, harus menerima pembalasan.Apakah hukuman itu bermanfaat bagi masyarakat, bukanlah hal yang menjadi pertimbangan, tapi hukuman harus dijatuhkan. Untuk menghindari hukuman ganas, maka Leo Polak menentukan tiga syarat yang harus dipenuhi dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang
bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif
2. Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi
3.  Beratnya hukuman harus seimbang dengan beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dihukum secara tidak adil.
Gerson W. Bawengan dalam bukunya Pengantar Psychologi Kriminil menyatakan bahwa ia menolak teori absolut atau teori pembalasan itu yang dikemukakan dalam bentuk apapun, berdasarkan tiga unsur, yaitu :
1. Tak ada yang absolut didunia ini, kecuali Tuhan Yang Maha Esa.
2.  Pembalasan adalah realisasi daripada emosi, memberikan pemuasan emosionil kepada pemegang kekuasaan dan merangsang ke arah sifat-sifat 'sadistis', sentimentil. Oleh karena itu kepada para penonjol teori pembalasan itu, dapatlah diterka bahwa mereka memiliki sifat-sifat sadistis.Dan kerena itu pula ajaran mereka lebih condong untuk dinamai teori sadisme.
3. Tujuan hukuman dalam teori itu adalah hukuman itu sendiri. Dengan dernikian teori itu mengalami suatu jalan buntu, oleh karena tujuannya hanya sampai pada hukuman itu sendiri.adalah suatu tujuan yang tak bertujuan, sebab dipengaruhi dan disertai nafsu membalas.

b. Teori relatif atau teori tujuan
Para penganjur teori relatif tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa hukuman itu sendirilah yanag menjadi tujuan penghukuman, melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang lain daripada penghukuman itu sendiri. Hukuman, dengan demikian mempunyai tujuan, yaitu untuk melindungi ketertiban.Para pengajar teori relatif itu menunjukkan tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum.Menghindarkan, agar umumnya orang tidak melakukan pelanggaran bahkan ditujukan pula bagi terhukum agar tidak mengulangi pelanggaran.
Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat prevensi umum dan sifat prevensi khusus. Dengan prevensi umum, orang akan menahan diri untuk tidak melakukan kejahatan. Dan dengan prevensi khusus para penganjurnya menitikberatkan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang yang telah dijatuhi hukuman, tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selanjutnyaa bagi mereka yang hendak melakukan peianggaran akan mengurungkan maksudnya sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan.
c. Teori Gabungan
Menurut teori gabungan hukuman hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada saiah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang telah ada.
D.    Recidive dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

Recidive yang diberlakukan bagi tindak pidana psokotropika dalam UU 5tahun 1997 adalah dalam tenggang waktu 2 tahun dan dengan pemberatanancaman pidana pokok ditambah 1/3. Sedangkan recidive yang diberlakukanbagi tindak pidana narkotika dalam UU 22 tahun 1997 adalah dalam tenggang5 tahun dan dengan pemberatan ancaman pidana pokok ditambah 1/3kecuali untuk pidana mati/seumur hidup/atau pidana penjara 20 tahun.
Dalam RUU KUHP tahun 2004 dijelaskan bahwa secara umum tenggangwaktu pengulangan tindak pidana adalah 5 tahun (Pasal 23) sejak:
a. menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan;
b. pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
c. kewajiab menjalani pidan pokok yang dijatuhkan beum kedaluwarsa.
Pemberatan pidana yang diterapkan adalah penambahan 1/3 dari maksimumancaman pidana (Pasal 132).
Beberapa pasal yang mengatur secara khusus pengulangan tindak pidanaadalah Pasal 263, 271, 285, 287, 291, 339, dan 401. Dalam masing-masing
aturan khusus tersebut, tenggang waktu recidivenya adalah 2 tahun dandengan pemberatan pidana berupa pencabutan hak menjalankanpencahariannya.

Ramli Ardi Yahya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar