Pelajar Jaya ! Indonesia Jaya!

Pelajar Jaya ! Indonesia Jaya!

Kamis, 30 Oktober 2014

Deelneming (Penyertaan)




A.    Pengertian Penyertaan (Deelneming)

Kata Deelneming berasal dari kata deelnemen (Belanda) yang diterjemahkan dengan kata menyertai, dan deelneming diartikan menjadi penyertaan. Sedangkan pengertian dari deelneming itu sendiri adalah suatu delik yang dilakukan lebih dari satu orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Deelneming dapat diartikan sebagai terwujudnya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang, yang mana antara orang yang satu dengan yang lainnya terdapat hubungan sikap batin dan/atau perbuatan yang sangat erat terhadap terwujudnya tindak pidana tersebut.
Penyertaan di atur dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP yang berarti bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana dapat di sebutkan bahwa seseorang tersebut turut serta dalam hubungannya dengan orang lain.
Ada beberapa pengertian deelneming menurut para ahli :
  • Prof.Satochid Kartanegara mengartikan Deelneming apabila dalam satu delik tersangkut beberapa orang atau lebih dari satu orang.
  • Menurut doktrin, Deelneming menurut sifatnya terdiri atas:
a.    Deelneming yang berdiri sendiri,yakni pertanggung jawaban dari setiap peserta dihargai sendiri-sendiri.
b.    Deelneming yang tidak berdiri sendiri,yakni pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantunggkan dari perbuatan peserta yang lain.
  • Menurut Chajawi deelneming adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu dengan yang lain demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, dimana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lainnya, yang kesemuanya mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana.
B.     Dasar Hukum dalam Penyertaan (Deelneming)
Penyertaan (Deelneming) diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.
Pasal 55 berbunyi:
Ø  Dipidana sebagai pembuat tindak pidana:
1.      mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut serta melakukan;
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan, yang sengaja diajurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 KUHP berbunyi:
Ø  Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1.      mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan yang dilakukan;
2.      mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dari kedua pasal tersebut (Pasal 55 dan 56) tersebut, dapat diketahui bahwa menurut KUHP penyertaan itu dibedakan dalam 2 kelompok.
1. pertama adalah kelompok yang disebut sebagai para pembuat (mededaer), (Pasal 55 KUHP) yaitu:
a. yang melakukan (plegen) orangnya (pleger)
b. yang menyuruh melakukan (doen plegen) orangnya (doen pleger)
c. yang turut serta melakukan (mede plegen) orangnya (mede pleger)
d. yang menganjurkan (uitlokken) orangnya (uitlokker).
2. kedua, yaitu orang yang disebut sebagai pembuat pembatu (medeplichtige) (Pasal 56 KUHP), yakni:
a. pemberian bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan; dan
b. pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.
C.       Peran – Peran Pelaku dalam Penyertaan (Deelneming)
Berdasarkan rumusan kedua pasal di atas (pasal 55 dan 56 KUHP), maka terdapat 5 peranan pelaku tindak pidana dalam hukum pidana, yaitu :
a.      Pleger atau Dader (orang yang melakukan)
Pleger adalah pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya sendiri, baik memakai alat maupun dengan tidak memakai alat. Dengan kata lain Pleger adalah mereka yang secara keseluruhan memenuhi unsur perumusan delik pidana dan yang dipandang paling bertanggungjawab atas kejahatannya.
b.      Doen Pleger (orang yang menyuruh melakukan)
Doenpleger adalah orang yang membuat sedemikian rupa sehingga orang lain melakukan pebuatan yang mewujudkan delik yang tidak dapat dipidana karena tidak bersalah, sehingga dapat dikatakan dalam doenplegen setidaknya ada 2 orang pihak yang terlibat, yaitu pembuat langsung (manus ministra) dan pembuat tidak langsung (manus domina).  Sesungguhnya orang yang melakukan tindak pidana langsung adalah orang yang disuruh melakukan (manus ministra), tetapi yang paling bertanggung jawab adalah orang yang menyuruh melakukan (manus domina) karena dia yang menyebabkan orang lain melakukan tindak pidana. Dalam hal ini manus ministra tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan. Orang yang disuruh (manus ministra) mempunyai “dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana” sebagaimana diatur dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 KUH Pidana.
Contoh keadaan-keadaan yang membuat orang yang disuruh melakukan tidak dapat dijatuhi pidana karena ada alasan penghapus kesalahan:
1.      Orang yang disuruh adalah orang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena Pasal 44 KUHP.
2.      Orang yang disuruh berada dalam keadaan daya paksa (overmacht).
3.      Orang yang disuruh melakukan perintah jabatan yang tidak sah tapi dengan itikad baik ia mengira bahwa perintah itu sah.
Contoh keadaan dimana Orang tsb sama sekali tidak melakukan tindak pidana atau perbuatan yang dilakukan tidak dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana:
1.      Seorang juru rawat yang sama sekali tidak mengetahui bahwa obat yang diberikan pada pasien atas perintah seorang dokter adalah  obat yang mengandung racun.
2.      A meminta B untuk menukarkan uang palsu; sedangkan B tidak tahu bahwa uang itu palsu.
c.       Medepleger atau Mededader (orang yang turut melakukan)
Medepleger adalah orang yang terlibat langsung turut berbuat bersama pelaku dalam melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, kualitas dari masing-masing tindak pidana adalah sama. Syarat adanya medepleger, yaitu pertama adanya kerjasama secara sadar dilakukan dengan sengaja dan ditujukan kepada hal-hal yang dilarang Undang-undang. Kedua ada pelaksanaan bersama secara fisik, yang menimbulkan selesainya delik.
d.      Uitlokker (orang yang membujuk melakukan)
Uitlokker adalah setiap orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah "menggerakkan" atau "membujuk" ruang lingkup pengertiannya sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian 1 KUH Pidana yaitu dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana dan keterangan. Berbeda dengan "orang yang disuruh melakukan", "orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum, karena dia masih tetap mempunyai kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan kepadanya. Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada tindakan dan akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung jawab yang dibujuk sendiri.
e.       Medeplichtige (orang yang membantu melakukan)
Membantu melakukan kejahatan diatur dalam Pasal 56 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
“Sebagai pembantu melakukan kejahatan dihukum:
1. Mereka yang dengan sengaja membantu saat kejahatan itu dilakukan.
2. Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.”
Dalam memahami pasal 56 KUHP, perlu diperhatikan terlebih dahulu rumusan pasal 57 ayat (4) KUHP yang berbunyi: “Untuk menentukan hukuman bagi pembantu, hanya diperhatikan perbuatan yang dengan sengaja memudahkan atau diperlancar oleh pembantu itu serta akibatnya.”
               
 “....suatu bantuan yang tidak berarti tidak dapat dipandang sebagai bantuan yang dapat dihukum.”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimuat arti kata “membantu”, yaitu:
1. Tolong.....,
2. Penolong...., membantu, memberi songkongan.
            Dengan demikian, perbuatan membantu tersebut sifatnya menolong atau memberi sokongan. Dalam hal ini, tidak boleh merupakan perbuatan pelaksana. Jika telah melakukan perbuatan pelaksanaan, pelaku sudah termasuk mededader, bukan lagi membantu.

D.    Contoh Kasus dan Kronologi Pembunuhan Ade Sara
Kasus tewasnya Ade Sara Angelina Suroto menjadi sorotan lantaran tewas secara mengenaskan di tangan Hafiz, mantan pacarnya. Hafiz membunuh tidak sendiri, ia dibantu pacar barunya, Assyifa. Atas nama dendam dan cemburu, dua sejoli tersebut pun membuat skenario jahat untuk menghabisi nyawa Ade Sara.
Berikut kronologi pertemuan Ade Sara dengan kedua pelaku hingga akhirnya tewas :
- Senin, 3 Maret 2014
Sekitar pukul 17.30 WIB, sesuai perjanjian, korban bertemu dengan Assyifa di Stasiun Gondangdia. Saat itu korban seharusnya ada jadwal mengikuti les bahasa Jerman yang rutin ia lakukan. Di sinilah, korban sesuai dengan rencana pelaku bertemu dengan tersangka Hafiz. Kedua pelaku pun mengantar ke tempat les korban di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto menuturkan terdapat sandiwara yang dilakoni kedua pelaku. "Ada sandiwara, mereka (kedua pelaku) bertengkar," tuturnya.
Saat Ade Sara turun dari mobil Hafiz untuk ikut les, rupanya Assyifa pun juga ikut turun. Kemudian, Hafiz mengajak Assyifa masuk ke dalam mobil. Assyifa tak ingin masuk ke dalam mobil, jika Ade Sara juga tak masuk. "Padahal itu jebakan. Melihat keduanya bertengkar, Sara pun tergerak," tambah Rikwanto.
Tak berapa lama, keduanya pun melakukan penganiayaan terhadap Ade Sara. Kanit V Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya Kompol Antonius Agus menjelaskan, pada awalnya Ade Sara dipaksa untuk menanggalkan seluruh pakaiannya. Saat hendak dibuka oleh Assyifa, korban menolak dan memilih untuk membuka sendiri pakaiannya.

"Disuruh buka baju biar enggak kabur. Kan malu tuh kalau kabur keluar mobil enggak pakai baju," jelas Agus.
Lantaran sempat mendapat penolakan dari Ade Sara, keduanya pun naik pitam. ''Hafiz sempat menendang leher korban dengan kaki kiri, memukul dan menyetrum lagi. Assyifa juga memberikan beberapa pukulan lagi,'' jelas Agus.
Keduanya langsung melanjutkan perjalanan sambil membungkam korban dengan tisu dan kertas koran.


- Pukul 21.25 WIB
Assyifa memegang dada korban dan mendapati Ade Sara sudah tewas. Mobil Hafiz sempat mogok tiga kali. 

- Selasa, 4 Maret 2014
Sekitar pukul 02.00 WIB, saat melintas di Kemayoran, mobil pelaku kembali mogok. "Tersangka minta bantuan ke temannya untuk membetulkan aki," ucap Agus.
Sedangkan Assyifa memakaikan kembali pakaian Ade Sara. Di sinilah Hafiz memberitahukan kepada temannya yang datang bahwa ia membawa mayat. Temannya menganggap Hafiz bercanda dan selanjutnya meninggalkan Hafiz ketika akinya sudah berfungsi.
Sekitar pukul 21.00 WIB, kedua pelaku pun membuang jenazah Ade Sara di pinggiran Tol Bintara, Bekasi.

- Rabu, 5 Maret 2014
Sekitar pukul 04.00 WIB jenazah korban ditemukan petugas.
Berikut urutan perjalanan Hafiz Assyifa bersama korban: Gondangdia - Menteng (korban bertemu dengan kedua pelaku) - Tamini - Cawang - Pramuka (diduga terjadi penganiayaan) - Kemayoran (korban sudah meninggal dalam keadaan telanjang) - Utan Panjang - ITC Cempaka Mas -Salemba - Bintara (korban dibuang) - Pulau Gebang.
E.     Analisis Kasus Ade Sara
Kasus ini bila dikaitkan dengan penyertaan termasuk kedalam deelneming pleger, medepleger dan uitlokker, karena dalam melakukan tindakan pidana si pelaku melakukan tindakan pidana secara kerjasama dan pelaku yang satu selain turut serta melakukan tindakan pembunuhan tersebut, juga sebagai pembujuk dalam rencana pembunuhan itu. Di dalam kasus ini kedua pelaku dapat dijerat pasal 338 tentang pembunuhan, Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, serta Pasal 353 ayat 3 tentang penganiayaan berencana. Ancaman pidana bagi keduanya adalah kurungan seumur hidup atau hukuman mati.

Ramli Ardi Yahya

Selasa, 21 Oktober 2014

Persamaan HAM dihadapan Hukum



A.    Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum.
Menurut John Locke, Hak Asasi Manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat. John Locke menjelaskan bahwa HAM merupakan hak kodrat pada diri manusia yang merupakan anugrah atau pemberian langsung dari tuhan YME.
Sedangkan menurut ajaran umum, salah satu syarat untuk Negara hukum adalah adanya jaminan atas hak-hak asasi. Jaminan ini harus terbaca dan tertafsirkan dari konstitusi yang berlaku dalam satu Negara, atau setidak-tidaknya termaklumi dari praktek hokum dan ketatanegaraan sehari-hari. Sebagai suatu hak, maka hak asasi ini tidak terlepas dari persoalan kebebasan dan kewajiban, baik bagi pihak pemegang kekuasaan maupun bagi pihak pendukung dari hak asasi itu sendiri. Tercantum di dalam pasal 27 ayat 1 berbunyi “ Segala warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hokum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Kedudukan hukum dalam pasal ini meliputi hukum privat, hukum publik dan bahwa setiap warga negara berhak mendapat perlindungan dengan mempergunakan kedua kelompok hukum tersebut.
Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakuan, hukum harus lah menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar.  Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Maka  kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum.
B.     Hubungan antara HAM dengan Hukum
Jika membahas tentang HAM pasti tidak akan terlepas dari yang namanya hukum. Karena negara hukum merupakan suatu dimensi dari negara demokratis konstitusional, khususnya tentang adanya hukum yang supreme, yang harus mengatur aturan main dan dihormati oleh rakyat maupun penguasa di dalam negara ini. Maka kajiannya kembali kepada substansi hukum. Hukum haruslah dibentuk secara demokratis dan memuat substansi Hak Asasi Manusia. Kalau tidak, hukum akan kehilangan esensinya, bahkan menjadi alat penindasan semata-mata untuk mengabsahkan, membenarkan segala tindakan sepihak dari penguasa.
Hukum harus selalu mengacu pada Hak Asasi Manusia (HAM) Karena hukum harus melindungi hak-hak rakyat. Hukum harus menjadi teman bagi rakyat, sehingga rakyat merasa aman, hak-haknya terlindungi dan dapat memperjuangkan kepentingannyayang sah secara damai.
C.    Pelaksanaan Persamaan HAM dihadapan Hukum
Kasus-kasus Pelanggaran Hukum.
Masih ingatkah anda dengan kasus yang menimpa nenek Minah yang dituduh mencuri  3 kilogram kakao, padahal kenyataannya beliau hanya mngambil 3 buah kakao yang telah jatuh dari pohonnya Wanita berusia 55 tahun itu adalah warga Dusun Sidoharjo Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Ulahnya yang mencuri tiga butir kakao di kebun milik PT Rumpun Sari Antam senilai Rp 2.000,00 pada Agustus 2008 telah membuatnya harus berurusan dengan hukum. Majelis hakim menjatuhkan vonis 1 bulan 15 hari kurungan penjara, serta masa percobaan 30 hari. Putusan itu muncul di tengah karut marut kasus korupsi mega miliar di Jakarta, Bank Century. Spontan muncul tanda tanya besar di benak publik. Mengapa aparat penegak hukum kita begitu cepat dan responsif menangani kasus pencurian seperti yang dilakukan Nenek Minah, sementara kasus pencurian uang negara alias korupsi yang melibatkan pejabat negara begitu sulit terungkap?
Masih banyak kasus-kasus seperti diatas yang kebanyakan menimpa rakyat kecil. Sebut saja kasus pencurian buah semangka yang hanya satu buah dan berbuntut ke meja hijau. Begitu mudahnya aparat hukum memvonisnya. Namun, mengapa aparat kurang responsive untuk menindak para koruptor. Sungguh ironis memang, Negara yang menjunjung tinggi hukum seperti Republik Indonesia ini ternyata hukum-hukum yang tercantum dalam pasal-pasal tersebut sangat sensitive bagi rakyat kecil? Lantas, untuk apa pasal-pasal tersebut dibuat kalau tidak memihak pada seluruh rakyat di Indonesia?
Dengan alasan menegakkan hukum positif, aparat hukum begitu cepat dan tangkas menjerat si miskin. Hukum  terasa kaku, kejam, dan menakutkan bagi rakyat kecil. Terlebih dengan segala keterbatasan mereka tidak mampu membayar pembela hukum layaknya para koruptor.
Aparat penegak hukum terlihat sangat konsisten bila mengusut bahkan  memenjarakan warga miskin, bahkan tak jarang juga menggunakan pasal tindak  pidana secara berlebihan. Tapi bagaimana dengan perlakuan terhadap para  koruptor, para perampok uang negara, para penyalah guna wewenang dan kekuasaan?  Bahkan dalam beberapa kasus para koruptor hanya mendapatkan hukuman percobaan  dengan alasan kerugian yang ditimbulkan sudah dikembalikan.
Sementara perlakuan berbeda berlaku para para pejabat dan koruptor kakap  yang terindikasi merugikan keuangan negara. Aparat penegak hukum sering  terlihat “salah tingkah” saat berhadapan dengan para pejabat dan pemilik akses  ekonomi dan politik. Hukum tiba-tiba menjadi rumit dan berliku ketika  berhadapan dengan para pejabat atau pengusaha. Gerakan penegak hukum pun terasa  begitu lamban jika menghadapi mereka. Salah satu contoh, Anggodo Widjojo, yang diduga merekayasa proses hukum lewat percakapannya melalui telepon berkaitan  dengan kasus dugaan penyuapan KPK masih bebas berkeliaran. Lainnya Anggoro  Widjojo, tersangka korupsi pengadaan radio komunikasi di Departemen Kehutanan, sampai hari ini masih tak tersentuh hukum.
Idealnya dalam negara hukum (rechtsstaat) negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu. Pengakuan negara terhadap hak individu ini tersirat di dalam persamaan kedudukan di hadapan hukum bagi semua orang. Dalam suatu negara hukum semua orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Persamaan di hadapan hukum harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment).
Namun prakteknya, konflik antara suatu kepentingan dan kepentingan lain yang berposisi sebagai antitesisnya. Seperti kita ketahui banyak faktor di luar hukum yang turut menentukan bagaimana hukum senyatanya dijalankan. Hukum yang  dituliskan (law in abstracto) tidak selalu sama dengan hukum dalam praktek (law in concreto). Hukum dalam prakteknya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar hukum (extra-legal factors). Hukum, meski dipercaya memiliki nilai-nilai dan makna yang maha penting dalam menata kehidupan sosial, ia tetap sebagai hasil dari pergesakan dan tarik-menarik representasi politik, ekonomi yang memiliki kekuasaan tertentu dalam memengaruhinya. Sungguh disayangkan memang, contoh-contoh kasus diatas tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam pasal 28 D ayat 1, yang berbunyi :
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
D. Persamaan Dihadapan Hukum
Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Karena hokum merupakan sesuatu yang universal yang dimana hak tersebut harus diterima oleh siapa pun, kapan pun, dan dimana pun tanpa ada terkecualinya.
Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Perundang-undangan Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgelijke Wetboek (KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang) pada 30 April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23. Tapi pada masa kolonial itu, asas ini tidak sepenuhnya diterapkan karena politik pluralisme hukum yang memberi ruang berbeda bagi hukum Islam dan hukum adat disamping hukum kolonial.
Persamaan di hadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan secara statis. Artinya, kalau ada persamaan di hadapan hukum bagi semua orang maka harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment) bagi semua orang. Jika ada dua orang bersengketa datang ke hadapan hakim, maka mereka harus diperlakukan sama oleh hakim tersebut (audi et alteram partem).
Persamaan di hadapan hukum yang diartikan secara dinamis ini dipercayai akan memberikan jaminan adanya akses untuk memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua orang tanpa memperdulikan latar belakangnya. Menurut Aristoteles, keadilan harus dibagikan oleh negara kepada semua orang, dan hukum yang mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa kecuali. Apakah orang mampu atau fakir miskin, mereka sama untuk memperoleh akses kepada keadilan. Perolehan pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia yang sangat mendasar bagi setiap orang dan oleh karena itu merupakan salah satu syarat untuk memperoleh keadilan bagi semua orang (justice for all). Kalau seorang yang mampu mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk seorang atau lebih advokat untuk membela kepentingannya. Sebaliknya seorang yang tergolong tidak mampu juga harus memperoleh jaminan untuk meminta pembelaan dari seorang atau lebih pembela umum (public defender) sebagai pekerja di lembaga bantuan hukum (legal aid institute) untuk membela kepentingannya dalam suatu perkara hukum. Tidak adil kiranya bilamana orang yang mampu saja yang dapat memperoleh pembelaan oleh advokat dalam menghadapi masalah hukum. Sedangkan fakir miskin tidak memperoleh pembelaan hanya karena tidak sanggup membayar uang jasa (fee) seorang advokat yang tidak terjangkau oleh mereka. Kalau ini sampai terjadi maka asas persamaan di hadapan hukum tidak tercapai.
Selain itu fakir miskin yang frustrasi dan tidak puas karena tidak memperoleh pembelaan dari organisasi bantuan hukum akan mudah terperangkap dalam suatu gejolak sosial (social upheaval) antara lain melakukan kekerasan, huru-hara, dan pelanggaran hukum sebagaimana dinyatakan Von Briesen sebagai berikut:
Legal aid was vital because it keeps the poor satisfied, because it establishes and protects their rights; it produces better workingmen and better workingwomen, better house servants; it antagonizes the tendency toward communism; it is the best argument against the socialist who cries that the poor have no rights which the rich are bound to respect.”
Keadaan ini tentunya tidak nyaman bagi semua orang karena masih melihat fakir miskin di sekitarnya yang masih frustrasi. Melihat kepada kondisi sekarang, fakir miskin belum dapat memperoleh bantuan hukum secara memadai, walaupun pada tahun 2003 Undang-Undang Advokat telah diundangkan. Undang-Undang Advokat ini memang mengakui bantuan hukum sebagai suatu kewajiban advokat, namun tidak menguraikan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan bantuan hukum dan bagaimana memperolehnya. Yang terjadi selama ini adalah adanya kesemrawutan dalam konsep bantuan hukum dalam bentuk ada kantor-kantor advokat yang mengaku sebagai lembaga bantuan hukum tetapi sebenarnya berpraktik komersial dan memungut fee, yang menyimpang dari konsep pro bono publico yang sebenarnya merupakan kewajiban dari advokat. Selain kantor advokat mengaku sebagai organisasi bantuan hukum juga ada organisasi bantuan hukum yang berpraktik komersial dengan memungut fee untuk pemberian jasa kepada kliennya dan bukan diberikan kepada fakir miskin secara pro bono publico.
Kesemrawutan pemberian bantuan hukum yang terjadi selama ini adalah karena belum adanya konsep bantuan hukum yang jelas. Untuk mengatasi kesemrawutan tersebut maka perlu dibentuk suatu undang-undang bantuan hukum yang mengatur secara jelas, tegas, dan terperinci mengenai apa fungsi bantuan hukum, organisasi bantuan hukum, tata cara untuk memperoleh bantuan hukum, siapa yang memberikan, siapa yang berhak memperoleh bantuan hukum, dan kewajiban negara untuk menyediakan dana bantuan hukum sebagai tanggung jawab konstitusional. Keberadaan undang-undang bantuan hukum digunakan untuk merekayasa masyarakat contoh fakir miskin agar mengetahui hak-haknya dan mengetahui cara memperoleh bantuan hukum.
Dengan banyaknya kasus kasus mengenai pelanggaran HAM maka kita secari nurani sudah pasti tidak ingin terjadi kembali pelanggaran pelanggaran tersebut baik pelanggaran HAM ringan atau berat maka pemerintah harus memiliki strategi untuk menanggulanginya dalam rangka melindungi hak-hak warga negaranya. Langkah terbaik untuk meningkatkan Pemahaman HAM dan Hukum dimasyarakat maka Pemerintah mempunyai beberapa startegi diantaranya sebagai berikut :
1.      Melakukan sosialisasi kepada warga negara agar mendapatkan pendidikan Hukum dan HAM mengenai arti penting dari hak hak yang ia peroleh secara langsung tanpa harus meminta seperti hak hidup dll. Karena pada dasarnya banyak pelanggaran HAM terjadi karena ketidakpahaman mereka terhadap hak hak konstitusionalnya. Sehingga ketika melakukan tindakan yang melakukan pelanggaran mereka menganggap bahwa mereka tidak melakukan pelanggaran hukum apa lagi sampai merampas hak hak orang lain.
2.      Penegakan hukum secara menyeluruh tanpa terkecualinya. Masalah yang dihadapi saat ini adalah karena banyak kasus kasus pelanggaran baik hukum maupun HAM yang tidak terselesaikan bahkan memihak kepada salah satu pihak yang akhirnya persamaan HAM dihadapan hukum tidak dapat terwujud. Sebagai contoh dalam persidangan dalam kasus yang sama namun dengan orang yang berbeda namun hukumannya berbeda pula sehingga untuk mendapat keadilan sangat sulit.
3.      Meningkatkan lembaga Hukum dan HAM, dengan meningkatkan lembaga tersebut diharapkan keadilan dalam persidangan dapat terjadi sehingga tidak memasung bahkan menghilangkan hak hak orang lain. Dengan meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya didalam tugasnya dalam mencari keadilan di pengadilan. 

 Ramli Ardi Yahya