A.
Pengertian
Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum.
Menurut John Locke, Hak Asasi
Manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada
setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat. John Locke menjelaskan bahwa HAM
merupakan hak kodrat pada diri manusia yang merupakan anugrah atau pemberian
langsung dari tuhan YME.
Sedangkan menurut ajaran umum,
salah satu syarat untuk Negara hukum adalah adanya jaminan atas hak-hak asasi.
Jaminan ini harus terbaca dan tertafsirkan dari konstitusi yang berlaku dalam
satu Negara, atau setidak-tidaknya termaklumi dari praktek hokum dan
ketatanegaraan sehari-hari. Sebagai suatu hak, maka hak asasi ini tidak
terlepas dari persoalan kebebasan dan kewajiban, baik bagi pihak pemegang
kekuasaan maupun bagi pihak pendukung dari hak asasi itu sendiri. Tercantum di
dalam pasal 27 ayat 1 berbunyi “ Segala warga Negara bersamaan kedudukannya
dalam hokum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya. Tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”. Kedudukan hukum dalam pasal ini meliputi hukum
privat, hukum publik dan bahwa setiap warga negara berhak mendapat perlindungan
dengan mempergunakan kedua kelompok hukum tersebut.
Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai
pedoman kelakuan, hukum harus lah menunjang suatu tatanan yang dinilai
wajar. Hanya karena bersifat adil dan
dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Maka kepastian dan keadilan bukanlah sekedar
tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum.
B.
Hubungan
antara HAM dengan Hukum
Jika membahas tentang HAM pasti tidak akan terlepas
dari yang namanya hukum. Karena negara hukum merupakan suatu dimensi dari negara
demokratis konstitusional, khususnya tentang adanya hukum yang supreme, yang
harus mengatur aturan main dan dihormati oleh rakyat maupun penguasa di dalam negara
ini. Maka kajiannya kembali kepada substansi hukum. Hukum haruslah dibentuk
secara demokratis dan memuat substansi Hak Asasi Manusia. Kalau tidak, hukum
akan kehilangan esensinya, bahkan menjadi alat penindasan semata-mata untuk
mengabsahkan, membenarkan segala tindakan sepihak dari penguasa.
Hukum harus selalu mengacu pada Hak Asasi Manusia (HAM)
Karena hukum harus melindungi hak-hak rakyat. Hukum harus menjadi teman bagi
rakyat, sehingga rakyat merasa aman, hak-haknya terlindungi dan dapat
memperjuangkan kepentingannyayang sah secara damai.
C.
Pelaksanaan
Persamaan HAM dihadapan Hukum
Kasus-kasus
Pelanggaran Hukum.
Masih ingatkah anda dengan kasus yang menimpa nenek
Minah yang dituduh mencuri 3 kilogram kakao, padahal kenyataannya beliau
hanya mngambil 3 buah kakao yang telah jatuh dari pohonnya Wanita berusia 55
tahun itu adalah warga Dusun Sidoharjo Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang,
Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Ulahnya yang mencuri tiga butir kakao
di kebun milik PT Rumpun Sari Antam senilai Rp 2.000,00 pada Agustus 2008 telah
membuatnya harus berurusan dengan hukum. Majelis hakim menjatuhkan vonis 1
bulan 15 hari kurungan penjara, serta masa percobaan 30 hari. Putusan itu
muncul di tengah karut marut kasus korupsi mega miliar di Jakarta, Bank
Century. Spontan muncul tanda tanya besar di benak publik. Mengapa aparat penegak
hukum kita begitu cepat dan responsif menangani kasus pencurian seperti yang
dilakukan Nenek Minah, sementara kasus pencurian uang negara alias korupsi yang
melibatkan pejabat negara begitu sulit terungkap?
Masih banyak kasus-kasus seperti diatas yang
kebanyakan menimpa rakyat kecil. Sebut saja kasus pencurian buah semangka yang
hanya satu buah dan berbuntut ke meja hijau. Begitu mudahnya aparat hukum
memvonisnya. Namun, mengapa aparat kurang responsive untuk menindak para
koruptor. Sungguh ironis memang, Negara yang menjunjung tinggi hukum seperti
Republik Indonesia ini ternyata hukum-hukum yang tercantum dalam pasal-pasal
tersebut sangat sensitive bagi rakyat kecil? Lantas, untuk apa pasal-pasal
tersebut dibuat kalau tidak memihak pada seluruh rakyat di Indonesia?
Dengan alasan menegakkan hukum positif, aparat hukum
begitu cepat dan tangkas menjerat si miskin. Hukum terasa kaku, kejam,
dan menakutkan bagi rakyat kecil. Terlebih dengan segala keterbatasan mereka
tidak mampu membayar pembela hukum layaknya para koruptor.
Aparat penegak hukum terlihat sangat konsisten bila
mengusut bahkan memenjarakan warga miskin, bahkan tak jarang juga menggunakan
pasal tindak pidana secara berlebihan. Tapi bagaimana dengan perlakuan
terhadap para koruptor, para perampok uang negara, para penyalah guna
wewenang dan kekuasaan? Bahkan dalam beberapa kasus para koruptor hanya
mendapatkan hukuman percobaan dengan alasan kerugian yang ditimbulkan
sudah dikembalikan.
Sementara perlakuan berbeda berlaku para para
pejabat dan koruptor kakap yang terindikasi merugikan keuangan negara.
Aparat penegak hukum sering terlihat “salah tingkah” saat berhadapan
dengan para pejabat dan pemilik akses ekonomi dan politik. Hukum tiba-tiba
menjadi rumit dan berliku ketika berhadapan dengan para pejabat atau
pengusaha. Gerakan penegak hukum pun terasa begitu lamban jika menghadapi
mereka. Salah satu contoh, Anggodo Widjojo, yang diduga merekayasa proses hukum
lewat percakapannya melalui telepon berkaitan dengan kasus dugaan
penyuapan KPK masih bebas berkeliaran. Lainnya Anggoro Widjojo, tersangka
korupsi pengadaan radio komunikasi di Departemen Kehutanan, sampai hari ini
masih tak tersentuh hukum.
Idealnya dalam negara hukum (rechtsstaat) negara
mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu. Pengakuan negara
terhadap hak individu ini tersirat di dalam persamaan kedudukan di hadapan
hukum bagi semua orang. Dalam suatu negara hukum semua orang harus diperlakukan
sama di hadapan hukum (equality before the law). Persamaan di hadapan hukum
harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment).
Namun prakteknya, konflik antara suatu kepentingan
dan kepentingan lain yang berposisi sebagai antitesisnya. Seperti kita ketahui
banyak faktor di luar hukum yang turut menentukan bagaimana hukum senyatanya
dijalankan. Hukum yang dituliskan (law in abstracto) tidak selalu sama
dengan hukum dalam praktek (law in concreto). Hukum dalam prakteknya sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar hukum (extra-legal factors). Hukum,
meski dipercaya memiliki nilai-nilai dan makna yang maha penting dalam menata
kehidupan sosial, ia tetap sebagai hasil dari pergesakan dan tarik-menarik
representasi politik, ekonomi yang memiliki kekuasaan tertentu dalam
memengaruhinya. Sungguh disayangkan memang, contoh-contoh kasus diatas tidak
sesuai dengan apa yang tercantum dalam pasal 28 D ayat 1, yang berbunyi :
“Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum.”
D.
Persamaan Dihadapan Hukum
Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi
hak asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya, sehingga
semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Karena hokum
merupakan sesuatu yang universal yang dimana hak tersebut harus diterima oleh
siapa pun, kapan pun, dan dimana pun tanpa ada terkecualinya.
Persamaan dihadapan hukum atau equality before
the law adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini
menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada
negara-negara berkembang seperti Indonesia. Perundang-undangan Indonesia
mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgelijke Wetboek (KUHPerdata)
dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang) pada 30 April 1847
melalui Stb. 1847 No. 23. Tapi pada masa kolonial itu, asas ini tidak
sepenuhnya diterapkan karena politik pluralisme hukum yang memberi ruang
berbeda bagi hukum Islam dan hukum adat disamping hukum kolonial.
Persamaan di hadapan hukum harus diartikan secara
dinamis dan tidak diartikan secara statis. Artinya, kalau ada persamaan di
hadapan hukum bagi semua orang maka harus diimbangi juga dengan persamaan
perlakuan (equal treatment) bagi semua orang. Jika ada dua orang
bersengketa datang ke hadapan hakim, maka mereka harus diperlakukan sama oleh
hakim tersebut (audi et alteram partem).
Persamaan di hadapan hukum yang diartikan secara
dinamis ini dipercayai akan memberikan jaminan adanya akses untuk memperoleh
keadilan (access to justice) bagi semua orang tanpa memperdulikan
latar belakangnya. Menurut Aristoteles, keadilan harus dibagikan oleh negara
kepada semua orang, dan hukum yang mempunyai tugas menjaganya agar keadilan
sampai kepada semua orang tanpa kecuali. Apakah orang mampu atau fakir miskin,
mereka sama untuk memperoleh akses kepada keadilan. Perolehan pembelaan dari
seorang advokat atau pembela umum (access to legal counsel) adalah hak
asasi manusia yang sangat mendasar bagi setiap orang dan oleh karena itu
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh keadilan bagi semua orang (justice
for all). Kalau seorang yang mampu mempunyai masalah hukum, ia dapat
menunjuk seorang atau lebih advokat untuk membela kepentingannya. Sebaliknya
seorang yang tergolong tidak mampu juga harus memperoleh jaminan untuk meminta
pembelaan dari seorang atau lebih pembela umum (public defender) sebagai
pekerja di lembaga bantuan hukum (legal aid institute) untuk membela
kepentingannya dalam suatu perkara hukum. Tidak adil kiranya bilamana orang
yang mampu saja yang dapat memperoleh pembelaan oleh advokat dalam menghadapi
masalah hukum. Sedangkan fakir miskin tidak memperoleh pembelaan hanya karena
tidak sanggup membayar uang jasa (fee) seorang advokat yang tidak
terjangkau oleh mereka. Kalau ini sampai terjadi maka asas persamaan di hadapan
hukum tidak tercapai.
Selain itu fakir miskin yang frustrasi dan tidak
puas karena tidak memperoleh pembelaan dari organisasi bantuan hukum akan mudah
terperangkap dalam suatu gejolak sosial (social upheaval) antara lain
melakukan kekerasan, huru-hara, dan pelanggaran hukum sebagaimana dinyatakan
Von Briesen sebagai berikut:
“Legal aid was vital because it
keeps the poor satisfied, because it establishes and protects their rights; it
produces better workingmen and better workingwomen, better house servants; it
antagonizes the tendency toward communism; it is the best argument against the
socialist who cries that the poor have no rights which the rich are bound to
respect.”
Keadaan ini tentunya tidak nyaman bagi semua orang
karena masih melihat fakir miskin di sekitarnya yang masih frustrasi. Melihat
kepada kondisi sekarang, fakir miskin belum dapat memperoleh bantuan hukum
secara memadai, walaupun pada tahun 2003 Undang-Undang Advokat telah
diundangkan. Undang-Undang Advokat ini memang mengakui bantuan hukum sebagai
suatu kewajiban advokat, namun tidak menguraikan lebih lanjut apa yang dimaksud
dengan bantuan hukum dan bagaimana memperolehnya. Yang terjadi selama ini
adalah adanya kesemrawutan dalam konsep bantuan hukum dalam bentuk ada
kantor-kantor advokat yang mengaku sebagai lembaga bantuan hukum tetapi
sebenarnya berpraktik komersial dan memungut fee, yang menyimpang dari
konsep pro bono publico yang sebenarnya merupakan kewajiban dari
advokat. Selain kantor advokat mengaku sebagai organisasi bantuan hukum
juga ada organisasi bantuan hukum yang berpraktik komersial dengan memungut fee
untuk pemberian jasa kepada kliennya dan bukan diberikan kepada fakir miskin
secara pro bono publico.
Kesemrawutan pemberian bantuan hukum yang terjadi
selama ini adalah karena belum adanya konsep bantuan hukum yang jelas. Untuk
mengatasi kesemrawutan tersebut maka perlu dibentuk suatu undang-undang bantuan
hukum yang mengatur secara jelas, tegas, dan terperinci mengenai apa fungsi
bantuan hukum, organisasi bantuan hukum, tata cara untuk memperoleh bantuan
hukum, siapa yang memberikan, siapa yang berhak memperoleh bantuan hukum, dan
kewajiban negara untuk menyediakan dana bantuan hukum sebagai tanggung jawab
konstitusional. Keberadaan undang-undang bantuan hukum digunakan untuk
merekayasa masyarakat contoh fakir miskin agar mengetahui hak-haknya dan
mengetahui cara memperoleh bantuan hukum.
Dengan banyaknya kasus kasus mengenai pelanggaran
HAM maka kita secari nurani sudah pasti tidak ingin terjadi kembali pelanggaran
pelanggaran tersebut baik pelanggaran HAM ringan atau berat maka pemerintah harus
memiliki strategi untuk menanggulanginya dalam rangka melindungi hak-hak warga
negaranya. Langkah terbaik untuk meningkatkan Pemahaman HAM dan Hukum
dimasyarakat maka Pemerintah mempunyai beberapa startegi diantaranya sebagai
berikut :
1. Melakukan
sosialisasi kepada warga negara agar mendapatkan pendidikan Hukum dan HAM mengenai
arti penting dari hak hak yang ia peroleh secara langsung tanpa harus meminta
seperti hak hidup dll. Karena pada dasarnya banyak pelanggaran HAM terjadi
karena ketidakpahaman mereka terhadap hak hak konstitusionalnya. Sehingga
ketika melakukan tindakan yang melakukan pelanggaran mereka menganggap bahwa
mereka tidak melakukan pelanggaran hukum apa lagi sampai merampas hak hak orang
lain.
2. Penegakan
hukum secara menyeluruh tanpa terkecualinya. Masalah yang dihadapi saat ini
adalah karena banyak kasus kasus pelanggaran baik hukum maupun HAM yang tidak
terselesaikan bahkan memihak kepada salah satu pihak yang akhirnya persamaan
HAM dihadapan hukum tidak dapat terwujud. Sebagai contoh dalam persidangan
dalam kasus yang sama namun dengan orang yang berbeda namun hukumannya berbeda
pula sehingga untuk mendapat keadilan sangat sulit.
3. Meningkatkan
lembaga Hukum dan HAM, dengan meningkatkan lembaga tersebut diharapkan keadilan
dalam persidangan dapat terjadi sehingga tidak memasung bahkan menghilangkan
hak hak orang lain. Dengan meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya didalam
tugasnya dalam mencari keadilan di pengadilan.
Ramli Ardi Yahya
Seharusnya Indonesia menegakan HAM
BalasHapuspenegakkan HAM di Indonesia sudah mulai ditangani dengan baik, karena sudah mempunyai lembaga khusus penanganan HAM. sehingga pelanggaran HAM baik ringan ataupun berat sudah ditangani dengan baik, walaupun masih banyak kasus pelanggaran yang belum terselsaikan.
BalasHapushukum di Indonesia, tumpul ke atas tajam ke bawah
BalasHapusterimakasih atas materinya
BalasHapus